Memperbaiki Diri di Bulan Ramadhan - Ramadhan
bulan penuh kemuliaan dan keberkahan. Padanya dilipatgandakan amal-amal
kebaikan. Disyariatkan amal-amal ibadah agung. Dibuka pintu-pintu surga
dan ditutup pintu-pintu neraka. (HR. Bukhari No. 3103 dan Muslim No.
1079). Oleh karena itu, Ramadhan merupakan bulan penuh kesempatan
berharga yang ditunggu-tunggu orang-orang yang beriman kepada Allah dan
ingin meraih ridho-Nya. Dan karena agungnya keutamaan bulan suci ini,
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam selalu menyampaikan kabar
gembira kepada para sahabat akan kedatangan bulan penuh berkah ini.
(simak keterangan imam Ibnu Rajab Al-Hambali dalam Latha-iful ma’aarif,
hal. 174)
Rasulullah bersabda, “Orang yang berpuasa akan merasakan dua kegembiraan (besar); kegembiraan ketika berbuka puasa dan kegembiraan ketika dia bertemu Allah.” (HR. Bukhari No. 7054 dan Muslim No. 1151)
Sahabat yang mulia, Abu Hurairah berkata, Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, menyampaikan kabar gembira kepada para
sahabatnya: “Telah datang bulan Ramadhan yang penuh keberkahan, Allah
mewajibkan kalian berpuasa padanya, pintu-pintu surga dibuka pada bulan
itu, pintu-pintu neraka ditutup, dan para setan dibelenggu. Pada bulan
itu terdapat malam (kemuliaan/Lailatul Qadr) yang lebih baik dari seribu
bulan, barangsiapa yang terhalangi (untuk mendapatkan) kebaikan malam
itu, maka sungguh dia telah dihalangi (dari keutamaan yang agung).” (HR.
Ahmad (2/385), an-Nasa’i No. 2106, dan lain-lain, dinyatakan sahih oleh
Al-Albani dalam Tamaamul minnah, hal. 395, karena dikuatkan dengan
riwayat-riwayat lain)
Imam Ibnu Rajab, ketika mengomentari hadis tersebut, beliau berkata,
“Bagaimana mungkin orang yang beriman tidak gembira dengan dibukanya
pintu-pintu surga? Bagaimana mungkin orang yang pernah berbuat dosa (dan
ingin bertobat serta kembali kepada Allah) tidak gembira dengan
ditutupnya pintu-pintu neraka? Dan bagaimana mungkin orang yang berakal
tidak gembira ketika para setan dibelenggu?”(simak: Latha-iful ma’aarif,
hal. 174)
Dulu, para ulama salaf jauh-jauh hari sebelum datangnya Ramadhan,
berdoa sungguh-sungguh kepada Allah agar mereka mencapai bulan yang
mulia ini. Karena mencapai bulan suci merupakan nikmat yang besar bagi
orang-orang yang dianugerahi taufik oleh Allah. Mu’alla bin al-Fadhl
berkata, “Dulunya (para salaf) berdoa kepada Allah (selama) enam bulan
agar Allah mempertemukan mereka dengan bulan Ramadhan, kemudian mereka
berdoa kepada-Nya (selama) enam bulan (berikutnya) agar Dia menerima
(amal-amal sholeh) yang mereka (kerjakan). (dinukil oleh imam Ibnu Rajab
al-Hambali dalam Latha-iful ma’aarif, hal. 174)
Maka, hendaknya keluarga Muslim mengambil teladan dari para ulama
salaf dalam menyambut datangnya bulan Ramadhan. Yakni dengan
bersungguh-sungguh berdoa dan mempersiapkan diri untuk mendulang pahala
kebaikan, pengampunan serta keridhoan dari Allah. Tujuannya agar di
akherat kelak merasakan kebahagiaan dan kegembiraan besar ketika bertemu
Allah dan mendapatkan ganjaran yang sempurna dari amal kebaikan mereka.
Rasulullah bersabda, “Orang yang berpuasa akan merasakan dua
kegembiraan (besar); kegembiraan ketika berbuka puasa dan kegembiraan
ketika dia bertemu Allah.” (HR. Bukhari No. 7054 dan Muslim No. 1151)
Tentu saja persiapan diri yang dimaksud bukanlah memborong berbagai
macam makanan dan minuman lezat di pasar untuk persediaan makan sahur
dan “balas dendam” ketika berbuka puasa. Juga bukan mengikuti berbagai
acara televisi yang lebih banyak merusak dan melalaikan dari mengingat
Allah daripada manfaat yang diharapkan – pun kalau ada manfaatnya.
Tapi persiapan yang dimaksud di sini adalah mempersiapkan diri lahir
dan batin untuk melaksanakan ibadah puasa dan ibadah-ibadah agung
lainnya di bulan Ramadhan dengan sebaik-sebaiknya. Yakni dengan hati
ikhlas dan praktek ibadah yang sesuai petunjuk dan sunnah Rasulullah
Shallallahu‘alaihi wa sallam. Karena balasan kebaikan/keutamaan dari
semua amal sholeh yang dikerjakan manusia, sempurna atau tidaknya,
tergantung sempurna atau kurangnya keikhlasannya, dan jauh atau dekatnya
praktek amal tersebut dari petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
(simak kitab Shifat shalatin Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam hal. 36
oleh al-Albani)
Hal tersebut diisyaratkan dalam sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam: “Sungguh seorang hamba benar-benarmelaksanakan sholat, tapi
tidak dituliskan baginya dari (pahala kebaikan) sholat tersebut, kecuali
sepersepuluhnya, sepersembilannya, seperdelapannya, sepertujuhnya,
seperenamnya, seperlimanya, seperempatnya, sepertiganya, atau
seperduanya.”(HR Ahmad 4/321, Abu Dawud No. 796 dan Ibnu Hibban No.
1889, disahihkan Ibnu Hibban, Al-‘Iraqi dan Al-Albani dalam Shalaatut
taraawiih hal. 119)
Juga dalam hadis lain tentang puasa, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda: “Terkadang orang yang berpuasa tidak mendapatkan
bagian dari puasanya kecuali lapar dan dahaga.”(HR. Ibnu Majah No. 1690,
Ahmad 2/373, Ibnu Khuzaimah No. 1997 dan disahihkan oleh Ibnu
Khuzaimah, Hakim dan Al-Albani)
Meraih Takwa dan Kesucian Jiwa dengan Puasa Ramadhan
Hikmah dan tujuan utama wajib berpuasa Ramadhan adalah untuk mencapai
takwa kepada Allah (simak Tafsiirul Qur’anil kariim (2/317 tulisan
Syaikh Muhammad bin Shaleh al-‘Utsaimin), yang hakekatnya adalah
kesucian jiwa dan kebersihan hati (lihat kitab Manhajul Anbiya’ fii
tazkiyatin nufuus hal. 19-20). Maka bulan Ramadhan merupakan kesempatan
berharga bagi keluarga Muslim untuk berbenah diri guna meraih takwa
kepada Allah. Allah berfirman, yang artinya, “Hai orang-orang yang
beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas
orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183)
Imam Ibnu Katsir berkata, “Dalam ayat ini Allah berfirman kepada
orang-orang yang beriman dan memerintahkan mereka untuk (melaksanakan
ibadah) puasa, yang berarti menahan (diri) dari makan, minum dan
hubungan suami-istri dengan niat ikhlas karena Allah (semata), karena
puasa (merupakan sebab untuk mencapai) kebersihan dan kesucian jiwa,
serta menghilangkan noda-noda buruk (yang mengotori hati) dan semua
tingkah laku yang tercela.” (simak Tafsir Ibnu Katsir, 1/289)
Lebih lanjut, Syaikh Abdur Rahman as-Sa’di menjelaskan unsur-unsur takwa yang terkandung dalam ibadah puasa. Yakni:
Orang yang berpuasa (berarti) meninggalkan semua yang diharamkan
Allah (ketika berpuasa), berupa makan, minum, berhubungan suami-istri
dan sebagainya, yang semua itu diinginkan oleh nafsu manusia, untuk
mendekatkan diri kepada Allah dan mengharapkan balasan pahala dari-Nya
dengan meninggalkan semua itu, ini adalah termasuk takwa (kepada-Nya).
Orang yang berpuasa (berarti) melatih dirinya untuk (merasakan)
muraqabatullah (selalu merasakan pengawasan Allah), maka dia
meninggalkan apa yang diinginkan hawa nafsunya padahal dia mampu
(melakukannya), karena dia mengetahui Allah maha mengawasi
(perbuatan)-nya. Sehingga banyak orang yang memperbaiki diri di bulan Ramadhan.
Sesungguhnya puasa akan mempersempit jalur-jalur (yang dilalui) setan
(dalam diri manusia), karena sesungguhnya setan beredar dalam tubuh
manusia di tempat mengalirnya darah. (HR. Bukhari No. 1933 dan Muslim
No. 2175), maka dengan berpuasa akan lemah kekuatannya dan berkurang
perbuatan maksiat dari orang tersebut.
Orang yang berpuasa umumnya banyak melakukan ketaatan (kepada Allah), dan amal-amal ketaatan merupakan bagian dari takwa.
Orang yang kaya jika merasakan beratnya (rasa) lapar (dengan
berpuasa) maka akan menimbulkan dalam dirinya (perasaan) iba dan selalu
menolong orang-orang miskin dan tidak mampu, ini termasuk bagian dari
takwa. (simak kitab Taisiirul Kariimir Rahmaan, hal. 86)
Bulan Ramadhan merupakan musim kebaikan untuk melatih dan membiasakan
diri memiliki sifat-sifat mulia dalam agama Islam, di antaranya sifat
sabar. Sifat ini sangat agung kedudukannya dalam Islam, bahkan tanpa
adanya sifat sabar berarti iman seorang hamba akan pudar. Imam Ibnul
Qayyim menggambarkan hal ini dalam ucapan beliau: “Sesungguhnya
(kedudukan sifat) sabar dalam keimanan (seorang hamba) adalah seperti
kedudukan kepala (manusia) pada tubuhnya, kalau kepala manusia hilang
maka tidak ada kehidupan bagi tubuhnya.”(kitab al-Fawa-id, hal. 97 karya
Ibnul Qoyim)
Sifat yang agung ini, sangat erat kaitannya dengan puasa, bahkan
puasa itu sendiri adalah termasuk kesabaran. (simak kitab Latha-iful
ma’aarif , hal. 177, oleh Ibnu Rajab)
Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadis
yang sahih menamakan bulan puasa dengan syahrush shabr (bulan
kesabaran). (simak Silsilatul ahaaditsish shahiihah No. 2623, oleh
Nashiruddin Al-Albani)
Bahkan Allah menjadikan ganjaran pahala puasa berlipat-lipat ganda
tanpa batas (simak: kitab Latha-iful ma’aarif, hal. 177 oleh Ibnu
Rajab), sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Semua amal (sholeh yang dikerjakan) manusia dilipatgandakan
(pahalanya), satu kebaikan (diberi ganjaran) sepuluh sampai tujuh ratus
kali lipat.” Allah berfirman, “Kecuali puasa (ganjarannya tidak
terbatas), karena sesungguhnya puasa itu (khusus) untuk-Ku dan Akulah
yang akan memberikan ganjaran (kebaikan) baginya.”(HR. Bukhari No. 1805
dan Muslim No. 1151)
Demikian pula sifat sabar, ganjaran pahalanya tidak terbatas,
sebagaimana firman Allah, yang artinya, “Sesungguhnya orang-orang yang
bersabar akan disempurnakan (ganjaran) pahala mereka tanpa batas.” (QS
az-Zumar:10)
Imam Ibnu Rajab al-Hambali menjelaskan eratnya hubungan puasa dengan
sifat sabar dalam ucapan beliau. “Sabar itu ada tiga macam; sabar dalam
(melaksanakan) ketaatan kepada Allah, sabar dalam (meninggalkan) hal-hal
yang diharamkan-Nya, dan sabar (dalam menghadapi)
ketentuan-ketentuan-Nya yang tidak sesuai dengan keinginan (manusia).
Ketiga macam sabar ini (seluruhnya) terkumpul dalam (ibadah) puasa,
karena (dengan) berpuasa (kita harus) bersabar dalam (menjalankan)
ketaatan kepada Allah, dan bersabar dari semua keinginan syahwat yang
diharamkan-Nya bagi orang yang berpuasa, serta bersabar dalam
(menghadapi) beratnya (rasa) lapar, haus, dan lemahnya badan yang
dialami orang yang berpuasa.” (simak Latha-iful ma’aarif , hal. 177)
(PM)
Sumber : http://www.citraislam.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar