REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Makmun Nawawi
Husain bin Abdurrahman bertutur: “Sampai berita padaku ada seorang pemuda Madinah yang selalu shalat berjama’ah bersama Umar bin Khattab, bahkan Umar merasa kehilangan jika pemuda itu tak hadir berjama’ah dengannya.
Sementara ada seorang gadis Madinah jatuh cinta kepadanya. Dia pun mengutarakan isi hatinya pada seorang wanita tua: aku ingin engkau bisa menyiasati pemuda itu agar mau masuk ke dalam rumahku.”
Kemudian wanita tua
itu duduk di pinggir jalan yang biasa dilewati pemuda itu. Ketika dia
lewat, wanita tua itu menyapa, “Aku hanya seorang wanita tua, aku
mempunyai domba, tapi aku tak bisa memerah susunya, sudilah kiranya
engkau masuk ke dalam rumahku, membantu memerahkan susu untukku?”Husain bin Abdurrahman bertutur: “Sampai berita padaku ada seorang pemuda Madinah yang selalu shalat berjama’ah bersama Umar bin Khattab, bahkan Umar merasa kehilangan jika pemuda itu tak hadir berjama’ah dengannya.
Sementara ada seorang gadis Madinah jatuh cinta kepadanya. Dia pun mengutarakan isi hatinya pada seorang wanita tua: aku ingin engkau bisa menyiasati pemuda itu agar mau masuk ke dalam rumahku.”
Pemuda itu memang gemar melakukan kebaikan, ia pun (tanpa curiga) masuk ke dalam rumahnya, namun ia sama sekali tak melihat domba. “Duduklah sebentar, aku akan membawa dombanya,” ujar wanita tua itu.
Tak lama kemudian datanglah seorang wanita muda menghampirinya.
Pemuda itu pun menyingkir ke arah mihrab yang ada di rumah itu dan duduk
di sana. Sementara gadis itu mengejar dan terus merayunya, tapi ia
tetap menolak seraya berkata, “Wahai wanita, takutlah kepada Allah!”
Ketika wanita itu tak berdaya menahan sang pemuda, juga tak menggubris kata-katanya, dan begitu jelas penolakannya, wanita itu pun berteriak. Manakala orang-orang berdatangan, gadis itu berkata, “Pemuda ini telah masuk ke dalam rumahku dan merayuku agar mau melayaninya.“
Akhirnya pemuda itu dipukuli, dan kedua tangannya diikat. Esoknya, ketika Umar shalat Subuh, ia tidak melihat pemuda itu.
Ketika wanita itu tak berdaya menahan sang pemuda, juga tak menggubris kata-katanya, dan begitu jelas penolakannya, wanita itu pun berteriak. Manakala orang-orang berdatangan, gadis itu berkata, “Pemuda ini telah masuk ke dalam rumahku dan merayuku agar mau melayaninya.“
Akhirnya pemuda itu dipukuli, dan kedua tangannya diikat. Esoknya, ketika Umar shalat Subuh, ia tidak melihat pemuda itu.
Di saat Umar memendam tanya tentang dirinya, datanglah orang-orang
sambil membawa pemuda itu dalam keadaan terikat. Begitu Umar melihat
pemuda itu, dalam hati ia berkata lirih, “Ya Allah, moga Engkau tak menyalahkan dugaanku perihal pemuda itu.” “Apa yang kalian lakukan?” tanya Umar pada mereka.
“Tadi malam, ada seorang wanita berteriak minta tolong. Ternyata kami dapati pemuda ini ada di sampingnya, lalu kami pukuli dan kami ikat kedua tangannya.”
“Bicaralah yang jujur kepadaku!” ucap Umar kepada pemuda itu. Ia pun menuturkan peristiwa yang sebenarnya. “Engkau kenal dengan wanita tua itu?” tanya umar. “Ya, aku bisa mengenali wanita tua itu jika melihatnya secara langsung,” sahut pemuda itu.
Umar pun memanggil seluruh wanita tua di sekitar tempat gadis itu, dan dihadapkan kepadanya. Namun tak satu pun dari mereka yang sesuai dengan wanita tua yang dilihatnya. Sampai akhirnya, lewatlah wanita tua yang dimaksud.
“Ya Amiral Mukminin, dialah wanita tua itu!” kata pemuda itu. Umar pun marah besar seolah-olah darahnya naik ke atas ubun-ubun kepalanya. “Hai wanita tua, bicaralah yang jujur padaku!” ucapnya kemudian.
Wanita tua itu pun menceritakan persis seperti yang dituturkan sang pemuda. “Mahasuci Allah yang telah menciptakan orang yang menyerupai Nabi Yusuf di antara kita,” sahut Umar.
Seperti Nabi Yusuf, narasi ini adalah contoh indah dari orang salih yang lebih memilih penderitaan ketimbang harus berbuat durjana.
“Tadi malam, ada seorang wanita berteriak minta tolong. Ternyata kami dapati pemuda ini ada di sampingnya, lalu kami pukuli dan kami ikat kedua tangannya.”
“Bicaralah yang jujur kepadaku!” ucap Umar kepada pemuda itu. Ia pun menuturkan peristiwa yang sebenarnya. “Engkau kenal dengan wanita tua itu?” tanya umar. “Ya, aku bisa mengenali wanita tua itu jika melihatnya secara langsung,” sahut pemuda itu.
Umar pun memanggil seluruh wanita tua di sekitar tempat gadis itu, dan dihadapkan kepadanya. Namun tak satu pun dari mereka yang sesuai dengan wanita tua yang dilihatnya. Sampai akhirnya, lewatlah wanita tua yang dimaksud.
“Ya Amiral Mukminin, dialah wanita tua itu!” kata pemuda itu. Umar pun marah besar seolah-olah darahnya naik ke atas ubun-ubun kepalanya. “Hai wanita tua, bicaralah yang jujur padaku!” ucapnya kemudian.
Wanita tua itu pun menceritakan persis seperti yang dituturkan sang pemuda. “Mahasuci Allah yang telah menciptakan orang yang menyerupai Nabi Yusuf di antara kita,” sahut Umar.
Seperti Nabi Yusuf, narasi ini adalah contoh indah dari orang salih yang lebih memilih penderitaan ketimbang harus berbuat durjana.
Sedang hari ini, betapa banyak tokoh yang terkulai lemah di hadapan
fitnah wanita. Bahkan tak hanya dalam ruang privasi, tapi juga berani
menyajikannya ke ranah publik.
Keyakinan bahwa Allah Maha Melihat, dibungkam sedalam-dalamnya, sekalipun belakangan mereka sadar: “Karir yang sudah lama dirintisnya, ternyata harus runtuh dalam sekejap.” Wallahu a'lam
Keyakinan bahwa Allah Maha Melihat, dibungkam sedalam-dalamnya, sekalipun belakangan mereka sadar: “Karir yang sudah lama dirintisnya, ternyata harus runtuh dalam sekejap.” Wallahu a'lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar