SUBUH dini hari tak seperti biasa, udara yang sejuk pun tak
membangkitkan selera. Para sahabat tertegun sedih karena melihat mimbar
itu masih kosong. Mimbar yang setiap hari digunakan Rasulullah, kali ini
tak ditempati Nabi.
Mata teduh dan sapaan halus dari Rasulullah yang setiap kali bisa
dinikmati oleh sahabat, pagi ini tiada. Senyum yang tiap kesempatan
merekah, kali ini punah. Abu Bakar memahaminya, meski dengan berat hati,
Abu Bakar pun maju dua atau tiga langkah menuju mimbar.
Ketika hendak mengangkat tangan untuk bertakbir, beberapa sahabat
melihat Rasulullah yang menyibak tirai kamarnya. Hampir seluruh jama’ah
yang hendak melakukan shalat Subuh pun berfikir bahwa Rasulullah yang
akan memimpin shalat seperti hari-hari biasa. Abu Bakar segera mundur
beberapa langkah masuk ke dalam shaf ma’mum.
Tapi, dugaan Abu Bakar dan sahabat salah. Dari dalam kamar, ternyata
Rasulullah melambaikan tangan beberapa kali, beliau memberikan sebuah
isyarat agar shalat diteruskan dengan Abu Bakar sebagai imam. Tak
berselang lama, Rasulullah pun tersenyum, dan dengan gerakan yang lembut
tirai jendela ditutupnya, Rasul menghilang di balik tirai. Para sahabat
segera melaksanakan jama’ah shalat Subuh. Setelah usai, mereka
berdzikir, berdo’a, dan sebagian bertanya-tanya “Sudahkah tiba
waktunya?”
Rasulullah berbisik lirih, “Tak ada penderitaan atas ayahmu setelah
hari ini.” Demikian kalimat yang sempat dibisikkan pada Fatimah.
Dan tak berselang lama, manusia terbaik dan yang paling mulia
menghembuskan nafas terakhirnya, Senin 12 Rabi’ul Awal 11 H, dengan usia
63 tahun lebih 4 hari, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam wafat.
Kabar duka yang amat mendalam ini tersebar cepat. Keluarga dan para
sahabat mengalami duka yang sangat hebat. Kehilangan manusia terbaik
penegak syari’at. Umar yang mengetahui peristiwa ini langsung keluar
menuju kerumunan orang. Ia menghunus pedangnya dan menancapkan pedang
tersebut di tanah yang gersang. Lalu Umar berteriak dengan lantang,
“Siapa yang telah mengatakan Rasulillah meninggal, maka akan aku potong
tangan dan kakinya.”
Mendengar perkataan ini, para sahabat pun menunduk dan terdiam. Mata
tajam Umar menyibak dan melihat sekelilingnya tanpa terpejam, dengan
mengangkat jari telunjuk yang diarahkan ke langit, Umar melanjutkan
perkataannya, “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak meninggal.
Beliau menemui Rabbnya seperti Musa bin Imran. Beliau akan kembali
menemui kaumnya setelah dianggap meninggal dunia.”
Seakan-akan kematian Rasulullah tak bisa diterima oleh Umar karena
rasa cinta yang begitu mendalam. Tak berselang lama, tampak debu yang
mengepul dari arah bukit. Lalu terlihatlah seekor kuda yang dipacu
dengan begitu cepat dan gesit, di atas punggung kuda itu tampak Abu
Bakar dengan wajah memerah, sedih dan cemas yang tak tertahan.
Abu Bakar lantas berhenti di depan masjid dan langsung melompat
turun. Ia langsung masuk ke ruangan dengan menerobos kerumunan para
sahabat bagai singa yang hendak menerkam mangsa. Tanpa berkata sepatah
katapun, ia langsung menemui putrinya, Aisyah. Lantas Aisyah menunjukkan
jasad Rasulullah.
Abu Bakar melihat tubuh yang terbujur di pembaringan, di dekatinya
dan dibukanya penutup yang berwarna hitam itu. Air mata tak tertahan dan
segera dipeluk jazad Rasulullah dengan erat. Abu Bakar lalu memandang
wajah Rasulullah, lantas ia berbisik lirih, “Demi ayah dan ibuku sebagai
tebusannya, Allah tak akan menghimpun pada dirimu dua kematian. Jika
saja kematian ini telah ditetapkan pada dirimu, maka memang engkau sudah
meninggal.”
Beberapa saat kemudian, dengan langkah kecilnya, Abu Bakar keluar dan
mendapati Umar yang masih berbicara pada orang-orang di sekelilingnya.
Abu Bakar pun berkata, “Wahai Umar, duduklah.”
Perkataan Abu Bakar tak digubris oleh Umar. Bahkan Umar semakin
berdiri kokoh tak tergoyahkan. Pada akhirnya, Abu Bakar maju beberapa
langkah dan berkata dengan nada yang lantang, “Wahai kaum muslimin,
barangsiapa di antara kalian ada yang menyembah Muhammad, maka
sesungguhnya Muhammad telah meninggal dunia. Tetapi jika kalian
menyembah Allah, maka sesungguhnya Allah itu Maha Hidup dan tak pernah
meninggal.”
Ia berhenti sejenak, melihat keadaan sekelilingnya, lalu ia membaca
Surah Ali-Imran ayat ke-144, “Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang
Rasul, sungguh telah berlaku sebelumnya beberapa orang Rasul. Apakah
jika dia wafat atau terbunuh kalian akan berpaling ke belakang (menjadi
murtad)? Barangsiapa berpaling ke belakang, maka ia tidak mendatangkan
mudharat sedikit pun pada Allah, dan Allah memberi balasan kepada
orang-orang yang bersyukur.”
Semua orang langsung menundukkan kepalanya dalam-dalam. Apa yang
dikatakan Abu Bakar telah menyadarkan mereka. Lantas Umar terjatuh,
lututnya tertekuk di atas tanah dan tangannya menggapai pasir seakan
hendak tersujud. Umar berkata, “Demi Allah, setelah mendengar Abu Bakar
membaca ayat tersebut, aku menjadi limbung hingga tak kuasa mengangkat
kedua kakiku, aku tertunduk ke tanah saat mendengarnya. Kini, aku sudah
tahu bahwa Rasulullah benar-benar telah meninggal.”
Setelah proses memandikan jenazah selesai, beberapa sahabat berbeda
pendapat tentang di mana beliau dimakamkan. Lalu Abu Bakar yang telah
dibai’at menjadi Khalifah segera berkata, “Sesungguhnya aku pernah
mendengar Rasul Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Tidaklah seorang
Nabi meninggal dunia, melainkan dia dimakamkan di tempat dia meninggal
dunia’.”
Maka secepat kilat, Abu Thalhah segera menyingkirkan tempat tidur
beliau dan menggali liang lahat seorang diri. [Abi Khamid Al Abdillah]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar