Dari
: Ustadzah Nourma Yusnida
Ada
dua sahabat yang terpisah cukup lama; Ahmad dan Zaenal. Ahmad ini pintar
sekali. Cerdas. Tapi dikisahkan kurang beruntung secara ekonomi. Sedangkan
Zaenal adalah sahabat yang biasa-biasa saja. Namun keadaan orang tuanya
mendukung karir dan masa depan Zaenal. Setelah terpisah cukup lama, keduanya
bertemu. Bertemu di tempat yang istimewa; di koridor wudhu, koridor toilet
sebuah masjid mungil. Adalah Zaenal, sudah menjelma menjadi seorang manager
kelas menengah. Necis. Perlente. Tapi tetap menjaga kesalehannya. Ia punya
kebiasaan. Setiap keluar kota, ia sempatkan singgah di masjid di kota yang ia
singgahi. Untuk memperbaharui wudhu, dan sujud syukur. Syukur-syukur masih
dapat waktu-waktu yang diperbolehkan shalat sunnah, maka ia shalat sunnah juga
sebagai tambahan. Seperti biasa, ia tiba di satu kota. Ia mencari masjid. Ia
pinggirin mobilnya, dan bergegas masuk ke masjid yang ia temukan. Di sanalah ia
menemukan Ahmad. Cukup terperangah Zaenal ini. Ia tahu sahabatnya ini meski
berasal dari keluarga tak punya, tapi pintarnya minta ampun. Zaenal tidak
menyangka bila berpuluh tahun kemudian ia menemukan Ahmad sebagai merbot
masjid! “Maaf,” katanya menegor sang merbot. “Kamu Ahmad kan? Ahmad kawan SMP
saya dulu?”. Yang ditegor tidak kalah mengenali. Lalu keduanya berpelukan.
“Keren sekali Kamu ya Mas… Manteb…”. Zaenal terlihat masih dalam keadaan
memakai dasi. Lengan yang digulungnya untuk persiapan wudhu, menyebabkan jam
bermerknya terlihat oleh Ahmad. “Ah, biasa saja…”. Zaenal menaruh iba. Ahmad
dilihatnya sedang memegang kaen pel. Khas merbot sekali. Celana digulung, dan
peci didongakkan sehingga jidat hitamnya terlhat jelas. “Mad… Ini kartu nama
saya…”. Ahmad melihat. “Manager Area…”. Wuah, bener-bener keren. “Mad, nanti
habis saya shalat, kita ngobrol ya. Maaf, di kantor saya ada pekerjaan yang
lebih baik dari sekedar merbot di masjid ini. Maaf…”. Ahmad tersenyum. Ia
mengangguk. “Terima kasih ya… Nanti kita ngobrol. Selesaikan saja dulu
shalatnya. Saya pun menyelesaikan pekerjaan bersih-bersih dulu… Silahkan ya.
Yang nyaman”. Sambil wudhu, Zaenal tidak habis pikir. Mengapa Ahmad yang pintar
kemudian harus terlempar dari kehidupan normal. Ya, meskipun tidak ada yang
salah dengan pekerjaan sebagai merbot, tapi merbot… ah, pikirannya tidak mampu
membenarkan. Zaenal menyesalkan kondisi negerinya ini yang tidak berpihak
kepada orang-orang yang sebenernya memiliki talenta dan kecerdasan, namun
miskin. Air wudhu membasahi wajahnya… Sekali lagi Zaenal melewati Ahmad yang
sedang bebersih. Andai saja Ahmad mengerjakan pekerjaannya ini di perkantoran,
maka sebutannya bukan merbot. Melainkan “office boy”. Tanpa sadar, ada yang
shalat di belakang Zaenal. Sama-sama shalat sunnah agaknya. Ya, Zaenal sudah
shalat fardhu di masjid sebelumnya. Zaenal sempat melirik. “Barangkali ini kawannya
Ahmad…”, gumamnya. Zaenal menyelesaikan doanya secara singkat. Ia ingin segera
bicara dengan Ahmad. “Pak,” tiba-tiba anak muda yang shalat di belakangnya
menegur. “Iya Mas..?” “Pak, Bapak kenal emangnya sama Haji Ahmad…?” “Haji
Ahmad…?” “Ya, Haji Ahmad…” “Haji Ahmad yang mana…?” “Itu, yang barusan ngobrol
sama Bapak…” “Oh… Ahmad… Iya. Kenal. Kawan saya dulu di SMP. Emangnya udah haji
dia?” “Dari dulu udah haji Pak. Dari sebelumnya bangun ini masjid…”. Kalimat
itu begitu datar. Tapi cukup menampar hatinya Zaenal… Dari dulu sudah haji…
Dari sebelumnya bangun masjid ini… Anak muda ini kemudian menambahkan, “Beliau
orang hebat Pak. Tawadhu’. Saya lah yang merbot asli masjid ini. Saya
karyawannya beliau. Beliau yang bangun masjid ini Pak. Di atas tanah wakafnya
sendiri. Beliau bangun sendiri masjid ini, sebagai masjid transit mereka yang
mau shalat. Bapak lihat toko material di sebelah masjid ini… Itu toko nya
beliau. Tapi beliau lebih suka menghabiskan waktunya di sini. Bahkan salah satu
kesukaannya, aneh. Yaitu senangnya menggantikan posisi saya. Karena suara saya
bagus, kadang saya disuruh mengaji saja dan azan…”. Wuah, entahlah apa yang ada
di hati dan di pikirannya Zaenal… Bagaimana menurut kita ? Jika Ahmad itu
adalah kita, mungkin begitu ketemu kawan lama yang sedang melihat kita
ngebersihin toilet, segera kita beritahu posisi kita siapa yang sebenernya. Dan
jika kemudian kawan lama kita ini sampe menyangka kita merbot masjid beneran,
maka kita akan menyangkal dan kemudian menjelaskan secara detail begini dan
begitu. Sehingga tahulah kawan kita bahwa kita inilah pewakaf dan yang
ngebangun masjid ini. Tapi kita bukan Haji Ahmad. Dan Haji Ahmad bukannya kita.
Ia selamat dari kerusakan amal, sebab ia cool saja. Tenang saja. Adem. Haji
Ahmad merasa tidak perlu menjelaskan apa-apa. Dan kemudian Allah yang
memberitahu siapa dia sebenarnya... Subhaanallaah.... "Al mukhlishu, man
yaktumu hasanaatihi kamaa yaktumu sayyi-aatihi" "Org yg ikhlas itu
adah org yg menyembunyikan kebaikan2nya, sprti ia menyembunyikan keburukan2nya..."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar