Kamis, 31 Mei 2018

Mengenal 'Iftar Party' di Jepang


Ramadhan di Tanah Air biasanya dipenuhi acara dan kegiatan sosial, seperti buka bersama, reuni angkatan, berburu takjil, serta mengisi sore hari dengan berbagai aktivitas mengasikkan atau istilahnya 'ngabuburit.' Ishikawa Muslim Society (IMS) - sebuah komunitas Muslim di Prefektur Ishikawa, Jepang - juga 'ngabuburit' dengan cara berbeda.
Mereka menyebutnya iftar party, atau pesta buka puasa yang kali ini mengundang seorang relawan Palestina. Istilah iftar party sudah familiar di kalangan komunitas Muslim di Jepang. Pada hakikatnya acara ini mengundang masyarakat nonMuslim untuk berbuka puasa bersama, sembari mengenalkan Islam sebagai agama yang cinta damai.
Acara yang digelar di Masjid Umar bin Al Khattab, Kanazawa ini menghadirkan Tomoki Piekenbrock (25 tahun). Dia seorang mahasiswa program pertukaran internasional (short term exchange program) di Universitas Kanazawa yang selama setahun pada 2014 pernah menjadi relawan di Palestina.
Pemuda blasteran Jepang dan Jerman ini dikirim pemerintah Jerman untuk menjadi relawan di Kota Ramallah. Pertukaran pemuda-pemudi ke berbagai belahan dunia, termasuk negara berkembang lumrah dilakukan di Jerman.
Tujuannya supaya generasi muda lebih mengenal dunia luar. Pria yang akrab disapa Tom ini pernah bekerja di tiga tempat, mulai dari Taman Kanak-Kanak, sekolah dasar, sampai hotel kecil.
"Alasan saya memilih Palestina karena saya ingin belajar bahasa Arab dan saya tertarik dengan negara ini," katanya.
Wajah Tom tampak sendu mana kala dirinya bercerita sambil mempresentasikan foto dan video ketika sedang berada di Palestina. Tom yang notabene seorang nonMuslim sangat prihatin dengan kondisi masyarakat, khususnya Muslim di kota suci tiga agama tersebut.
"Coba bayangkan seandainya Anda tinggal di Jepang. Kanazawa itu umpamanya daerah yang dikontrol Palestina, namun begitu Anda keluar satu meter saja dari Kanazawa, maka itu sudah tidak di bawah kontrol Palestina lagi. Bagaimana mungkin kita bisa tinggal di negara seperti itu?" kata Tom.
Tom mengatakan banyak sekolah di Palestina yang dibangun dari bahan dan peralatan sederhana, seperti tumpukan ban mobil. Anak-anak tetap belajar, meski mereka tahu sewaktu-waktu tentara penjajah bisa saja datang dan menghancurkan tempat mereka.
Anggota IMS, Hikmah Balbeid menilai pentingnya solidaritas untuk saudara-saudara Muslim di Palestina. Menurutnya, orang-orang Islam itu bersaudara, sehingga sudah wajar jika membantu sesama saudara tanpa memandang batasan negara dan bangsa.
"Dari segi kemanusiaan, masalah Palestina adalah pelanggaran hak asasi manusia yang sudah berjalan puluhan tahun, berlangsung terus menerus, dan kondisinya semakin memburuk. Apakah kita membiarkan saja keadaan ini? Mari tanyakan pada hati kita," katanya.
Anggota IMS lainnya, Dian Novitasari mengatakan acara sore itu dihadiri lebih dari 100 orang yang merupakan masyarakat lintas agama, dewasa dan anak-anak. Iftar party kali ini paling ramai dibanding hari-hari sebelumnya Pengunjung yang hadir, khususnya orang-orang Jepang tampak serius menyimak seluruh pemaparan Tom.
"Ada puluhan warga Jepang yang hadir. Mereka sangat terkejut, geleng-geleng kepala ketika mendengar dan melihat kondisi Palestina," ujarnya kepada Republika.
Masyarakat Jepang sama seperti Indonesia, yaitu negara multiagama. Meski demikian, keberagaman kepercayaan di Negeri Sakura tersebut tak pernah merusak kerukunan yang ada.

Sumber : http://republika.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar