Kamis, 10 September 2015

Ibadah Haji Dan Qurban: Menyingkap Rahasia Aajaran Nabi Ibrahim A.S.

Pendahuluan
Menjelang akhir bulan Dzulqa’dah dan selama beberapa hari di bulan Zulhijjah, setiap tahunnya jutaan umat Islam dari berbagai penjuru dunia berkumpul di tanah suci untuk menunaikan rangkaian ibadah haji dengan niat dan tujuan yang sama yaitu untuk memenuhi panggilan Allah s.w.t. untuk mengunjungi rumah-Nya yang suci dan disucikan. Para jama’ah haji yang datang dari berbagai penjuru dunia ini adalah sebagian ummat Islam yang dengan izin Allah SWT mampu memenuhi panggilan-Nya yang diserukan melalui lisan Nabi Ibrahim a.s. sebagaimana tersurat dalam Surat Al-Hajj ayat 27:

 وَأَدِّنْ فِى النَّاسِ باِلْحَجِّ يَأْتُوْكَ رِجَالًاوَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِيْنَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيْقٍ

Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh.” (Q.S. al-Hajj [22]: 27)
Rangkaian ayat al-Qur’an pada surat al-Baqarah ayat 196 hingga 203 juga menunjukkan penekanan terhadap perintah beribadah haji. Allah S.W.T. dalam rangkaian ayat ini memerintahkan umat Islam menyempurnakan haji dan umrah dengan melaksanakan manasik dalam bentuk paling sempurna untuk mencapai ridha Allah S.W.T. Dijelaskan pula di dalamnya rangkaian bulan haram (asyhurul hurum) yang dimuliakan dan bolehnya mencari rizki selama melaksanakan ibadah haji maupun umrah.[2]
Sebagian besar umat Islam yang lain, yang tidak berhaji di tanah suci Mekkah al-Mukarromah, mendapat kesempatan untuk melaksanakan rangkaian ibadah lainnya, yaitu ibadah qurban, dengan menyembelih binatang ternak dan mentasharruf-kannya kepada orang-orang miskin di sekitar. Perintah ini antara lain termaktub dalam firman-Nya pada surat al-Kautsar:

إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ (١) فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ (٢) إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ (٣)

“1. Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. 2. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah. 3. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu Dialah yang terputus.” (Q.S. al-Kautsar [108]: 1-3)
Ibadah haji saat ini merupakan ibadah yang membutuhkan pengorbanan sangat besar baik dari segi harta yang dipersiapkan maupun fisik untuk melaksanakannya. Implikasinya, belum semua umat Islam mampu menjalankannya. Ibadah qurban pun membutuhkan pengorbanan meskipun jumlahnya tidak sebesar ibadah haji, sehingga sebagian besar masyarakat mampu melaksanakannya. Berdasarkan latar belakang di atas, tulisan singkat ini dimaksudkan untuk melihat ibdah haji dan qurban sebagai napak tilas ajaran Nabi Ibrahim a.s. berabad lalu, sekaligus menyingkap makna di baliknya untuk dapat diresapi hikmahnya bagi kehidupan saat ini.
Teladan Nabi Ibrahim a.s. dalam Ibadah Haji dan Qurban
Ibadah haji yang setiap tahun dilaksanakan kaum muslim di tanah suci merupakan napak tilas perjuangan Nabi Ibrahim a.s., beserta putranya Nabi Ismail a.s. Meskipun tidak semua umat Islam berkesempatan menunaikan ibadah haji, sebagai salah satu rukun Islam, bukan berarti tidak bisa meneladani dan mengambil hikmah di balik ibadah tersebut. Di seluruh penjuru dunia, umat Islam dengan berbagai latar belakang bangsa dan negara, tetap dapat menghayati perjuangan Nabi Ibrahim a.s. dan Nabi Ismail a.s., sebagai bentuk penghambaan dan pengabdian yang tulus kepada Allah.
Nabi Ibrahim a.s. dalam lintas sejarah perjuangannya mendapatkan ujian dari Allah berupa belum diberikannya keturunan setelah bertahun-tahun menikah dengan Sarah. Nabi Ibrahim a.s. pun mengalami kegalauan dalam hati yang antara lain tercermin dalam doa dipanjatkannya ke Hadirat Allah S.W.T. sebagaimana diabadikan dalam al-Qur’an Surat al-Shaffat [37]: 100, sebagai berikut.

   رَبِّ هَبْلِ مِنَ الصَّالِحِيْنَ (١٠٠)

Artinya: Ya Tuhanku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang Termasuk orang-orang yang saleh.
Doa ini kemudian diijabahkan oleh Allah, dengan lahirnya seorang putra, yaitu Nabi Ismail a.s. melalui Hajar, istri kedua Nabi Ibrahim a.s., sebagaimana digambarkan dalam al-Qur’an Surat al-Shaffat [37]: 101.

  فَبَشِّرْنَاهُ بِغُلاَمٍ حَلِيْمٍ (١٠١)

Artinya: Maka Kami beri Dia khabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar.Kelahiran seorang putra, kemudian diiringi cobaan lain dari Allah S.W.T. bagi Nabi Ibrahim a.s. dan keluarganya. Ismail a.s. yang lahir dari istri kedua menimbulkan kecemburuan pada diri Sarah, sang istri. Akhirnya, atas dasar perintah Allah S.W.T., Nabi Ibrahim a.s. membawa sang anak dan ibunya untuk kemudian meninggalkan mereka di sebuah padang tandus yang disana berdiri rumah Allah, yaitu tempat yang kemudian menjadi kota Mekkah al-Mukarromah. Seorang ibu dan anaknya yang masih kecil, telah mendapat ujian berat dengan hidup di padang gersang sebagai bagian dari keyakinan akan perintah Allah S.W.T.
Cobaan yang diberikan Allah S.W.T. bagi Nabi Ibrahim a.s. dan keluarganya kembali datang melalui sebuah perintah yang sangat berat, yaitu menyembelih sang putra, padahal usianya masih muda. Sang putra pun menunjukkan tingkat keimanan yang tinggi sehingga mengikhlaskan dirinya untuk memenuhi perintah Allah S.W.T. melalui mimpi Ayahandanya. Hal ini antara lain terekam dalam firman Allah S.W.T.
dalam Surat al-Shaffat [37]: 102,

 فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْىيَ قَالَ يَابُنَّي إِنىِّ أَرَى فىِ الْمَنَامِ أَنِّى أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَاأَبَتِ افْعَلْ مَاتُؤْمَرُ سَتَجِدُنِى إِنْ شَاء َاللهُ مِنَ الصَّابِرِيْنَ (١٠٢

\Artinya: Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata, “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” ia menjawab, “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”.
Kesabaran Nabi Ibrahim a.s. dan istrinya Hajar yang merelakan anaknya menjadi korban dan juga kepatuhan yang ditunjukkan Ismail sebagai wujud ketundukannya kepada perintah Allah S.W.T. merupakan pelajaran utama di dalam kisah yang diabadikan al-Qur’an ini. Al-Qur’an seolah mengingatkan seluruh manusia bahwa tidak ada pertimbangan lain yang dapat menawar jika Allah S.W.T. telah memberi perintah, bahkan jika pun perintah tersebut diberikan pada seorang nabi
Hati Nabi Ibrahim a.s. sebagai seorang ayah tentulah terasa pedih saat mengorbankan anaknya. Namun di balik hal tersebut, terbesit keyakinan bahwa apa yang diperintahkan Allah S.W.T. merupakan ujian dan pasti akan berakhir pada kebaikan dan kebahagiaan. Al-Qur’an surat al-Shaffaat ayat 103 sampai 109 menggambarkan kondisi tersebut sebagai berikut:

فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِيْنَ (١٠٣) وَنَدَيْنَاهُ أَنْ يَاإِبْرَاهِيْمُ (١٠٤) قَدْ صَدَّقْتَ الرُّأْيَا إِنَّا كَذَالِكَ نَجْزِى الْمُحْسِنِيْنَ (١٠٥) إِنَّ هَذَا لَهُوَاْلبَلَاؤُ الْمُبِيْنَ (١٠٦) وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيْمٍ (١٠٧) وَتَرَكْنَا عَلَيْهِ فِى الْآخِرِيْنَ (١٠٨) سَلاَمٌ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ (١٠٩)

Artinya: “Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami panggillah dia, “Hai Ibrahim,  sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu. Sungguh, demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.  Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian.  (Yaitu) “Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim”.
Rangkaian cobaan yang diterima Nabi Ibrahim a.s. dan keluarga inilah yang kemudian diabadikan dalam ritual ibadah haji dan juga ibadah qurban di bulan Dzulhijjah. Allah S.W.T. melalui kisah Nabi Ibrahim a.s. memberikan hikmah yang luar biasa besar bagi kita Ummat Islam di dunia saat ini melalui gambaran pengorbanan penuh makna. Umat Islam saat ini dengan demikian harus mampu meneladani Nabi Ibrahim a.s. dan keluarga dalam perjuangan mencapai derajat takwa kepada Allah yang senantiasa berupa proses panjang dan membutuhkan pengorbanan.
Cobaan yang diberikan Allah S.W.T. sebagaimana tergambar dalam kisah Nabi Ibrahim a.s. dan keluarga pada dasarnya tidak hanya tertuju pada pribadi seorang saja, tetapi juga pada anak dan istri atau keluarga. Hal ini menunjukkan bahwa ajaran Islam memandang pentingnya membangun kekuatan keluarga dalam membangun umat. Tak mengherankan jika Allah s.w.t. memerintahkan orang-orang yang beriman untuk menjaga dirinya dan juga keluarganya dari siksa api neraka sebagaimana termaktub dalam Surat al-Tahrim ayat 6:

يٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ قُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًۭا وَقُودُهَا ٱلنَّاسُ وَٱلْحِجَارَةُ …

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.

Makna Ibadah Haji dan Qurban Bagi Kehidupan Pribadi dan Sosial
Ibadah haji memiliki manfaat yang bersifat personal (syakhsiyah) dan juga sosial (jama’iyah).[3] Manfaat personal dari ibadah haji antara lain adalah pertama dengan ibadah ini dosa-dosa kecil diampunkan dan jiwa akan dibersihkan dari kotoran maksiat. Bahkan dalam pandangan sejumlah ulama dari Hanafiyah menyebutkan bahwa ibadah haji juga menghapus dosa besar.
Dalam kaitannya dengan hal ini, Nabi s.a.w. bersabda yang artinya: “Barang siapa berhaji, lalu tidak melakukan perbuatan rafats (perkataan kotor) dan fusuq (maksiat), maka gugur semua dosanya sebagaimana hari ia dilahirkan oleh ibunya.”[4] Dalam hadits lain, Nabi s.a.w. juga bersabda yang artinya: “Para jamaah haji dan umrah adalah tamu Allah. Jika mereka meminta kepada-Nya, maka Ia akan ijabahkan, jika mereka meminta ampunan kepada-Nya, maka Ia akan memberikan ampunan.”[5] Juga hadits yang artinya: “Orang yang berhaji diampuni dosanya, demikian juga orang yang dimintakan ampun olehnya.”[6]
Manfaat kedua adalah ibadah haji mensucikan jiwa dan menyiapkannya untuk ikhlas yang menjadi dasar bagi perbaikan hidup, mengangkat makna hidup sebagai manusia, meneguhkan cita-cita, dan memperbaiki prasangka kepada Allah. Ketiga ibadah haji juga menguatkan iman, membantu meningat kembali janji dengan Allah dan tobat yang sempurna, menyiapkan jiwa, dan mempertajam perasaan. Keempat, ibadah haji juga mengingatkan para mukmin akan Islam di masa awal, perjuangan Nabi s.a.w. dan para sahabat serta salafush shalih dalam menyiarkan ajaran ilahi dengan amalan shalih.
Kelima ibadah haji melatih kesabaran dalam diri jamaah juga melatih disiplin dan pengorbanan dalam meraih ridha Allah. Keenam, ibadah haji juga merupakan perwujudan dari syukur atas nikmat yang diberikan Allah s.w.t., baik berupa nikmat harta, nikmat kesehatan, sekaligus menghidupkan ruh ibadah yang sempurna dan ketaatan yang tulus pada syariat Allah.
Adapun secara sosial, ibadah haji memiliki manfaat sebagai pertama media ta’aruf (saling mengenal) antara umat Islam dari seluruh penjuru dunia, terlepas dari latar belakang suku bangsa, strata sosial, maupun kedudukan dalam kehidupan sehari-hari. Ibadah haji dengan demikian menjadi miniatur masyarakat muslim seluruh dunia yang demikian beragam warna kulit, bahasa, dan budayanya.
Kedua, ibadah haji menjadi media penguat hubungan persaudaraan antara umat Islam di seluruh dunia. Hubungan persaudaraan inilah yang kemudian menjadi penyangga harmoni hubungan sosial dalam kehidupan bermasyarakat, karena pada dasarnya tidak ada perbedaan antara seseorang berdasarkan warna kulit atau suku bangsanya, tidak kelebihan bagi satu bangsa atas bangsa lain, kecuali dengan takwa. Kesadaran akan persaudaraan ini yang nantinya diharapkan menjadi fondasi bagi kehidupan selepas menunaikan ibadah haji.
Ketiga, ibadah haji juga merupakan media dakwah yang efektif bagi pengembangan Islam. Di masa Nabi Muhammad s.a.w., ibadah haji telah menjadi sarana menyebarkan Islam melalui perjumpaan dengan utusan-utusan masyarakat di luar Mekkah yang melaksanakan ritual ibadah haji di tanah suci. Saat ini, nilai dakwah itu juga makin terasa seiring makin mudahnya masyarakat dunia ikut menyaksikan aktivitas umat Islam selama rangkaian ibadah berlangsung.
Sedangkan ibadah qurban yang disyariatkan pada tahun ke-2 Hijriah memiliki hikmah sebagai perwujudan rasa syukur kepada Allah s.w.t. atas nikmat yang beragam bentuknya dan nikmat atas kondisi kehidupan yang telah dan tetap diberikan dari tahun ke tahun. Selain itu, ibadah qurban juga dimaksudkan untuk menghapus dosa-dosa yang timbul karena kurang sempurnanya menjalankan perintah, sekaligus memberikan bantuan kepada keluarga atau masyarakat yang menerima hewan qurban.[7]
Disembelihnya hewan qurban merupakan perwujudan dari pengakuan atas keburukan nafsu binatang yang seharusnya selalu dilawan oleh setiap manusia. Pemberian dagingnya untuk keluarga yang membutuhkan merupakan bentuk dari peran sosial ibadah ini dalam meringankan dan membahagiakan kehidupan masyarakat yang kurang beruntung dalam hidupnya.
Penutup
Ibadah haji dan qurban dengan demikian merupakan ibadah yang dengan melaksanakannya umat Islam diharapkan mampu meneladani Nabi Ibrahim a.s. dan keluarganya dalam menjalankan perintah Allah S.W.T. Keluarga teladan ini, dalam Al Qur’an digambarkan memiliki keikhlasan dalam melaksanakan perintah Allah s.w.t. betatapun beratnya perintah tersebut. Keikhlasan ini kemudian diikuti dengan keyakinan yang mendalam bahwa perintah Allah S.W.t. senantiasa diikuti dengan hikmah sehingga perintah tersebut dilaksanakan dengan penuh kesabaran.
Keteladanan terhadap keluarga Nabi Ibrahim a.s. ini selanjutnya membawa umat Islam pada kesadaran untuk memenuhi pelaksanaan ibadah haji dan qurban sebagai ibadah yang tidak saja bersifat personal sebagai hamba kepada Allah S.W.T., tetapi juga merupakan ibadah yang berdimensi sosial. Dengan menjalankan ibadah haji dan qurban, seorang hamba hendaknya menyadari bahwa takwalah yang menjadi ukuran kemuliaan seseorang, bukan harta yang dikumpulkan bukan pula kelebihan fisik maupun anugerah Allah S.W.T.. lainnya.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar