REPUBLIKA.CO.ID, Pelajaran ekonomi di dalam Alquran tak hanya datang
saat masa Rasulullah. Ekonomi syariah sudah diceritakan Alquran lewat
nabi-nabi sebelum Muhammad SAW. Setelah "menuangkan" kisah Nuh dan
kaumnya; Hud dan kaum 'Ad; Shaleh dan kaum Tsamud; Luth dan kaumnya;
Alquran kemudian mengungkap kisah Syu'aib dan kaum Madyan. Kisah ini
termaktub dalam QS Al A'raf: 85-93, QS Hud: 84-89. Untuk lebih
singkatnya ayat-ayat tersebut hanya dikutip sebagian saja.
Karena itu -- dalam berekonomi -- berlakulah adil dan jujur ketika
menakar dan menimbang, janganlah sekali-kali mengurangi hak orang,
walaupun sedikit, dan jangan pula berbuat kerusakan di bumi setelah ada
perbaikan, yang demikian lebih baik bagi kalian jika kalian benar-benar
beriman."
Dikutip dari Harian Republika, Aunur Rofiq dalam artikelnya
berjudul 'Doktrin Ekonomi Nabi Syuaib' menulis, Ada beberapa catatan
penting yang dapat diangkat di sini dari dialog antara keduanya.
Pertama, aspek transendental. Nabi Syu'aib melihat bahwa semua aktivitas
termasuk ekonomi, baik yang berkaitan dengan individu atau kelompok,
harus ditata berdasarkan moralitas agama atau prinsip tauhid, bahwa
Allahlah pemilik hakiki harta tersebut.
Manusia hanyalah pemilik nisbi, sesuai dengan keberadaannya yang
nisbi pula, tidak mutlak. Jika demikian mengapakah manusia begitu rakus
dan sewenang-wenang dalam mendapatkan dan menggunakan kekayaannya.
Padahal secara fakta, ia pasti akan kembali (mati) dan tidak ada yang
dapat dibawanya kecuali amal konstruktifnya -- melalui kekayaannya.
Manusia perlu menyadari, dia bukan sayyid al-kaun (raja, tuan dan
pemilik alam semesta), tapi hanya sebagai khalifah -- "perpanjangan
tangan" -- dari pemilik alam ini (Tuhan). Karena itu, tidak boleh tidak,
ia harus taat dan mengikuti aturan main yang mengangkat dan memberinya
amanat.
Penyimpangan dan kecurangan akan berakibat fatal bukan hanya pada
dirinya, tapi juga akan menimpa orang lain dan lingkungannya.
Bagaimanapun keberadaan dirinya, orang lain dan realitas alam di pihak
lain memiliki kaitan yang sangat erat dan terpusat pada satu zat yaitu
Allah SWT.
Kedua, solidaritas kemanusiaan (human
solidarity). Dalam aspek ini Nabi Syu'aib menawarkan agar interaksi
antarsesama dibangun di atas prinsip-prinsip keadilan, keseimbangan,
kejujuran, humanitas (memanusiakan manusia), dan orentasi mashlahah.
Dapat dikembangkan di sini bahwa proses produksi, pertukaran,
konsumsi, distribusi, dan aktivitas-aktivitas ekonomi lainnya hendaknya
dibingkai dalam frem prinsip-prinsip di atas. Dengan demikian, kekayaan
tidak hanya berputar pada segelintir orang an sich, atau tidak
dijalankan dengan sewenang-wenang untuk kesuksesan atau meningkatkan
pengaruh orang tertentu, dan menindas anggota masyarakat yang lemah.
Ketiga, takamuliyah (integration; totalit). Nabi Syu'aib mengajak
untuk tidak memisahkan antara aspek agama dan ekonomi. Keduanya bagi dia
memiliki keterkaitan satu sama lain.
Lain halnya dengan kaumnya (bangsa Madyan). Mereka menggunakan
paradigma sekularisme dan individualisme. Menurut mereka, tauhid (agama)
dan ekonomi tidak ada kaitannya. Keduanya harus dipisahkan. Ekonomi
tidak usah dikontrol dengan agama, dan membiarkannya bebas sesuai dengan
kehendak manusia. Kata mereka, "Wahai Syu'aib, apakah shalatmu -- agama
-- memerintahkanmu agar kami meninggalkan tradisi pendahulu kami (tidak
bertauhid, bebas dari ikatan agama), atau agar kami meninggalkan
kebebasan kami dalam memperlakukan hak milik (harta) kami...?" (QS
11:87).
Berangkat dari pandangan sekularistis dan individualistis di atas,
mereka memandang diri mereka sebagai sayyid al-kaun. Karena itu mereka
bebas menggunakan hak milik mereka tanpa terikat dengan etika dan
nilai-nilai agama. Yang penting bagaimana cara mengeruk keuntungan yang
sebanyak-banyaknya. Mereka tidak mempedulikan agama, orang lain, dan
lingkungan.
Kalau boleh dikaitkan, pandangan ini relevan dengan filsafat "Homo
homini lupus" Thomas Hobbes, yang sampai saat ini masih dominan dalam
dunia kapitalisme. Dalam paradigma ini, mereka yang lemah dan kekurangan
modal akan tergilas dan menjadi mangsa pihak yang kuat. Atau pandangan
Karl Marx yang menjadikan agama hanya sebagai bangunan atas (super
struktur) yang pembentukannya dipengaruhi oleh bangunan pokok, yaitu
struktur ekonomi. Karena kedudukannya begitu lemah, agama sama sekali
tidak berhak campur tangan apalagi mengontrol aktivitas ekonomi manusia.
Sumber : Pusat Data Republika
Tidak ada komentar:
Posting Komentar