Pendahuluan
Menjelang akhir bulan Dzulqa’dah dan
selama beberapa hari di bulan Zulhijjah, setiap tahunnya jutaan umat
Islam dari berbagai penjuru dunia berkumpul di tanah suci untuk
menunaikan rangkaian ibadah haji dengan niat dan tujuan yang sama yaitu
untuk memenuhi panggilan Allah s.w.t. untuk mengunjungi rumah-Nya yang
suci dan disucikan. Para jama’ah haji yang datang dari berbagai penjuru
dunia ini adalah sebagian ummat Islam yang dengan izin Allah SWT mampu
memenuhi panggilan-Nya yang diserukan melalui lisan Nabi Ibrahim a.s.
sebagaimana tersurat dalam Surat Al-Hajj ayat 27:
وَأَدِّنْ فِى النَّاسِ باِلْحَجِّ يَأْتُوْكَ رِجَالًاوَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِيْنَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيْقٍ
“Dan berserulah kepada
manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu
dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh.” (Q.S. al-Hajj [22]: 27)
Sebagian besar umat Islam yang lain,
yang tidak berhaji di tanah suci Mekkah al-Mukarromah, mendapat
kesempatan untuk melaksanakan rangkaian ibadah lainnya, yaitu ibadah
qurban, dengan menyembelih binatang ternak dan mentasharruf-kannya kepada orang-orang miskin di sekitar. Perintah ini antara lain termaktub dalam firman-Nya pada surat al-Kautsar:
إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ (١) فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ (٢) إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ (٣)
“1. Sesungguhnya Kami telah
memberikan kepadamu nikmat yang banyak. 2. Maka dirikanlah shalat
karena Tuhanmu dan berkorbanlah. 3. Sesungguhnya orang-orang yang
membenci kamu Dialah yang terputus.” (Q.S. al-Kautsar [108]: 1-3)
Ibadah haji saat ini merupakan ibadah
yang membutuhkan pengorbanan sangat besar baik dari segi harta yang
dipersiapkan maupun fisik untuk melaksanakannya. Implikasinya, belum
semua umat Islam mampu menjalankannya. Ibadah qurban pun membutuhkan
pengorbanan meskipun jumlahnya tidak sebesar ibadah haji, sehingga
sebagian besar masyarakat mampu melaksanakannya. Berdasarkan latar
belakang di atas, tulisan singkat ini dimaksudkan untuk melihat ibdah
haji dan qurban sebagai napak tilas ajaran Nabi Ibrahim a.s. berabad
lalu, sekaligus menyingkap makna di baliknya untuk dapat diresapi
hikmahnya bagi kehidupan saat ini.
Teladan Nabi Ibrahim a.s. dalam Ibadah Haji dan Qurban
Ibadah haji yang setiap tahun
dilaksanakan kaum muslim di tanah suci merupakan napak tilas perjuangan
Nabi Ibrahim a.s., beserta putranya Nabi Ismail a.s. Meskipun tidak
semua umat Islam berkesempatan menunaikan ibadah haji, sebagai salah
satu rukun Islam, bukan berarti tidak bisa meneladani dan mengambil
hikmah di balik ibadah tersebut. Di seluruh penjuru dunia, umat Islam
dengan berbagai latar belakang bangsa dan negara, tetap dapat menghayati
perjuangan Nabi Ibrahim a.s. dan Nabi Ismail a.s., sebagai bentuk
penghambaan dan pengabdian yang tulus kepada Allah.
Nabi Ibrahim a.s. dalam lintas sejarah
perjuangannya mendapatkan ujian dari Allah berupa belum diberikannya
keturunan setelah bertahun-tahun menikah dengan Sarah. Nabi Ibrahim a.s.
pun mengalami kegalauan dalam hati yang antara lain tercermin dalam doa
dipanjatkannya ke Hadirat Allah S.W.T. sebagaimana diabadikan dalam
al-Qur’an Surat al-Shaffat [37]: 100, sebagai berikut.
رَبِّ هَبْلِ مِنَ الصَّالِحِيْنَ (١٠٠)
Artinya: Ya Tuhanku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang Termasuk orang-orang yang saleh.
Doa ini kemudian diijabahkan oleh Allah,
dengan lahirnya seorang putra, yaitu Nabi Ismail a.s. melalui Hajar,
istri kedua Nabi Ibrahim a.s., sebagaimana digambarkan dalam al-Qur’an
Surat al-Shaffat [37]: 101.
فَبَشِّرْنَاهُ بِغُلاَمٍ حَلِيْمٍ (١٠١)
Artinya: Maka Kami beri Dia khabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar.” Kelahiran
seorang putra, kemudian diiringi cobaan lain dari Allah S.W.T. bagi
Nabi Ibrahim a.s. dan keluarganya. Ismail a.s. yang lahir dari istri
kedua menimbulkan kecemburuan pada diri Sarah, sang istri. Akhirnya,
atas dasar perintah Allah S.W.T., Nabi Ibrahim a.s. membawa sang anak
dan ibunya untuk kemudian meninggalkan mereka di sebuah padang tandus
yang disana berdiri rumah Allah, yaitu tempat yang kemudian menjadi kota
Mekkah al-Mukarromah. Seorang ibu dan anaknya yang masih kecil, telah
mendapat ujian berat dengan hidup di padang gersang sebagai bagian dari
keyakinan akan perintah Allah S.W.T.
Cobaan yang diberikan Allah S.W.T. bagi
Nabi Ibrahim a.s. dan keluarganya kembali datang melalui sebuah perintah
yang sangat berat, yaitu menyembelih sang putra, padahal usianya masih
muda. Sang putra pun menunjukkan tingkat keimanan yang tinggi sehingga
mengikhlaskan dirinya untuk memenuhi perintah Allah S.W.T. melalui mimpi Ayahandanya. Hal ini antara lain terekam dalam firman Allah S.W.T.
dalam Surat al-Shaffat [37]: 102,
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْىيَ قَالَ يَابُنَّي إِنىِّ أَرَى فىِ الْمَنَامِ أَنِّى أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَاأَبَتِ افْعَلْ مَاتُؤْمَرُ سَتَجِدُنِى إِنْ شَاء َاللهُ مِنَ الصَّابِرِيْنَ (١٠٢
\Artinya: Maka tatkala anak
itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim
berkata, “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku
menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” ia menjawab, “Hai
bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu
akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”.
Kesabaran Nabi Ibrahim a.s. dan istrinya
Hajar yang merelakan anaknya menjadi korban dan juga kepatuhan yang
ditunjukkan Ismail sebagai wujud ketundukannya kepada perintah Allah
S.W.T. merupakan pelajaran utama di dalam kisah yang diabadikan
al-Qur’an ini. Al-Qur’an seolah mengingatkan seluruh manusia bahwa tidak
ada pertimbangan lain yang dapat menawar jika Allah S.W.T. telah
memberi perintah, bahkan jika pun perintah tersebut diberikan pada
seorang nabi
Hati Nabi Ibrahim a.s. sebagai seorang
ayah tentulah terasa pedih saat mengorbankan anaknya. Namun di balik hal
tersebut, terbesit keyakinan bahwa apa yang diperintahkan Allah S.W.T.
merupakan ujian dan pasti akan berakhir pada kebaikan dan kebahagiaan.
Al-Qur’an surat al-Shaffaat ayat 103 sampai 109 menggambarkan kondisi
tersebut sebagai berikut:
فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِيْنَ (١٠٣) وَنَدَيْنَاهُ أَنْ يَاإِبْرَاهِيْمُ (١٠٤) قَدْ صَدَّقْتَ الرُّأْيَا إِنَّا كَذَالِكَ نَجْزِى الْمُحْسِنِيْنَ (١٠٥) إِنَّ هَذَا لَهُوَاْلبَلَاؤُ الْمُبِيْنَ (١٠٦) وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيْمٍ (١٠٧) وَتَرَكْنَا عَلَيْهِ فِى الْآخِرِيْنَ (١٠٨) سَلاَمٌ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ (١٠٩)
Artinya: “Tatkala keduanya
telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya),
(nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami panggillah dia, “Hai Ibrahim,
sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu. Sungguh, demikianlah
Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya
ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan kami tebus anak itu dengan
seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian
yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian. (Yaitu)
“Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim”.
Rangkaian cobaan yang diterima Nabi
Ibrahim a.s. dan keluarga inilah yang kemudian diabadikan dalam ritual
ibadah haji dan juga ibadah qurban di bulan Dzulhijjah. Allah S.W.T.
melalui kisah Nabi Ibrahim a.s. memberikan hikmah yang luar biasa besar
bagi kita Ummat Islam di dunia saat ini melalui gambaran pengorbanan
penuh makna. Umat Islam saat ini dengan demikian harus mampu meneladani
Nabi Ibrahim a.s. dan keluarga dalam perjuangan mencapai derajat takwa
kepada Allah yang senantiasa berupa proses panjang dan membutuhkan
pengorbanan.
Cobaan yang diberikan Allah S.W.T.
sebagaimana tergambar dalam kisah Nabi Ibrahim a.s. dan keluarga pada
dasarnya tidak hanya tertuju pada pribadi seorang saja, tetapi juga pada
anak dan istri atau keluarga. Hal ini menunjukkan bahwa ajaran Islam
memandang pentingnya membangun kekuatan keluarga dalam membangun umat.
Tak mengherankan jika Allah s.w.t. memerintahkan orang-orang yang
beriman untuk menjaga dirinya dan juga keluarganya dari siksa api neraka
sebagaimana termaktub dalam Surat al-Tahrim ayat 6:
يٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ قُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًۭا وَقُودُهَا ٱلنَّاسُ وَٱلْحِجَارَةُ …
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.
Makna Ibadah Haji dan Qurban Bagi Kehidupan Pribadi dan Sosial
Ibadah haji memiliki manfaat yang bersifat personal (syakhsiyah) dan juga sosial (jama’iyah).[3] Manfaat personal dari ibadah haji antara lain adalah pertama
dengan ibadah ini dosa-dosa kecil diampunkan dan jiwa akan dibersihkan
dari kotoran maksiat. Bahkan dalam pandangan sejumlah ulama dari
Hanafiyah menyebutkan bahwa ibadah haji juga menghapus dosa besar.
Dalam kaitannya dengan hal ini, Nabi s.a.w. bersabda yang artinya: “Barang siapa berhaji, lalu tidak melakukan perbuatan rafats (perkataan kotor) dan fusuq (maksiat), maka gugur semua dosanya sebagaimana hari ia dilahirkan oleh ibunya.”[4]
Dalam hadits lain, Nabi s.a.w. juga bersabda yang artinya: “Para jamaah
haji dan umrah adalah tamu Allah. Jika mereka meminta kepada-Nya, maka
Ia akan ijabahkan, jika mereka meminta ampunan kepada-Nya, maka Ia akan
memberikan ampunan.”[5] Juga hadits yang artinya: “Orang yang berhaji diampuni dosanya, demikian juga orang yang dimintakan ampun olehnya.”[6]
Manfaat kedua adalah ibadah
haji mensucikan jiwa dan menyiapkannya untuk ikhlas yang menjadi dasar
bagi perbaikan hidup, mengangkat makna hidup sebagai manusia, meneguhkan
cita-cita, dan memperbaiki prasangka kepada Allah. Ketiga
ibadah haji juga menguatkan iman, membantu meningat kembali janji dengan
Allah dan tobat yang sempurna, menyiapkan jiwa, dan mempertajam
perasaan. Keempat, ibadah haji juga mengingatkan para mukmin
akan Islam di masa awal, perjuangan Nabi s.a.w. dan para sahabat serta
salafush shalih dalam menyiarkan ajaran ilahi dengan amalan shalih.
Kelima ibadah haji melatih
kesabaran dalam diri jamaah juga melatih disiplin dan pengorbanan dalam
meraih ridha Allah. Keenam, ibadah haji juga merupakan perwujudan dari
syukur atas nikmat yang diberikan Allah s.w.t., baik berupa nikmat
harta, nikmat kesehatan, sekaligus menghidupkan ruh ibadah yang sempurna
dan ketaatan yang tulus pada syariat Allah.
Adapun secara sosial, ibadah haji memiliki manfaat sebagai pertama
media ta’aruf (saling mengenal) antara umat Islam dari seluruh penjuru
dunia, terlepas dari latar belakang suku bangsa, strata sosial, maupun
kedudukan dalam kehidupan sehari-hari. Ibadah haji dengan demikian
menjadi miniatur masyarakat muslim seluruh dunia yang demikian beragam
warna kulit, bahasa, dan budayanya.
Kedua, ibadah haji menjadi
media penguat hubungan persaudaraan antara umat Islam di seluruh dunia.
Hubungan persaudaraan inilah yang kemudian menjadi penyangga harmoni
hubungan sosial dalam kehidupan bermasyarakat, karena pada dasarnya
tidak ada perbedaan antara seseorang berdasarkan warna kulit atau suku
bangsanya, tidak kelebihan bagi satu bangsa atas bangsa lain, kecuali
dengan takwa. Kesadaran akan persaudaraan ini yang nantinya diharapkan
menjadi fondasi bagi kehidupan selepas menunaikan ibadah haji.
Ketiga, ibadah haji juga
merupakan media dakwah yang efektif bagi pengembangan Islam. Di masa
Nabi Muhammad s.a.w., ibadah haji telah menjadi sarana menyebarkan Islam
melalui perjumpaan dengan utusan-utusan masyarakat di luar Mekkah yang
melaksanakan ritual ibadah haji di tanah suci. Saat ini, nilai dakwah
itu juga makin terasa seiring makin mudahnya masyarakat dunia ikut
menyaksikan aktivitas umat Islam selama rangkaian ibadah berlangsung.
Sedangkan ibadah qurban yang
disyariatkan pada tahun ke-2 Hijriah memiliki hikmah sebagai perwujudan
rasa syukur kepada Allah s.w.t. atas nikmat yang beragam bentuknya dan
nikmat atas kondisi kehidupan yang telah dan tetap diberikan dari tahun
ke tahun. Selain itu, ibadah qurban juga dimaksudkan untuk menghapus
dosa-dosa yang timbul karena kurang sempurnanya menjalankan perintah,
sekaligus memberikan bantuan kepada keluarga atau masyarakat yang
menerima hewan qurban.[7]
Disembelihnya hewan qurban merupakan
perwujudan dari pengakuan atas keburukan nafsu binatang yang seharusnya
selalu dilawan oleh setiap manusia. Pemberian dagingnya untuk keluarga
yang membutuhkan merupakan bentuk dari peran sosial ibadah ini dalam
meringankan dan membahagiakan kehidupan masyarakat yang kurang beruntung
dalam hidupnya.
Penutup
Ibadah haji dan qurban dengan demikian
merupakan ibadah yang dengan melaksanakannya umat Islam diharapkan mampu
meneladani Nabi Ibrahim a.s. dan keluarganya dalam menjalankan perintah
Allah S.W.T. Keluarga teladan ini, dalam Al Qur’an digambarkan memiliki
keikhlasan dalam melaksanakan perintah Allah s.w.t. betatapun beratnya
perintah tersebut. Keikhlasan ini kemudian diikuti dengan keyakinan yang
mendalam bahwa perintah Allah S.W.t. senantiasa diikuti dengan hikmah
sehingga perintah tersebut dilaksanakan dengan penuh kesabaran.
Keteladanan terhadap keluarga Nabi
Ibrahim a.s. ini selanjutnya membawa umat Islam pada kesadaran untuk
memenuhi pelaksanaan ibadah haji dan qurban sebagai ibadah yang tidak
saja bersifat personal sebagai hamba kepada Allah S.W.T., tetapi juga
merupakan ibadah yang berdimensi sosial. Dengan menjalankan ibadah haji
dan qurban, seorang hamba hendaknya menyadari bahwa takwalah yang
menjadi ukuran kemuliaan seseorang, bukan harta yang dikumpulkan bukan
pula kelebihan fisik maupun anugerah Allah S.W.T.. lainnya.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar