Ramadhan tahun lalu, Alhamdulillah saya
berkesempatan menunaikan puasa di tanah suci sambil melaksanakan umroh.
Saya sengaja memilih paket umroh yang 15 hari, sehingga bisa
menghabiskan 10 hari terakhir bulan Ramadhan di Mekkah dan sekaligus
sholat Ied di Masjidil Haram. Tepat 17 Agustus 2011 jam 6.00 pagi, kami
sudah berangkat dari Cilegon menuju bandara Soetta, karena masih akan
ada pembekalan dari pihak travel biro. Jam 11 tepat, pesawat yang kami
tumpangi tinggal landas menuju Jeddah dan tiba di sana pukul 4 sore
waktu setempat atau pukul 8 malam waktu Jakarta. Singkat cerita,
rombongan kami baru tiba di hotel tenpat menginap di kota Madinah
Al-Mukaromah menjelang jam 12 malam waktu setenpat, persis ketika jamaah
sholat taraweh baru saja keluar dari Masjid Nabawi.
Saya sempat kaget melihat kota Madinah tengah malam
tak ubahnya seperti jam 12 siang saja. Memang saat itu di Arab sedang
puncak musim panas, dari berita-berita di internet yang saya kumpulkan
sebelum berangkat, suhu siang hari rata-rata 500 – 520
Celcius. Jadi jadwal puasa cukup panjang. Maghrib baru pukul 7.15 malam
dan Isya sekitar pukul 9. Karena sholat taraweh disana jumlahnya 23
rakaat termasuk witir dan surat yang dibaca setiap hari totalnya 1 juz,
maka rangkaian sholat taraweh baru usai menjelang jam 12 malam.
Luberan jamaah dari berbagai negara berpadu dengan
geliat perekonomian yang di bulan Ramadhan justru ramai di malam hari –
terutama penjualan makanan – praktis membuat kota Madinah yang memang
aslinya sudah gemerlapan, makin terang benderang saja, seolah tak pernah
tidur. Jamaah umroh dari berbagai negara di seluruh dunia memang
mencapai puncaknya di bulan Ramadhan. Hal ini karena umumnya umat Islam
mengejar keutamaan umroh di bulan Ramadhan yang dalam hadits Rasulullah
SAW dijanjikan pahalanya setara dengan pahala berhaji bahkan berhaji
bersama Rasulullah Muhammad SAW.
Bukan hanya jamaah umroh dari manca negara,
penduduk lokal Arab pun menyambut Ramadhan dengan sangat istimewa.
Karena di Arab selama Ramadhan libur, maka kebanyakan keluarga Arab
selama sebulan penuh “pindah” ke tanah suci Mekkah dan Madinah. Terutama
di kota Mekkah. Hampir semua hotel berbintang sudah di-booking keluarga
kaya Arab. Itu sebabnya umumnya travel biro dari Indonesia menurunkan
tingkat penginapannya untuk paket umroh Ramadhan di kota Mekkah, karena
tarif hotel melambung tinggi. Bahkan kebanyakan memakai penginapan
seperti apartemen, untuk paket umroh jangka panjang 15 – 30 hari. Jangan
berharap bisa mendapatkan hotel di ring satu seputaran Masjidil Haram.
Penginapan dan apartemen sejarak 1 km pun masih padat. Beruntung
apartemen tempat kami menginap hanya berjarak 500-an meter dari Masjidil
Haram, itu pun cukup berjalan lurus saja.
Sejak masih di Madinah, saya sudah merasakan
kepadatan jamaah yang luar biasa dibanding umroh di luar bulan Ramadhan.
Setiap kali menjelang waktu sholat 5 waktu, kami harus sudah berada di
Masjid Nabawi sekurangnya setengah jam sebelum saat adzan, jika ingin
mendapatkan tempat di dalam masjid. Beruntung hotel kami hanya berjarak
kurang dari 100 meter dari Masjid Nabawi, jadi tak terlalu merepotkan. 3
hari di Madinah, kami bertolak ke Mekkah.
Semula dijadwalkan kami akan berangkat usai sholat
Dhuhur. Tapi mengingat hari itu tepat tanggal 20 Ramadhan yang berarti
malam harinya adalah malam ke-21, maka muthowwif kami
memutuskan berangkat lebih awal, targetnya sebelum jam 2 siang kami
sudah harus tiba di Mekkah karena katanya menjelang malam ke-21
jalan-jalan di seputaran Masjidil Haram tertutup untuk bus besar masuk,
karena arus jamaah sudah sangat membludak. Akhirnya kami berangkat jam 8
pagi, karena masih akan mampir di masjid Bir Ali untuk mengambil miqot, melaksanakan sholat sunnah umroh dan melafadzkan niat.
Benar saja, menjelang jam 2 kami tiba di sana, dan 1
km sebelum Masjidil Haram sudah ditutup. Kami terpaksa berjalan kaki di
tengah terik mentari yang luar biasa menyengat, menuju ke penginapan.
Sementara koper dan barang bawaan akan diurus oleh pihak travel dan
diangkut sedikit demi sedikit menggunakan troley. Mengingat kondisi jamaah yang sedang berpuasa dan panasnya kota Mekkah, muthowwif
kami memutuskan umroh baru akan dilaksanakan usai sholat Maghrib. Kami
diminta beristirahat di penginapan dan menghemat energi, sholat Dhuhur,
Ashar dan Maghrib dilakukan di kamar masing-masing, setelah makan buka
puasa kami akan bergegas ke Masjidil Haram untuk memulai rangkaian
umroh.
Benar juga informasi yang saya dapat sebelumnya,
bahwa situasi Masjidil Haram di bulan Ramadhan bisa jauh lebih ramai
ketimbang musim haji. Sebab di musim haji, jamaah yang datang
mengunjungi Ka’bah hanya mereka yang melaksanakan ibadah haji. Sedangkan
di bulan Ramadhan, selain jamaah dari berbagai penjuru dunia, warga
sekitar kota Mekkah pun menyempatkan diri untuk sholat 5 waktu dan
taraweh di Masjidil Haram. Belum lagi kedatangan warga Arab Saudi dari
berbagai kota semisal Jeddah, Riyadh, dll. Mulai anak-anak, remaja,
orang dewasa sampai tua renta diajak serta menghabiskan Ramadhan di
Mekkah. Sulit digambarkan seperti apa kepadatannya. Mungkin tak cukup
terlukiskan dengan kata-kata. Saya yang mengalami sendiri nyaris tak
percaya.
Untuk mengambil air zamzam mengisi botol-botol air
minum yang kami bawa, itu saja harus antri sampai lama. Padahal
kran-kran air zamzam tersedia di hampir tiap lekukan Masjidil Haram, dan
masing-masing tempat pengambilan air zamzam terdiri dari banyak kran.
Semula saya pikir “ah nanti sajalah, tunggu sampai agak sepi”. Ternyata,
tak kunjung sepi. Sedikit berkurang antrian mungkin sekitar sejam usai
sholat Subuh. Tapi menjelang Dhuhur, kran-kran air itu kembali dipadati
jamaah. Meski sedang berpuasa, umumnya jamaah membawa botol-botol
minuman ukuran besar atau jerigen kecil, untuk diisi dengan air zamzam
dan dibawa ke penginapan, untuk dibawa pulang ke negara masing-masing.
Maklumlah, selain jamaah yang dikoordinir oleh biro perjalanan yang
sudah menyediakan air zamzam dalam kemasan untuk oleh-oleh, banyak pula
jamaah yang berangkat secara mandiri. Mereka datang bersama keluarga
atau kerabatnya khusus untuk menghabiskan bulan Ramdhan mereka di tanah
suci.
Saya kagum dengan keuletan dan kenekadan jamaah
asal Turki, Pakistan, Bangladesh, dll. yang rela “menggelandang” selama
Ramadhan, asal bisa beribadah di tanah suci Mekkah dan Madinah. Barang
bawaan mereka digantungkan begitu saja di pagar masjid. Bahkan ada
seorang Ibu tua berkursi roda, seluruh kursi rodanya penuh
bergelantungan semua barang kebutuhan hidupnya. Anak lelakinya mendorong
kursi si ibu. Jamaah-jamaah “bonek” (bondo nekad) ini tidur di
halaman Masjid Nabawi dan Masjidil Haram, beratapkan langit dan beralas
kardus bekas kemasan makanan atau buah-buahan yang biasanya dibuang
oleh pemilik mini market yang bertebaran di sekitar Masjidil Haram.
Kalau di Masjid Nabawi, karena pelatarannya cukup bersih, mereka tidur
tanpa alas. Tas, koper dan barang bawaan bisa jadi bantal atau pembatas.
Mereka melakukan MCK di toilet masjid. Maka tak perlu heran kalau untuk
ke toilet antrinya bisa sampai sejam.
Aktivitas sahur dan berbuka mereka lakukan di
masjid atau di halaman masjid, Untuk buka puasa tak jadi masalah. Setiap
hari kedua masjid besar itu selalu dibanjiri sumbangan buka puasa dari
para dermawan, baik berupa kurma, roti, yoghurt, biskuit, dll. Saya
perhatikan, jamaah bonek berkantong tipis itu umumnya mengumpulkan
pembagian buka puasa sebanyak-banayknya dalam tas plastik mereka. Setiap
kali ada pembagian, mereka antusias sekali. Semula saya pikir : “apa
sebanyak itu habis unttuk berbuka?” Ternyata, sebagian disimpan untuk
dimakan saat sahur. Yang masih punya sedikit uang, bisa membeli paket
makanan siap saji di rumah makan sekitar masjid, meski seringkali
seporsi dimakan bersama suami–istri. Terkadang, mereka datang sekeluarga
dengan anak-anak dan orang tua yang sudah berumur. Menyaksikan mereka
makan seadanya beratapkan langit, saya terharu. Begitu berat perjuangan
mereka dari negaranya menuju ke tanah suci, demi mengejar pahala
berlipat untuk bisa umroh di bulan Ramadhan, menjalankan sholat 5 waktu
dan taraweh di kedua masjid suci itu dan terutama untuk i’tikaf di
malam-malam ganjil 10 hari terakhir Ramadhan.
Nah, dengan kepadatan jamaah seperti itu, ditambah aktivitas berbuka dan sahur, tentu sampah adalah masalah terbesar. Para pertugas cleaning service
di kedua masjid suci itu yang selama 24 jam terus membersihkan seluruh
area masjid, akan lebih dibuat repot saat usai sholat Maghrib. Sebab
mereka harus menyapu bersih semua bekas buka puasa jutaan jamaah, karena
tak lama lagi sholat Isya dan taraweh akan dimulai. Sementara jamaah
enggan beranjak karena takut tak kebagian tempat lagi bila meninggalkan
tempatnya duduk.
Begitupun menjelang sholat subuh. Karena khusus selama 10 hari terakhir Ramadhan ada tambahan qiyamul-lail
(sholat tahajjud) yang dimulai jam 1 malam dan berakhir jam 3 pagi,
maka kebanyakan jamaah hanya keluar sebentar usai sholat taraweh dan
sejam kemudian kembali untuk ikut sholat berjamaah qiyamul lail. Biasanya mereka membeli makanan untuk sahur. Begitu selesai qiyamul lail, mulailah jamaah yang tak tinggal di penginapan itu bersantap sahur. Jadi, sebelum Subuh, petugas cleaning service harus sudah membuat masjid bersih kembali.
Sayangnya, tugas berat para cleaning service
ini tidak dipermudah dengan kebiasaan hidup bersih dan tidak membuang
sampah sembarangan. Banyak jamaah dari negara-negara dunia ketiga itu
seenaknya saja meninggalkan sampah bekas makanan dan minuman mereka. Tak
heran jika ratusan petugas cleaning service itu terpaksa
menggunakan cara-cara ekstrim untuk membersihkan masjid, khususnya usai
sholat Maghrib dan jelang sholat Subuh. Caranya : mereka menyiramkan
bergalon-galon air yang telah dicampur karbol ke area yang sudah
terlebih dahulu mereka beri semacam police line. Siapa saja
yang tak menyingkir dari situ dan tak membereskan barang bawaannya,
resiko ditanggung sendiri. Setelah air karbol disiramkan, puluhan
petugas menyapu sampah secara manual disusul petugas yang mengemudikan
mesin pengepel mirip forklift berukuran besar. Mereka bekerja berkelompok-kelompok dalam area-area tertentu.
Jujur saja, saya menaruh apresiasi sangat besar pada petugas cleaning service
yang umumnya adalah kaum imigran yang katanya bergaji kecil. Mereka
selalu tampak kelelahan. Meski kerjanya secara shift, tapi dalam 1 shift
kerja mereka nyaris tak pernah istirahat demi terjaganya kebersihan
masjid suci. Belum lagi petugas pemungut sampah yang setiap kali
mendorong troley berisi kantong sampah menggunung. Entah berapa ton sampah setiap usai buka dan sahur.
Karena melubernya jamaah tak mampu ditampung
Masjidil Haram, maka sholat 5 waktu – terutama Subuh, Maghrib dan Isya –
serta taraweh biasanya dilakukan sampai ke jalan-jalan di sekeliling
Masjidil Haram. Jalan yang menuju ke penginapan saya, Ibrahim Al Khalil
Road, selalu dipadati jamaah, tak ubahnya di dalam masjid. Mereka sholat
dijalanan, mereka juga beristirahat dan tidur di jalanan, makan sahur
di jalanan. 10 hari terakhir khususnya di malam ganjil, kalau kita lewat
sana usai Subuh, saat jamaah mulai meninggalkan jalan, tumpukan sampah
jadi pemandangan yang mendominasi. Jam 8-an biasanya datang mobil tangki
penyemprot air, yang akan menyiram jalanan setelah sebelumnya
dibersihkan petugas penyapu. Jam 10 pagi aktivitas bersih-bersih jalan
baru selesai dan itu barulah saat yang cukup nyaman untuk berbelanja.
Sayangnya, mentari sudah mulai terik. Biasanya saya pulang dari Masjid
jam 8-an usai sholat Dhuha dan tidur sampai siang, menebus semalam yang
tidak tidur. Pokoknya, selama di sana siang jadi malam, malam jadi
siang.
Saya banyak mengamati para petugas kebersihan baik
di area masjid maupun yang dijalanan. Tampaknya kondisi mereka
mengenaskan sementara tugasnya berat. Karena itu, jika anda
berkesempatan melaksanakan umroh Ramadhan, siapkan uang untuk bersedekah
pada mereka. Supaya sedekah itu lebih banyak lagi yang menerima
manfaat, sebaiknya siapkan uang lembaran 1 riyal. Jadi dengan 10 – 20
riyal sehari, anda bisa bersedekah pada pekerja migran itu. Tampaknya 1
riyal tak terlalu berarti, eits tunggu dulu! Di sana pisang, apel, roti,
yoghurt kemasan sedang, semua dibandrol harga 1 riyal. Kalau mereka
menerima dari banyak jamaah, insya Allah cukup untuk makan mereka saat
buka dan sahur. Keberadaan mereka seolah tak diperhatikan, padahal
merekalah yang menjaga kebersihan masjid dan sekitarnya, demi kenyamanan
jamaah. Semoga Tuhan meluaskan rizki mereka, yang bekerja keras demi
mendapatkan upah yang halal. Amiin…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar