Minggu, 01 Juli 2012

Serba-Serbi Ramadhan: Amalan Harian Ramadhan


Bulan Ramadhan hampir tiba, kaum musliminpun menyambutnya dengan penuh harap dan kebahagian. Bagaimana tidak?! Bulan yang penuh barokah dan keutamaan. Bulan diturunkannya Al Qur’an yang menunjuki manusia kepada kebahagiaan dan keselamatan dunia dan akherat. Maka tak heran kaum muslimin menyambutnya dengan penuh suka cita.

Demikianlah Allah memberikan keutamaan pada bulan ini yang tidak dimiliki bulan-bulan lainnya.

1. Keutamaan Bulan Ramadhan
(Diringkas dari Sifat Saum An Nabi karya Syeikh Saalim bin ‘Ied Al Hilaliy dan Syeikh Ali Hasan Ali Abdil Hamid, cetakan keenam tahun 1417 H -1997 M, penerbit Al Maktabah Al Islamiyah, Amaan, Yordania hal 18-20)
Sangat jelas dan gamlang keutamaan Ramadhan dibanding bulan lainnya, namun kiranya masih perlu dipaparkan secara ringkas keutamaannya sebagai motivator semangat kaum muslimin beramal sholeh padanya. Diantara keutamaan tersebut adalah:
a. Bulan Ramadhan adalah bulan Al-Qur’an karena Al-Qur’an diturunkan pada bulan tersebut sebagaimana firman Allah:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْءَانُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, hendaklah dia berpuasa.” (Surat Al Baqarah ayat 185)
Dalam ayat di atas, bulan Ramadhan dinyatakan sebagai bulan turunnya Al-Qur’an, lalu pernyataan tersebut diikuti dengan perintah yang dimulai dengan huruf ف -yang berfungsi menunjukkan makna ‘alasan dan sebab’- dalam firmanNya: فََمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ. Hal itu menunjukkan bahwa sebab pemilihan bulan Ramadhan sebagai bulan puasa adalah karena Al-Qur’an diturunkan pada bulan tersebut.
b. Dalam bulan ini, para setan dibelenggu, pintu neraka ditutup, dan pintu surga dibuka sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِذَا جَاءَ رَمَضانُ فُتِحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النِيْرَانِ، وَصُفِّدَتِ الشَّيَاطِيْنُ
“Jika datang bulan Ramadhan dibuka pintu-pintu surga dan ditutup pintu-pintu neraka serta dibelenggu para setan.” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim)
Oleh karena itu, kita dapati dalam bulan ini sedikit terjadi kejahatan dan kerusakan di bumi karena sibuknya kaum muslimin dengan berpuasa dan membaca Al-Qur’an serta ibadah-ibadah yang lainnya; dan juga dibelenggunya para setan pada bulan tersebut.
c. Di dalamnya terdapat satu malam yang dinamakan Lailatul Qadar, satu malam yang lebih baik daripada seribu bulan sebagaimana yang dijelaskan dalam surat al-Qadr.
إِ نَّآ أَنْزَلْنَهُ فِى لَيْلَةِ الْقَدْرِ وَمَآ أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌمِّنْ أَلْفِ شَهْرٍ تَنَزَّلُ الْمَلَئِكَةُ وَالرُّوْحُ فِيْهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِّنْ كُلِّ أَمْرٍ سَلاَمٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (al-Qur’an) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Rabbnya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.” (Surat Al Qadr ayat: 1-5)
Melihat keutamaan-keutamaan ini tentunya membuat seorang muslim lebih bersemangat dalam menyambutnya dengan mempersiapkan diri sebaik mungkin menjelang datangnya bulan tersebut.

2. Persiapan Menghadapi Ramadhan
Diantara yang harus dipersiapkan seorang muslim dalam menyambut kedatangan bulan yang mulia ini adalah:
a. Menghitung Bulan Sya’ban
Salah satu bentuk persiapan dalam menghadapi Ramadhan yang seharusnya dilakukan oleh kaum muslimin adalah menghitung bulan Sya’ban, karena satu bulan dalam hitungan Islam adalah 29 hari atau 30 hari sebagaimana yang dijelaskan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Ibnu Umar, beliau bersabda:
الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُوْنَ لَيْلَةً، فَلا َتَصُوْمُوْا حَتَّى تَرَوْهُ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا الْعِدَّةَ ثَلاَثِيْنَ
“Satu bulan itu 29 malam. Maka jangan berpuasa sampai kalian melihatnya. Jika kalian terhalang (dari melihatnya), maka genapkanlah 30 hari.” (Riwayat al-Bukhari)
Maka tidaklah kita berpuasa sampai kita melihat hilal (tanda masuknya bulan). Oleh karena itu, untuk menentukan kapan masuk Ramadhan diperlukan pengetahuan hitungan bulan Sya’ban.
b. Melihat hilal Ramadhan (Ru’yah)
Untuk menentukan permulaan bulan Ramadhan diperintahkan untuk melihat hilal, dan itulah satu-satunya cara yang disyariatkan dalam Islam sebagaimana yang dijelaskan oleh an-Nawawi dalam al-Majmu’ (6/289-290) dan oleh Ibnu Qudamah dalam Al-Mughniy (3/27). Dan ini adalah pendapat Ibnu Taimiyah yang berkata, “Kita sudah mengetahui dengan pasti bahwa termasuk dalam agama Islam beramal dengan melihat hilal puasa, haji, atau iddah (masa menunggu), atau yang lainnya dari hukum-hukum yang berhubungan dengan hilal. Adapun pengambilannya dengan cara mengambil berita orang yang menghitungnya dengan hisab, baik dia melihatnya atau tidak, maka tidak boleh.” (Lihat: Majmu’ al-Fatawa 25/132)
Kemudian perkataan beliau ini merupakan kesepakatan kaum muslimin. Sedang munculnya masalah bersandar dengan hisab dalam hal ini baru terjadi pada sebagian ulama setelah tahun 300-an. Mereka mengatakan bahwa jikalau terjadi mendung (sehingga hilal tertutup) boleh bagi orang yang mampu menghitung hisab untuk beramal dengan hisabnya itu hanya untuk dirinya sendiri. Jika hisab itu menunjukkan ru’yah, maka dia berpuasa, dan jika tidak, maka tidak boleh. (Lihat: Majmu’ al-Fatawa 25/133). Lalu, bagaimana keadaan kita sekarang ?
Adapun dalil tentang kewajiban menentukan permulaan bulan Ramadhan dengan melihat hilal sangat banyak, di antaranya adalah:
1. Hadits Ibnu Umar terdahulu.
الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُوْنَ لَيْلَةً، فَلا َتَصُوْمُوْا حَتَّى تَرَوْهُ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا الْعِدَّةَ ثَلاَثِيْنَ
“Satu bulan itu 29 malam. Maka jangan berpuasa sampai kalian melihatnya. Jika kalian terhalang (dari melihatnya), maka genapkanlah 30 hari.” (Riwayat al-Bukhari)
2. Hadits Abu Hurairah radhiallahu’anhu. Beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَ أَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا شَعْبَانَ ثَلاَثِيْنَ
“Berpuasalah kalian karena melihatnya dan berbukalah kalian (untuk idul fithri) karena melihatnya. Jika (hilal) tertutup oleh mendung, maka sempurnakanlah Sya’ban 30 hari.” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim)
3. Hadits ‘Adi bin Hatim radhiallahu’anhu, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فَصُوْمُوْا ثَلاَثِيْنَ إِلاَّ أَنْ تَرَوْا الْهِلاَلَ قَبْلَ ذَلِكَ
“Jika datang Ramadhan maka berpuasalah 30 hari kecuali kalian telah melihat hilal sebelumnya.” (Riwayat ath-Thahawy dan ath-Thabrany dalam al-Kabir 17/171, dan dihasankan Syaikh al-Albany dalam Irwa’ al-Ghalil nomor hadits 901)
Penentuan bulan Ramadhan dengan cara melihat hilal dapat ditetapkan dengan persaksian seorang Muslim yang adil sebagaimana yang dikatakan Ibnu Umar radhiallahu’anhu:
تراءى الناس الهلال فأخبرت النبي صلى الله عليه و سلم أني رأ يته فصام وأمر الناس بصيامه
“Manusia sedang mencari hilal, lalu aku khabarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa aku telah melihatnya maka beliau berpuasa dan memerintahkan manuasia untuk berpuasa.” (Riwayat Abu Dawud, ad-Darimy, Ibnu Hibban, al-Hakim, dan al-Baihaqy)
c. Puasa pada Hari yang Diragukan
Berpuasa pada hari yang diragukan, apakah sudah masuk bulan Ramadhan atau belum, adalah terlarang sebagaimana di sebutkan dalam hadits Abu Hurairah radhiallahu’anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تُقَدِّمُوْا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ إِلاَّ رَجُلاً يَصُوْمُ صَوْمًا فَلْيَصُمْهُ
“Janganlah mendahului puasa Ramadhan dengan puasa satu hari atau dua hari (sebelumnya), kecuali orang yang (sudah biasa) berpuasa satu puasa (yang tertentu), maka hendaklah dia berpuasa.” (Riwayat Muslim)
***
Penulis: Ustadz Kholid bin Syamhudi, Lc.
Artikel www.muslim.or.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar