REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Rosita Budi Suryaningsih
Putra bangsa ini berkiprah dan banyak dihormati oleh para cendekiawan Muslim sedunia. Ialah Syekh Yasin al-Fadani, pria berdarah Sumatra Barat yang lahir di Makkah dan menjadi ahli fikih dan muhadis terkemuka pada abad ini.
Ulama ini bahkan mendapatkan gelar Almusnid Dunya atau yang berarti ulama ahli musnad dunia dalam keahliannya di bidang ilmu periwayatan hadis.
Namanya
sangat terkenal, terutama bagi kalangan pelajar Indonesia yang menimba
ilmu di Makkah. Mereka berlomba-lomba untuk mendapatkan ijazah sanad
hadis darinya.Putra bangsa ini berkiprah dan banyak dihormati oleh para cendekiawan Muslim sedunia. Ialah Syekh Yasin al-Fadani, pria berdarah Sumatra Barat yang lahir di Makkah dan menjadi ahli fikih dan muhadis terkemuka pada abad ini.
Ulama ini bahkan mendapatkan gelar Almusnid Dunya atau yang berarti ulama ahli musnad dunia dalam keahliannya di bidang ilmu periwayatan hadis.
Lahir di Makkah pada 1916, pria yang mempunyai nama lengkap Abu al-Faidh' Alam ad-Diin Muhammad Yasin bin Isa al-Padani ini telah menunjukkan kecerdasan yang luar biasa.
Ketika remaja, ia mampu mengungguli rekan-rekannya dalam hal penguasaan ilmu agama, terutama di bidang hadis dan fikih yang membuat para gurunya kagum terhadapnya.
Ini membuat orang tuanya, Syekh Muhammad Isa bin Udiq al-Fadani dan Maimunah binti Abdullah Fadani, sangat bangga.
Selain berguru langsung pada kedua orang tua yang ahli agama ini, ia juga banyak belajar dari pamannya sendiri, yaitu Syekh Mahmud Engku Hitam al-Fadani.
Guru-gurunya yang lain, yang banyak memengaruhi pendidikannya adalah Syekh Muhktar Usman, Syekh Hasan al-Masysath,
Selain berguru langsung pada kedua orang tua yang ahli agama ini, ia juga banyak belajar dari pamannya sendiri, yaitu Syekh Mahmud Engku Hitam al-Fadani.
Guru-gurunya yang lain, yang banyak memengaruhi pendidikannya adalah Syekh Muhktar Usman, Syekh Hasan al-Masysath,
Habib Muhsin bin Ali al-Musawa, dan banyak lagi ulama terkemuka
lainnya di ash-Shautiyyah, lembaga pendidikan tempatnya mengabdi.
Sekitar 1934, terjadi sebuah konflik. Direktur Ash-Shautiyyah telah menyinggung beberapa pelajar asal Asia Tenggara, terutama dari Indonesia, maka Syekh Yasin mengemukakan ide untuk mendirikan Madrasah Darul Ulum di Makkah.
Niat untuk menunjukkan rasa nasionalisme pada bangsanya ini membuat para pelajar Ash-Shautiyyah berbondong-bondong pindah ke Madrasah Darul Ulum, padahal madrasah tersebut masih baru.
Syekh Yasin kemudian menjabat sebagai wakil direktur Madrasah Darul Ulum Makkah, selain masih mengajar di berbagai tempat, terutama di Masjidil Haram. Materi-materi yang disampaikan mendapat sambutan yang luar biasa, terutama dari para pelajar asal Asia Tenggara.
Satu hal yang menarik dari sosoknya adalah kesederhanaannya. Meski ia adalah ulama terkemuka yang kecerdasannya diakui dunia, ia tak segan untuk keluar masuk pasar sendiri berbelanja kemudian memikul barang-barangnya sendiri.
Ia sering terlihat mengenakan kaus oblong dengan sarung sambil nongkrong di warung teh dengan menghisap shisha, semacam rokok arab yang menjadi kesukaannya.
Rumahnya pun tak pernah sepi dari kunjungan para cendekiawan dari seluruh penjuru dunia. Apalagi, ketika tiba musim haji karena ia sering mengundang ulama dunia ke rumahnya untuk berdiskusi mengenai perkembangan dunia islam. Bahkan, Gus Dur pun pernah singgah di rumahnya.
Karya-karya yang telah ditelurkannya pun ada lebih dari 100 judul kitab. Semua hasil karyanya tersebut tersebar dan menjadi rujukan lembaga-lembaga Islam, pondok pesantren, baik itu di Makkah maupun di Asia Tenggara.
Susunan bahasa yang tinggi dan sistematis serta isinya yang padat menjadikan karya Syekh Yasin banyak digunakan oleh para ulama dan pelajar sebagai sumber referensi.
Antara lain, Fathul 'allam Syarah dari kitab Hadist Bulughul Maram, Ad Durr al-Madhud fi Syarah Sunan Abu Dawud, Nail al-Ma'mul Hasyiah 'Ala Lubb al-Ushul Fiqh, al-Fawaid al-Janiyah 'Ala Qawaidhul Fiqihiyyah, dan banyak lagi.
Paling tidak, ia telah menulis sembilan buku tentang ilmu hadis, 25 buku tentang ilmu dan ushul fikih, serta 36 buku tentang ilmu falak.
Sekitar 1934, terjadi sebuah konflik. Direktur Ash-Shautiyyah telah menyinggung beberapa pelajar asal Asia Tenggara, terutama dari Indonesia, maka Syekh Yasin mengemukakan ide untuk mendirikan Madrasah Darul Ulum di Makkah.
Niat untuk menunjukkan rasa nasionalisme pada bangsanya ini membuat para pelajar Ash-Shautiyyah berbondong-bondong pindah ke Madrasah Darul Ulum, padahal madrasah tersebut masih baru.
Syekh Yasin kemudian menjabat sebagai wakil direktur Madrasah Darul Ulum Makkah, selain masih mengajar di berbagai tempat, terutama di Masjidil Haram. Materi-materi yang disampaikan mendapat sambutan yang luar biasa, terutama dari para pelajar asal Asia Tenggara.
Satu hal yang menarik dari sosoknya adalah kesederhanaannya. Meski ia adalah ulama terkemuka yang kecerdasannya diakui dunia, ia tak segan untuk keluar masuk pasar sendiri berbelanja kemudian memikul barang-barangnya sendiri.
Ia sering terlihat mengenakan kaus oblong dengan sarung sambil nongkrong di warung teh dengan menghisap shisha, semacam rokok arab yang menjadi kesukaannya.
Rumahnya pun tak pernah sepi dari kunjungan para cendekiawan dari seluruh penjuru dunia. Apalagi, ketika tiba musim haji karena ia sering mengundang ulama dunia ke rumahnya untuk berdiskusi mengenai perkembangan dunia islam. Bahkan, Gus Dur pun pernah singgah di rumahnya.
Karya-karya yang telah ditelurkannya pun ada lebih dari 100 judul kitab. Semua hasil karyanya tersebut tersebar dan menjadi rujukan lembaga-lembaga Islam, pondok pesantren, baik itu di Makkah maupun di Asia Tenggara.
Susunan bahasa yang tinggi dan sistematis serta isinya yang padat menjadikan karya Syekh Yasin banyak digunakan oleh para ulama dan pelajar sebagai sumber referensi.
Antara lain, Fathul 'allam Syarah dari kitab Hadist Bulughul Maram, Ad Durr al-Madhud fi Syarah Sunan Abu Dawud, Nail al-Ma'mul Hasyiah 'Ala Lubb al-Ushul Fiqh, al-Fawaid al-Janiyah 'Ala Qawaidhul Fiqihiyyah, dan banyak lagi.
Paling tidak, ia telah menulis sembilan buku tentang ilmu hadis, 25 buku tentang ilmu dan ushul fikih, serta 36 buku tentang ilmu falak.
Kitabnya yang paling terkenal adalah al-Fawaid al-Janiyyah yang
menjadi materi silabus dalam mata kuliah ushul fikih di Fakultas Syariah
Al-Azhar Kaherah Mesir.
Syekh Yasin al-Fadani banyak menuai pujian, baik oleh para ulama maupun para gurunya. Salah satunya adalah seorang ulama hadis bernama Sayyid Abdul Aziz al-Qumari yang menjuluki Syekh Yasin sebagai ulama kebanggaan Haromain (Makkah dan Madinah).
Ulama besar lain yang berasal dari Hadramaut, Yaman, yaitu al-Allamah Habib al-Segaf bin Muhammad Assegaf, juga sangat kagum dengan keluasan keilmuannya hingga ia memberikan sebutan Sayuthiyyu Zamanihi, yang artinya Imam al-Hafid Assayuthy pada zamannya.
Syekh Yasin juga sering mengadakan kunjungan-kunjungan ke berbagai negara, termasuk Indonesia yang merupakan asal dari nenek moyangnya.
Hingga akhirnya, ia meninggal pada 1990. Meski ia telah tiada, ilmunya terus dipakai sebagai rujukan dan selalu berkembang di semua lembaga pendidikan Islam di seluruh dunia.
Syekh Yasin al-Fadani banyak menuai pujian, baik oleh para ulama maupun para gurunya. Salah satunya adalah seorang ulama hadis bernama Sayyid Abdul Aziz al-Qumari yang menjuluki Syekh Yasin sebagai ulama kebanggaan Haromain (Makkah dan Madinah).
Ulama besar lain yang berasal dari Hadramaut, Yaman, yaitu al-Allamah Habib al-Segaf bin Muhammad Assegaf, juga sangat kagum dengan keluasan keilmuannya hingga ia memberikan sebutan Sayuthiyyu Zamanihi, yang artinya Imam al-Hafid Assayuthy pada zamannya.
Syekh Yasin juga sering mengadakan kunjungan-kunjungan ke berbagai negara, termasuk Indonesia yang merupakan asal dari nenek moyangnya.
Hingga akhirnya, ia meninggal pada 1990. Meski ia telah tiada, ilmunya terus dipakai sebagai rujukan dan selalu berkembang di semua lembaga pendidikan Islam di seluruh dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar