Oleh: Nashih Nashrullah
Saling menghargai perasaan memicu kasih sayang.
Sekelompok pemuda pernah mendatangi Rasulullah SAW dan menetap 20 hari 20 malam di Masjid Nabawi untuk belajar.
Lama meninggalkan sanak keluarga, para pemuda tersebut perlahan mulai merindukan kebersamaan dan bersua bersama orang-orang yang mereka cintai.
Rasa ini pun tampak dari raut muka dan bahasa tubuh. Kondisi tersebut dibaca dengan baik oleh Rasulullah yang terkenal sebagai pribadi yang lembut dan penuh kasih sayang. Rasul pun memerintahkan mereka segera pulang dan berbagi ilmu yang mereka peroleh selama belajar.
Begitulah, kata Syekh Musthafa al-Adawi dalam bukunya yang berjudul Fiqh al-Akhlak wa al-Mu'amalat Ma'a al-Mu'minin, manusia memiliki perasaan dan sensitivitas yang penting pula dibaca lalu dijaga dengan baik.
Membaca perasaan itu bisa ditempuh dengan menangkap bahasa tubuh yang bersangkutan. Sehingga, perkara yang kurang mengenakkan akibat ketidakpekaan selama berinteraksi bisa dihindari.
Sering kali, ketika bergaul, kurang memerhatikan perasaan orang lain. Mengobrol hingga larut, memaksakan kehendak, dan penggunaan bahasa entah disadari atau tidak kerap menyakiti perasaan. Contoh di atas menunjukkan, bagaimana Rasul jeli dan sensitif menangkap perasaan para pemuda yang merindukan keluarga mereka.
Rasul merupakan sosok yang peka membaca perasaan dan karakter seseorang. Hal ini dijadikan sebagai acuan untuk berinteraksi dengan sesesorang sesuai dengan latar belakangnya masing-masing. Perhatikan, misalnya, sikap yang ditunjukkan Rasul kepada Utsman bin Affan yang dikenal pemalu di kalangan sahabat.
Seperti yang pernah dikisahkan Aisyah. Abu Bakar pernah menghadap Rasul, ketika itu Rasul hanya memakai baju berbahan wol seadanya sambil berbaring santai. Tanpa segan, ayahanda Aisyah tersebut mengutarakan maksud kedatangannya pada menantunya itu.
Pemandangan yang sama terlihat saat Rasul menerima kunjungan Umar bin Khatab. Ketika, tiba giliran Utsman, Rasul meminta Aisyah berbenah dan menyiapkan pakaian yang lebih bagus.
Aisyah pun terheran, mengapa penyambutan Utsman diistimewakan, sedangkan kedua tamu sebelumnya diperlakukan biasa saja. Rasul menjawab bahwa Utsman merupakan sosok pemalu, bila tidak disambut sedemikian rupa, bisa jadi dia tidak akan berani menyampaikan uneg-uneg-nya.
Bentuk peka menghargai perasaan orang lain, Rasul tidak pernah menjatuhkan martabat dan harga diri seseorang di muka umum, sekalipun yang bersangkutan memang bersalah. Suatu ketika, Rasul pernah membuat suatu barang, lalu menjualnya murah.
Sekelompok orang mencibir tindakan Rasul itu. Sewaktu berkhotbah, Rasul menegur aksi yang dianggap mencederai perasaan tersebut. Tetapi, sama sekali tidak menyebut nama pelakunya, apalagi menjelek-jelekkan mereka di hadapan khalayak. Cukup menyebut “ma balu aqwam”, apa gerangan yang menimpa kaum itu, demikian sabda Rasul.
Saling menghargai perasaan memicu kasih sayang.
Sekelompok pemuda pernah mendatangi Rasulullah SAW dan menetap 20 hari 20 malam di Masjid Nabawi untuk belajar.
Lama meninggalkan sanak keluarga, para pemuda tersebut perlahan mulai merindukan kebersamaan dan bersua bersama orang-orang yang mereka cintai.
Rasa ini pun tampak dari raut muka dan bahasa tubuh. Kondisi tersebut dibaca dengan baik oleh Rasulullah yang terkenal sebagai pribadi yang lembut dan penuh kasih sayang. Rasul pun memerintahkan mereka segera pulang dan berbagi ilmu yang mereka peroleh selama belajar.
Begitulah, kata Syekh Musthafa al-Adawi dalam bukunya yang berjudul Fiqh al-Akhlak wa al-Mu'amalat Ma'a al-Mu'minin, manusia memiliki perasaan dan sensitivitas yang penting pula dibaca lalu dijaga dengan baik.
Membaca perasaan itu bisa ditempuh dengan menangkap bahasa tubuh yang bersangkutan. Sehingga, perkara yang kurang mengenakkan akibat ketidakpekaan selama berinteraksi bisa dihindari.
Sering kali, ketika bergaul, kurang memerhatikan perasaan orang lain. Mengobrol hingga larut, memaksakan kehendak, dan penggunaan bahasa entah disadari atau tidak kerap menyakiti perasaan. Contoh di atas menunjukkan, bagaimana Rasul jeli dan sensitif menangkap perasaan para pemuda yang merindukan keluarga mereka.
Rasul merupakan sosok yang peka membaca perasaan dan karakter seseorang. Hal ini dijadikan sebagai acuan untuk berinteraksi dengan sesesorang sesuai dengan latar belakangnya masing-masing. Perhatikan, misalnya, sikap yang ditunjukkan Rasul kepada Utsman bin Affan yang dikenal pemalu di kalangan sahabat.
Seperti yang pernah dikisahkan Aisyah. Abu Bakar pernah menghadap Rasul, ketika itu Rasul hanya memakai baju berbahan wol seadanya sambil berbaring santai. Tanpa segan, ayahanda Aisyah tersebut mengutarakan maksud kedatangannya pada menantunya itu.
Pemandangan yang sama terlihat saat Rasul menerima kunjungan Umar bin Khatab. Ketika, tiba giliran Utsman, Rasul meminta Aisyah berbenah dan menyiapkan pakaian yang lebih bagus.
Aisyah pun terheran, mengapa penyambutan Utsman diistimewakan, sedangkan kedua tamu sebelumnya diperlakukan biasa saja. Rasul menjawab bahwa Utsman merupakan sosok pemalu, bila tidak disambut sedemikian rupa, bisa jadi dia tidak akan berani menyampaikan uneg-uneg-nya.
Bentuk peka menghargai perasaan orang lain, Rasul tidak pernah menjatuhkan martabat dan harga diri seseorang di muka umum, sekalipun yang bersangkutan memang bersalah. Suatu ketika, Rasul pernah membuat suatu barang, lalu menjualnya murah.
Sekelompok orang mencibir tindakan Rasul itu. Sewaktu berkhotbah, Rasul menegur aksi yang dianggap mencederai perasaan tersebut. Tetapi, sama sekali tidak menyebut nama pelakunya, apalagi menjelek-jelekkan mereka di hadapan khalayak. Cukup menyebut “ma balu aqwam”, apa gerangan yang menimpa kaum itu, demikian sabda Rasul.
Sikap yang sama juga dilakukan Rasulullah saat Ibnu Salul menebarkan fitnah atas Aisyah dalam peristiwa hadits al-ifk
yang tersohor itu. Dalam sebuah sabdanya, Rasul cukup menyebutkan
lelaki yang menyakiti keluarganya, tanpa mencatut nama Ibnu Salul
sedikitpun.
Padahal, kejahatan itu telah menyudutkan Rasulullah dan para Ahlu Bait. Bahkan, sikap Rasul yang menutup-nutupi nama pelakunya tersebut menimbulkan teka-teka di tengah-tengah sahabat. Siapakah sosok yang berani berbuat demikian.
Saling menjaga perasaan diterapkan pula di ranah kehidupan rumah tangga. Contoh kecil, misalnya, tidak menceritakan kekurangan pasangan di ranjang kepada keluarga terdekat sekalipun. Hal ini untuk menghindari ketersinggungan salah satu pihak akibat aibnya terungkap. Kecuali, dalam konteks bertanya perihal hukum syar'inya.
Ali bin Abi Thalib pernah berkisah perihal kebiasaannya yang suka mengeluarkan mazi, yakni cairan yang keluar sebelum bersenggama atau saat foreplay. Hendak bertanya langsung kepada Rasul, suami Fatimah itu malu dan khawatir menyinggung perasaan Rasul yang sekaligus ayah mertua. Ali pun mendelegasikan pertanyaan tersebut kepada al-Miqdad bin al-Aswad.
Urgensi membaca perasaan dan kondisi orang lain tersebut juga ditekankan terkait persoalan ibadah. Riwayat Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah mengisahkan bagaimana Rasul menjadikan Nabi Yusya' bin Nun sebagai contoh kepekaan dan kejelian menangkap kondisi dan perasaan seseorang.
Yusya' pernah bertutur, dia meminta para pejuang yang ikut serta di medan perang agar siap fisik dan mental. Ini agar selama berada di peperangan, seorang suami tidak terbayang istrinya, para tukang tak berpikir kapan mesti membangun atap rumah, dan lain sebagainya.
Atas dasar ini pula Rasulullah meminta agar pelaksanaan shalat tidak disatukan waktunya dengan jam makan, misalnya. Ini seperti penegasan hadis riwayat Muslim dari Aisyah. Di riwayat Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Umar, Rasul mengajarkan, bila penunaian shalat Isya berbarengan waktunya dengan makan malam maka lebih baik mendahulukan makan dan tidak perlu terburu-buru.
Karena itulah, kata Syekh al-Adawi, cerdiklah membaca perasaan dan bahasa tubuh seseorang. Perlakukan mereka secara proporsional. Jika mereka menyukai bahasa terus terang, ikuti alur kesukaan mereka.
Bila cenderung empat mata, tak ada salahnya mengajak berbicara personal. Dan, jangan sesekali mengumbar atau menjatuhkan orang lain di depan umum. Kelihaian menangkap perasaan seseorang dan menyikapinya dengan bijak merupakan bentuk kedewasaan yang nyata.
Padahal, kejahatan itu telah menyudutkan Rasulullah dan para Ahlu Bait. Bahkan, sikap Rasul yang menutup-nutupi nama pelakunya tersebut menimbulkan teka-teka di tengah-tengah sahabat. Siapakah sosok yang berani berbuat demikian.
Saling menjaga perasaan diterapkan pula di ranah kehidupan rumah tangga. Contoh kecil, misalnya, tidak menceritakan kekurangan pasangan di ranjang kepada keluarga terdekat sekalipun. Hal ini untuk menghindari ketersinggungan salah satu pihak akibat aibnya terungkap. Kecuali, dalam konteks bertanya perihal hukum syar'inya.
Ali bin Abi Thalib pernah berkisah perihal kebiasaannya yang suka mengeluarkan mazi, yakni cairan yang keluar sebelum bersenggama atau saat foreplay. Hendak bertanya langsung kepada Rasul, suami Fatimah itu malu dan khawatir menyinggung perasaan Rasul yang sekaligus ayah mertua. Ali pun mendelegasikan pertanyaan tersebut kepada al-Miqdad bin al-Aswad.
Urgensi membaca perasaan dan kondisi orang lain tersebut juga ditekankan terkait persoalan ibadah. Riwayat Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah mengisahkan bagaimana Rasul menjadikan Nabi Yusya' bin Nun sebagai contoh kepekaan dan kejelian menangkap kondisi dan perasaan seseorang.
Yusya' pernah bertutur, dia meminta para pejuang yang ikut serta di medan perang agar siap fisik dan mental. Ini agar selama berada di peperangan, seorang suami tidak terbayang istrinya, para tukang tak berpikir kapan mesti membangun atap rumah, dan lain sebagainya.
Atas dasar ini pula Rasulullah meminta agar pelaksanaan shalat tidak disatukan waktunya dengan jam makan, misalnya. Ini seperti penegasan hadis riwayat Muslim dari Aisyah. Di riwayat Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Umar, Rasul mengajarkan, bila penunaian shalat Isya berbarengan waktunya dengan makan malam maka lebih baik mendahulukan makan dan tidak perlu terburu-buru.
Karena itulah, kata Syekh al-Adawi, cerdiklah membaca perasaan dan bahasa tubuh seseorang. Perlakukan mereka secara proporsional. Jika mereka menyukai bahasa terus terang, ikuti alur kesukaan mereka.
Bila cenderung empat mata, tak ada salahnya mengajak berbicara personal. Dan, jangan sesekali mengumbar atau menjatuhkan orang lain di depan umum. Kelihaian menangkap perasaan seseorang dan menyikapinya dengan bijak merupakan bentuk kedewasaan yang nyata.
Sumber : http://www.republika.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar