Atau Judul Aslinya adalah :
“SE CHIE WU CIAT – KISAH LIMA JAGO LUAR BIASA DUNIA PERSILATAN”
“SE CHIE WU CIAT – KISAH LIMA JAGO LUAR BIASA DUNIA PERSILATAN”
DI JALAN RAYA yang
menghubungkan jalan „Cing-an dengan jalan ke-Bu-tong, tampak, ber lari2
seorang-anak lelaki kecil berusia delapan tahun, sambil ber-lari2
begitu, mulutnya tidak hentinya mengoceh seperti bernyanyi.
„Plak, plak, plak,
Kudaku lari keras sekali,
Gagah dengan pedang,
Berani menghadapi maut,
Siapa yang menghadang,
Ditabraknya dengan segera.
Plak, plak, plak,
Kudaku warna bulunya merah,
Larinya keras jika tengah marah,
Meraung keras dengan gagah.
Siapa berani menentangnya ?”
Kudaku lari keras sekali,
Gagah dengan pedang,
Berani menghadapi maut,
Siapa yang menghadang,
Ditabraknya dengan segera.
Plak, plak, plak,
Kudaku warna bulunya merah,
Larinya keras jika tengah marah,
Meraung keras dengan gagah.
Siapa berani menentangnya ?”
Terus juga anak lelaki itu berlari-lari
dengan mulut mengoceh tidak hentinya seperti itu, dia berlari dengan
membawa sikap seperti tengah menunggangi seekor kuda, tubuhnya
digentak-gentakkan. Tetapi waktu dia melihat seorang anak lelaki sebaya.
dengannya sedang bermain kelereng, dan seorang anak lelaki,lainnya
berusia diantara sepuluh tahun tengah berjongkok untuk menyentil
kelerengnya, anak lelaki ini telah meng hampirinya. Tahu-tahu tangan
kanannya digerakkan, waktu telah berada dekat dengan kedua oraag-anak
itu, dia telah menjitak kepala, anak yang berusia diantara sepuluh
tahun, cukup keras jitakannya itu, sampai memperdengarkan suara ‘takk…..
!.’, sedangkan anak yang seorangnya lagi waktu melihat munculnya
anak-lelaki yang nakal itu, telah ketakutan dan memutar tubuh bermaksud
melarikan diri, tetapi anak lelaki itu telah mengejarnya dan mengayunkan
tangaanya, ‘Tak…..!’ kepala anak itu juga telah dijitaknya lagi.
„Serahkan semua kelereng kalian !” kata anak lelaki yang nakal ini.
Kedua anak itu tampaknya takut terhadap anak yang nakal itu, mereka telah memberikan sebagian dari kelereng mereka.
„Jangan diambil semua, Ang-toa (situa Ang)!” kata anak yang berusia sepuluh tahun itu dengan muka meringis menahan takut.
Ang-toa, anak lelaki yang nakal itu, telah mendelikkan matanya, tangan kanannya dengan ringan telah bergerak lagi menjitak kepala anak berusia sepuluh-tahun itu.
„Kepalamu mau bengkak kujitaki terus?” bentak Ang-toa sambil mengulurkan tangannya seperti meminta dengan paksa kelereng kedua anak itu.
Kedua anak tersebut yang memang rupanya jeri berurusan dengan Ang-toa, telah menyerahkan lagi sebagian kelereng mereka, sehingga sebutirpun mereka tidak memilikinya lagi.
Setelah menerima semua kelereng itu, tampak Ang-toa telah ber-lari2 lagi, tangan kanan dan tangan kirinya menepuk-nepuk sakunya, sehingga terdengar „crengggg….., crengggg……!” suara terbenturnya tangan dengan kelereng yang berada didalam sakunya, dan sambil berlari-lari begitu, dia juga telah bernyanyi-nyanyi tiada hentinya dengan lagunya yang cukup jenaka itu :
„Plak, plak, plak, Kudaku lari keras sekali, Gagah dengan pedang, Berani menghadapi maut, Siapa yang menghadang, Ditabraknya dengan segera.
Plak, plak, plak, Kudaku warna bulunya merah, Larinya keras jika tengah marah, Meraung keras dengan gagah. Siapa berani menentangnya ?……….”
Sikap Ang-toa tampak jenaka, walaupun usianya masih kecil, namun justru yang mengherankan dia dipanggil namanya Ang-toa, situa she Ang.
Diantara sifat-sifatnya yang jenaka, tampak keberandalannya yang agak lumayan, sehiagga anak lelaki berusia lebih besar dari dia saja takut berurusan dengan Ang-toa, yang namanya telah tua tetapi orangnya masih kecil seperti itu.
Setelah berlari-lari beberapa tikungan, dia melihat dipinggir emperan sebuah rumah ada tiga orang anak yang tengah bermain kelereng.
Ang-toa mempercepat larinya, dia telah menghampiri rombongan anak-anak itu.
„Aku ikut main……!” teriaknya sambil memukul-mukul sakunya sehingga kelereng rampasanya memperdengarkan suara berkelintingan.
Ketiga anak lelaki itu telah menoleh waktu mendengar teriakan Ang-toa, dan seketika mereka mereka jadi pucat.
„Oh, aku tadi disuruh ibu pergi kepasar… maaf, aku harus pergi dulu…!” kata anak yang berusia diantara sebelas tahun sambil mengambil kelerengnya, dan memutar tubuhnya untuk berlalu.
„Hei…., jangan pergi dulu !” bentak Ang-toa mendongkol karena justru anak itu ingin berlari atas kedatangannya ditempat itu.
Anak itu mukanya tambah pucat.
„Aku…benar-benar sedang disuruh ibuku untuk pergi kepasar membeli beras”, menjelaskan anak itu dengan suara yang tergagap.
„Aku tidak mau tahu! Yang jelas aku datang engkau lalu mau pargi…,! Bukankah itu suatu kesalahan yang tidak kecil? Kau telah menghina aku…!” dan Ang-toa telah menghampiri anak itu.
Melihat Ang-toa mendekatinya, anak lelaki berusia, sebelas tahun itu jadi gugup dan mukanya tambah pucat, dia telah mementang kedua kakinya untuk berlari.
Tetapi, A-ng-toa bergerak cepat dia melompat sambil mengayunkan tangannya, „pletak…..!” kepala anak itu kena dijitaknya keras sekali. Anak itu mengaduh, tetapi kakinya tidak berhenti, dia telah lari tergesa-gesa.
Sedangkan Ang-toa telah tertawa keras, kemudian menoleh kepada kedua anak lainnya yang saat itu berjongkok dengan muka yang pucat.
„Dan kalian berdua apakah tidak mau bermain kelereng denganku…?” tanya Ang-toa sambil mendeliki matanya, sehingga sikapnya jenaka sekali.
Kedua anak itu menggelengkan kepalanya: „Mana berani kami, tidak menuruti keinginanmu Ang-toa? kata salah seorang diantara mereka dengan suara tergagap karena diliputi perasaan takut.
„Bagus! ‘Mari kita main……!” dan Ang-toa telah mengeluarkan tiga buah kelerengnya, dua buah dilemparkannya ketanah, sambil katanya : „Pasang…!”
Kedua anak itu hanya menuruti saja, mereka masing-masing juga telah memasang dua kelereng mereka, dan kemudian berdiri berjajar dengan Ang-toa dalam jarak tertentu.
„Ang-toa telah melemparkan kelerengnya, begitupun kemudian kedua anak itu.
„Aku jalan dulu !” kata Ang-toa kegirangan melihat kelerengnya berada paling jauh.
„Ya…, ya…, engkau jalan dulu…!” kata salah seorang diantara kedua anak lelaki itu.
Mereka tampaknya bermain kelereng dengan semangat yang tidak ada, karena mereka hanya mengiyakan apa yang dikatakan Ang-toa.
Saat itu Ang-toa telah ber-jongkok, dia menyentil kelerengnya, dan kelerengnya itu meluncur menyerempet pasangan kelereng mereka, tetapi tidak ada sebutirpun kelereng pasangan itu yang terlontar keluar dari lingkaran batas-batas yang telah digambar ditanah.
Walaupun Ang-toa tidak berhasil melnyentil mengenai pasangan, namun dia telah melompat-lompat kegirangan sambil serunya : „Aku kena!
Keenam kelereng itu telah menjadi milikku !”.
Muka kedua anak itn tidak memperlihatkan sikap atau perasaan lain, karena mereka telah berdiri pucat ketakutan, sebab mereka mengetahui siapa Ang-toa, sinakal jenaka ini.
„Ya…… kau ambillah, Ang-toa !” kata mereka hampir berbareng.
Ang-toa mengambil keenam kelereng pasangan itu dan dia telah berkata kepada kedua anak, itu : „Ayo pasang lagi…!”.
„Ang-toa…!” kata salah seorang diantara kedua anak tersebut.
„Kenapa ? Kalian juga tidak mau bermain kelereng denganku ?” tanya Ang-toa sambil mendeliki matanya.
„Bukan begitu, mendadak sekali perutku sakit ! Engkau ambillah sebelas kelerengku ini, tetapi maafkan aku harus pulang untuk buang air dult …!” dan anak lelaki itu yang berusia diantara dua belas tahun itu telah menyodorkan kelerengnya, yang semuanya diberikan kepada Ang-toa. Rupanya dia memang sudah tidak mau bermain dengan Ang-toa dan lebih rela menyerahkan sisa kelereng yang ada padanya. Ang-toa menerima kelereng-kelereng itu dan memasukkan kedalam sakunya. „Dan engkau…?” tanyanya kepada anak yang seorangnya.
„Aku tadi disuruh ibu untuk membeli ikan” menyahuti anak itu. „Aku baru ingat sekarang, maka aku bermaksud untuk pergi membeli ikan dulu…!”.
„Ah, engkau benar-benar jahat tidak mau menemani aku main kelereng !” kata Ang-toa dan tangannya bergerak menjitak anak itu.
Anak tersebut yang keningnya kena dijitak keras oleh Ang-toa tidak mengaduh, dia hanya menyodorkan sisa kelerengnya yang masih berjumlah delapan buah. „Kau ambillah Ang-toa, aku memang tidak sepandai engkau bermain kelereng, anggap saja aku telah kalah…!”.
Ang-toa sambil tersenyum mengejek telah menerima kedelapan kelereng anak itu, dia telah memasukkan kedalam sakunya. Sedangkan anak itu telah membalikkan tubuhnya untuk berlalu. Anak yang seorangnya lagi juga telah cepat-cepat meninggalkan Ang-toa.
Ang-toa masih berdiri ditempatnya, dia jadi tidak tahu apa yang ingin dilakukannya, hanya tangan kanan dan kiri telah digerak-gerakkan per-lahan2 memukul sakunya sehingga kelereng yang berada didalam sakunya itu telah bergemerincing memperdengarkan suaranya.
„Heran….! Mereka semuanya tidak mau bermain kelereng denganku…! Mengapa begitu? Memang mereka manusia-manusia jahat, selalu mengasingkan diriku…….!” menggumam Ang-toa. Dia tidak menyadari, justru dirinya sendiri yang setiap kali bermain kelereng, tentu akan bermain curang, menang atau tidak, dia harus menang, sehingga anak-anak yang sebaya dengannya tidak berani bermain kelereng dengannya, sebab jika mereka menentang Ang-toa, berarti mereka akan di-jitak dan dipukul oleh Ang-toa, sinakal yang jenaka ini.
Setelah berdiam diri sejenak lamanya ditempat itu, Ang-toa telah menyusuri jalan itu, dia sampai dipinggiran kota, berdiri menyender dibatang pohon, dan tangan kanannya satu persatu melemparkan kelerengnya. Akhirnya, kelereng rampasan yang berada disakunya telah habis menggeletak ditanah.
Tetapi Ang-toa tidak berusaha untuk memungut atau mengambil kelereng itu lagi, dia telah ngeloyor pergi meninggalkan tempat tersebut.
Selagi Ang-toa berjalan dengan kepala tertunduk dan kaki menendang-nendang setiap batu kerikil yang dilaluinya, tiba-tiba dia mendengar suara sorak dan pekik riang dari beberapa orang anak-anak.
Waktu Ang-toa melihat serombongan anak lelaki yang tengah berkerumun bermain kelereng, Ang-toa jadi girang kembali. Cepat-cepat dia berlari menghampiri rombongan anak-anak itu yang mungkin berjumlah delapan orang anak:
„Aku ikut main……!” teriak Ang-toa.
„Kau, Ang-toa ?” tanya seorang anak lelaki yang mungkin berusia tiga belas tahun dan memiliki bentuk tubuh yang sehat. „Mana kelerengmu ?”.
„Kalian pinjami dulu, nanti setelah aku menang, aku akan mengembalikannya…!” menyahuti Ang-toa.
„Cisss, enak saja, engkau mau meminjam.! Jika kalah ennkau akan menggantinya dengan apa ?
„Aku tidak mungkin kalah…nanti setelah menang aku menggaatinya dengan menghadiahi dua kelereng !” kata Ang-toa berusaha untuk membu juk.
Tetapi anak lelaki yang bertubuh Iebih besar dari Ang-toa itu, telah menggelengkan kepalanya.
„Kalau tidak memiliki kelereng, jangan ikut main !” katanya.
„Hei, kok begitu? Mengapa engkau tampaknya tidak senang kalau aku ikut main ?” tanya Ang-toa dengan suara menegur.
„Siapa yang tidak sudi main deagan engkau? Aku mau saja main kelereng denganmu, tetapi engkau harus memiliki kelereng sendiri, jangan seenakmu saja ingin meminjam dulu kelereng kami…!”.
„Bu-ko (engko Bu), engkau jangan begitu… aku berjanji akan mengembalikan kelereng yang kupinjam- itu” membujuk Ang-toa.
„Tidak !”.
.„Dan kau ?” tanya Ang-toa kepada anak lainnya dengan; mata yang dipentang.
„Aku…aku sih mau saja memberikan pinjaman kelereng kepadamu, tetapi engkau tanyakan dulu kepada Bu-ko, apakah dia menyetujui atau tidak !”.
„Mengapa harus begitu? Bukankah kelereng itu milikmu, mengapa aku harut menanyakan pendapat anak she Bu itu ?” suara Ang-toa jang galak.
Bu-ko, anak yang lebih besar beberapa tahun dari Ang-toa, telah berkata tidak sabar : „Ang-toa, lebih baik engkau pergi meninggalkan kami, jangan mengganggu permainan kami saja…….
Mendengar perkataan anak itu yang terakhir, Ang-toa rupanya habis sabar, dia telah bilang sambil bertolak pinggang : „Engkau jadi ingin menggertak aku…..? Baik……!
Baik! Aku justru ingin menjitak kepalamu, entah engkau bisa melawan aku atau tidak…!” Dan benar-benar Ang-toa telah melangkah menghampiri si Bu-ko, dia mengayunkan tangannya untuk menjitak kening orang.
Tetapi Bu-ko mana mau membiarkan dirinya dijitak Ang-toa, dengan mendongkol dia telah melompat kesamping mengelakkan jitakan
„Ang-toa, engkau jangan kurang ajar!” bentak anak itu dengan sengit. „Kalan memang engkau terlalu mendesak diriku, jangan persalahkan aku yang akan mengambil tindakan keras kepadamu !”.
„Eh, engkau berani berurusan denganku,?” tanya Ang-toa dengan suara aseran.
„Mengapa harus takut ? Jika memang engkau keterlaluan, tentu siapapun juga berani berurusan denganmu !” menyahuti Bu-ko dengan suara tidak kalah gertak.
”Tetapi Ang-toa rupanya mendongkol bercampur marah, dia telah mendekati Bu-ko.
„Dia harus kutundukkan, jika tidak tentu anak-anak lain berani kurangajar padaku …!” pikir Ang-toa didalam hatinya.
Karena berpikirr begitu, dia telah menggerakkan tangannya untuk menjitak: kepala Bu-ko.
Tetapi karena memang lebih besar beberapa tahun dari Ang-toa, disamping dia juga memiliki badan yang cukup besar, Bu-ko tidak takut terhadap jitakan yang dilakukan Ang-toa, bahkan setelah berkelit menghindarkan diri, tahu-tahu kepalan tangannya telah melayang hinggap dihidung Ang-toa, sampai Ang-toa terjungkel diatas tanah.
Matanya berkunang-kunang, tetapi cepat sekali Ang-toa telah melompat bangun, dan dia menyerudukkan kepalanya keperut Bu-ko.
„Bukk……!” si Bu-ko itu telah diseruduk keras sekali perutnya oleh kepala Ang-toa, dia sampai menjerit kesakitan dan telah terjengkang rubuh.
Tetapi Ang-toa benar-benar nakal sekali, dia telah merangkul Bu-ko, dan menggigit telinga lawannya itu.
Keruan saja anak itu jadi menjerit-jerit kesakitan dan berusaha meronta, tetapi Ang-toa tetap menggigit telinga lawannya dengan kuat sekali.
„Ampun tidak ? Berani kurang ajar lagi kepadaku atau tidak ?” tanya Ang-toa melepaskan gigitannya sebentar, dan kemudian menggigit lagi telinga Bu-ko.
Saking kesakitan Bu-ko sampai menangis dia telah berteriak-teriak meminta ampun.
Setelah puas cukup lama meriggigit telinga lawannya, Ang-toa telah melompat bangun, dia mengawasi Bu-ko yang tengah menangis sambil memegangi telinganya yang merah bekas digigit Ang-toa.
„Kalau suatu saat nanti engkau berani banyak lagak lagi dihadapanku, akan kugigit putus telingamu itu !” ancam Ang-toa dengan sikap yang bangga, karena dia telah berhasil mengalahkan lawan yang lebih besar dari.dia, dan membuat lawannya menangis.
„Akan kuberitahukan ayahku…!” kata Bu-ko sambij menangis dan berdiri untuk berlalu.
„Ala, engkau memang besar mulut saja !” kata Ang-toa sambil menjitak kening Bu-ko.
Bu-ko -tidak berani melawannya lagi, dia telah berlari-lari meninggalkan tempat itu.
Anak-anak lainnya yang menyaksikan ‘jago’ mereka kena dirubuhkan Ang-toa, telah berdiri dengan muka yang pucat pasi ketakutan.
„Sekarang kalian berani bertingkah lagi atau, tidak dihadapanku bentak Ang-toa kepada anak-anak itu.
„Tidak…..! Tidak….! Tadi memang Bu-ko keterlaluan sekali, dia telah menganjurkan kami agar tidak mau menemani engkau bermain kelereng…….”
„Hemm…., orang seperti dia memang harus dihajar……agar kelak tidak besar mulut saja……! Punya badan yang tinggi besar, tetapi nyalinya sebesar nyali tikus !”
Anak-anak yang tengah ketakutan itu memaksakan diri untuk tertawa, padahal hati mereka juga tengah berdenyut-denyut ngeri, karena takut dijitak oleh Ang-toa.
„Ayo, siapa yang mau meminjamkan kelerengnya kepadaku ?” tanya Ang-toa kemudian dengan suara yang nyaring.
„Aku…!”. .
„Aku mau meminjamikan !” kata anak yang lain.
„Ini Ang-toa, kelerengku saja engkau mainkan…! Aku memang bermaksud pulang makan dulu…!” kata anak yang lainnya sambil mengangsurkan semua kelereng miliknya kepada Ang-toa.
Ang-toa menggelengkan kepalanya. dengan mata mendelik besar.
„Kalian beaar-benar kurang ajar sekali !” kata Ang-toa sambil mendeliki matanya.
„Mengapa setiap kali aku mau bermain kelereng, kalian selalu saja ada alasan ini dan itu saja…! Aku tahu, kalian semuanya berdusta, kalian hanya takut bermain kelereng denganku dan mempergunakan berbagai cara untuk dapat menyingkirkan diri…!”
„Mana berani kami memiliki pikiran seperti itu ?” kata salah seorang anak itu cepat.
„Kami sejak dulu dan sampai sekarang, selalu akan mematuhi setiap perkataanmu Ang-toa ! Bukankah kini engkau telah menjadi pemimpin kami semua dengan keberanian dan kepandaian yang engkau miliki itu ?”
Bangga Ang-toa mendengar pujian seperti itu, dia telah mengambil kelereng dari anak yang katanya ingin pulang dulu untuk makan. Mulailah Ang-toa bermain dengan beberapa orang anak-anak itu: Tetapi seorangpun diantara anak-anak itu tidak baleh mengenai sasaran kelerengnya pada pasangan, jika menang sentilannya mengena juga, maka dengan sengit Ang-toa mengayunkan tangannya menjitak kepala anak yang menang itu.
Tetapi jika Ang-toa sendiri, kena atau tidak, dia selalu berteriak dia menang, dan diambilnya semua pasangan itu. Namun lawan-lawan bermainnya itu tidak seorangpun yang berani membantahnya. Disaat itu saku Ang-toa telah penuh dengan kelereng.
Sedangkan anak-anak itu bermain tanpa bersemangat, karena mereka tahu jika menang akan dijitak, lebih baik mereka pura-pura kalah dan setiap kali menyentil kelerengnya selalu mereka memiringkan arahnya tidak kepada pasangannya…!
Akhirnya semua kelereng dari anak-anak itu, yang seluruhnya hampir berjumlah seratus butir, telah berpindah kesaku Ang-toa.
Seorang demi seorang, yang telah habis kelerengnya, menyatakan ingin pulang guna mengambil kelereng lagi, tetapi sesungguhnya mereka semuanya ingin cepat-cepat dapat melepaskan diri dari Ang-toa, yang galak dan main jitak itu.
Setelah semua anak itu berlalu, Ang-toa jadi berdiri bengong seorang diri.
Kelereng disakunya banyak dan berat, dia mengetuk-ngetuk sakunya beberapa kali, kemudian menggumam seorang diri : „Aku mau kemana lagi ?”
Dia mencari-cari memandang sekitarnya, dia ingin mencari anak-anak lainnya. Tetapi disekitar tempat itu tidak terlihat anak-anak lagi.
Kedua anak itu tampaknya takut terhadap anak yang nakal itu, mereka telah memberikan sebagian dari kelereng mereka.
„Jangan diambil semua, Ang-toa (situa Ang)!” kata anak yang berusia sepuluh tahun itu dengan muka meringis menahan takut.
Ang-toa, anak lelaki yang nakal itu, telah mendelikkan matanya, tangan kanannya dengan ringan telah bergerak lagi menjitak kepala anak berusia sepuluh-tahun itu.
„Kepalamu mau bengkak kujitaki terus?” bentak Ang-toa sambil mengulurkan tangannya seperti meminta dengan paksa kelereng kedua anak itu.
Kedua anak tersebut yang memang rupanya jeri berurusan dengan Ang-toa, telah menyerahkan lagi sebagian kelereng mereka, sehingga sebutirpun mereka tidak memilikinya lagi.
Setelah menerima semua kelereng itu, tampak Ang-toa telah ber-lari2 lagi, tangan kanan dan tangan kirinya menepuk-nepuk sakunya, sehingga terdengar „crengggg….., crengggg……!” suara terbenturnya tangan dengan kelereng yang berada didalam sakunya, dan sambil berlari-lari begitu, dia juga telah bernyanyi-nyanyi tiada hentinya dengan lagunya yang cukup jenaka itu :
„Plak, plak, plak, Kudaku lari keras sekali, Gagah dengan pedang, Berani menghadapi maut, Siapa yang menghadang, Ditabraknya dengan segera.
Plak, plak, plak, Kudaku warna bulunya merah, Larinya keras jika tengah marah, Meraung keras dengan gagah. Siapa berani menentangnya ?……….”
Sikap Ang-toa tampak jenaka, walaupun usianya masih kecil, namun justru yang mengherankan dia dipanggil namanya Ang-toa, situa she Ang.
Diantara sifat-sifatnya yang jenaka, tampak keberandalannya yang agak lumayan, sehiagga anak lelaki berusia lebih besar dari dia saja takut berurusan dengan Ang-toa, yang namanya telah tua tetapi orangnya masih kecil seperti itu.
Setelah berlari-lari beberapa tikungan, dia melihat dipinggir emperan sebuah rumah ada tiga orang anak yang tengah bermain kelereng.
Ang-toa mempercepat larinya, dia telah menghampiri rombongan anak-anak itu.
„Aku ikut main……!” teriaknya sambil memukul-mukul sakunya sehingga kelereng rampasanya memperdengarkan suara berkelintingan.
Ketiga anak lelaki itu telah menoleh waktu mendengar teriakan Ang-toa, dan seketika mereka mereka jadi pucat.
„Oh, aku tadi disuruh ibu pergi kepasar… maaf, aku harus pergi dulu…!” kata anak yang berusia diantara sebelas tahun sambil mengambil kelerengnya, dan memutar tubuhnya untuk berlalu.
„Hei…., jangan pergi dulu !” bentak Ang-toa mendongkol karena justru anak itu ingin berlari atas kedatangannya ditempat itu.
Anak itu mukanya tambah pucat.
„Aku…benar-benar sedang disuruh ibuku untuk pergi kepasar membeli beras”, menjelaskan anak itu dengan suara yang tergagap.
„Aku tidak mau tahu! Yang jelas aku datang engkau lalu mau pargi…,! Bukankah itu suatu kesalahan yang tidak kecil? Kau telah menghina aku…!” dan Ang-toa telah menghampiri anak itu.
Melihat Ang-toa mendekatinya, anak lelaki berusia, sebelas tahun itu jadi gugup dan mukanya tambah pucat, dia telah mementang kedua kakinya untuk berlari.
Tetapi, A-ng-toa bergerak cepat dia melompat sambil mengayunkan tangannya, „pletak…..!” kepala anak itu kena dijitaknya keras sekali. Anak itu mengaduh, tetapi kakinya tidak berhenti, dia telah lari tergesa-gesa.
Sedangkan Ang-toa telah tertawa keras, kemudian menoleh kepada kedua anak lainnya yang saat itu berjongkok dengan muka yang pucat.
„Dan kalian berdua apakah tidak mau bermain kelereng denganku…?” tanya Ang-toa sambil mendeliki matanya, sehingga sikapnya jenaka sekali.
Kedua anak itu menggelengkan kepalanya: „Mana berani kami, tidak menuruti keinginanmu Ang-toa? kata salah seorang diantara mereka dengan suara tergagap karena diliputi perasaan takut.
„Bagus! ‘Mari kita main……!” dan Ang-toa telah mengeluarkan tiga buah kelerengnya, dua buah dilemparkannya ketanah, sambil katanya : „Pasang…!”
Kedua anak itu hanya menuruti saja, mereka masing-masing juga telah memasang dua kelereng mereka, dan kemudian berdiri berjajar dengan Ang-toa dalam jarak tertentu.
„Ang-toa telah melemparkan kelerengnya, begitupun kemudian kedua anak itu.
„Aku jalan dulu !” kata Ang-toa kegirangan melihat kelerengnya berada paling jauh.
„Ya…, ya…, engkau jalan dulu…!” kata salah seorang diantara kedua anak lelaki itu.
Mereka tampaknya bermain kelereng dengan semangat yang tidak ada, karena mereka hanya mengiyakan apa yang dikatakan Ang-toa.
Saat itu Ang-toa telah ber-jongkok, dia menyentil kelerengnya, dan kelerengnya itu meluncur menyerempet pasangan kelereng mereka, tetapi tidak ada sebutirpun kelereng pasangan itu yang terlontar keluar dari lingkaran batas-batas yang telah digambar ditanah.
Walaupun Ang-toa tidak berhasil melnyentil mengenai pasangan, namun dia telah melompat-lompat kegirangan sambil serunya : „Aku kena!
Keenam kelereng itu telah menjadi milikku !”.
Muka kedua anak itn tidak memperlihatkan sikap atau perasaan lain, karena mereka telah berdiri pucat ketakutan, sebab mereka mengetahui siapa Ang-toa, sinakal jenaka ini.
„Ya…… kau ambillah, Ang-toa !” kata mereka hampir berbareng.
Ang-toa mengambil keenam kelereng pasangan itu dan dia telah berkata kepada kedua anak, itu : „Ayo pasang lagi…!”.
„Ang-toa…!” kata salah seorang diantara kedua anak tersebut.
„Kenapa ? Kalian juga tidak mau bermain kelereng denganku ?” tanya Ang-toa sambil mendeliki matanya.
„Bukan begitu, mendadak sekali perutku sakit ! Engkau ambillah sebelas kelerengku ini, tetapi maafkan aku harus pulang untuk buang air dult …!” dan anak lelaki itu yang berusia diantara dua belas tahun itu telah menyodorkan kelerengnya, yang semuanya diberikan kepada Ang-toa. Rupanya dia memang sudah tidak mau bermain dengan Ang-toa dan lebih rela menyerahkan sisa kelereng yang ada padanya. Ang-toa menerima kelereng-kelereng itu dan memasukkan kedalam sakunya. „Dan engkau…?” tanyanya kepada anak yang seorangnya.
„Aku tadi disuruh ibu untuk membeli ikan” menyahuti anak itu. „Aku baru ingat sekarang, maka aku bermaksud untuk pergi membeli ikan dulu…!”.
„Ah, engkau benar-benar jahat tidak mau menemani aku main kelereng !” kata Ang-toa dan tangannya bergerak menjitak anak itu.
Anak tersebut yang keningnya kena dijitak keras oleh Ang-toa tidak mengaduh, dia hanya menyodorkan sisa kelerengnya yang masih berjumlah delapan buah. „Kau ambillah Ang-toa, aku memang tidak sepandai engkau bermain kelereng, anggap saja aku telah kalah…!”.
Ang-toa sambil tersenyum mengejek telah menerima kedelapan kelereng anak itu, dia telah memasukkan kedalam sakunya. Sedangkan anak itu telah membalikkan tubuhnya untuk berlalu. Anak yang seorangnya lagi juga telah cepat-cepat meninggalkan Ang-toa.
Ang-toa masih berdiri ditempatnya, dia jadi tidak tahu apa yang ingin dilakukannya, hanya tangan kanan dan kiri telah digerak-gerakkan per-lahan2 memukul sakunya sehingga kelereng yang berada didalam sakunya itu telah bergemerincing memperdengarkan suaranya.
„Heran….! Mereka semuanya tidak mau bermain kelereng denganku…! Mengapa begitu? Memang mereka manusia-manusia jahat, selalu mengasingkan diriku…….!” menggumam Ang-toa. Dia tidak menyadari, justru dirinya sendiri yang setiap kali bermain kelereng, tentu akan bermain curang, menang atau tidak, dia harus menang, sehingga anak-anak yang sebaya dengannya tidak berani bermain kelereng dengannya, sebab jika mereka menentang Ang-toa, berarti mereka akan di-jitak dan dipukul oleh Ang-toa, sinakal yang jenaka ini.
Setelah berdiam diri sejenak lamanya ditempat itu, Ang-toa telah menyusuri jalan itu, dia sampai dipinggiran kota, berdiri menyender dibatang pohon, dan tangan kanannya satu persatu melemparkan kelerengnya. Akhirnya, kelereng rampasan yang berada disakunya telah habis menggeletak ditanah.
Tetapi Ang-toa tidak berusaha untuk memungut atau mengambil kelereng itu lagi, dia telah ngeloyor pergi meninggalkan tempat tersebut.
Selagi Ang-toa berjalan dengan kepala tertunduk dan kaki menendang-nendang setiap batu kerikil yang dilaluinya, tiba-tiba dia mendengar suara sorak dan pekik riang dari beberapa orang anak-anak.
Waktu Ang-toa melihat serombongan anak lelaki yang tengah berkerumun bermain kelereng, Ang-toa jadi girang kembali. Cepat-cepat dia berlari menghampiri rombongan anak-anak itu yang mungkin berjumlah delapan orang anak:
„Aku ikut main……!” teriak Ang-toa.
„Kau, Ang-toa ?” tanya seorang anak lelaki yang mungkin berusia tiga belas tahun dan memiliki bentuk tubuh yang sehat. „Mana kelerengmu ?”.
„Kalian pinjami dulu, nanti setelah aku menang, aku akan mengembalikannya…!” menyahuti Ang-toa.
„Cisss, enak saja, engkau mau meminjam.! Jika kalah ennkau akan menggantinya dengan apa ?
„Aku tidak mungkin kalah…nanti setelah menang aku menggaatinya dengan menghadiahi dua kelereng !” kata Ang-toa berusaha untuk membu juk.
Tetapi anak lelaki yang bertubuh Iebih besar dari Ang-toa itu, telah menggelengkan kepalanya.
„Kalau tidak memiliki kelereng, jangan ikut main !” katanya.
„Hei, kok begitu? Mengapa engkau tampaknya tidak senang kalau aku ikut main ?” tanya Ang-toa dengan suara menegur.
„Siapa yang tidak sudi main deagan engkau? Aku mau saja main kelereng denganmu, tetapi engkau harus memiliki kelereng sendiri, jangan seenakmu saja ingin meminjam dulu kelereng kami…!”.
„Bu-ko (engko Bu), engkau jangan begitu… aku berjanji akan mengembalikan kelereng yang kupinjam- itu” membujuk Ang-toa.
„Tidak !”.
.„Dan kau ?” tanya Ang-toa kepada anak lainnya dengan; mata yang dipentang.
„Aku…aku sih mau saja memberikan pinjaman kelereng kepadamu, tetapi engkau tanyakan dulu kepada Bu-ko, apakah dia menyetujui atau tidak !”.
„Mengapa harus begitu? Bukankah kelereng itu milikmu, mengapa aku harut menanyakan pendapat anak she Bu itu ?” suara Ang-toa jang galak.
Bu-ko, anak yang lebih besar beberapa tahun dari Ang-toa, telah berkata tidak sabar : „Ang-toa, lebih baik engkau pergi meninggalkan kami, jangan mengganggu permainan kami saja…….
Mendengar perkataan anak itu yang terakhir, Ang-toa rupanya habis sabar, dia telah bilang sambil bertolak pinggang : „Engkau jadi ingin menggertak aku…..? Baik……!
Baik! Aku justru ingin menjitak kepalamu, entah engkau bisa melawan aku atau tidak…!” Dan benar-benar Ang-toa telah melangkah menghampiri si Bu-ko, dia mengayunkan tangannya untuk menjitak kening orang.
Tetapi Bu-ko mana mau membiarkan dirinya dijitak Ang-toa, dengan mendongkol dia telah melompat kesamping mengelakkan jitakan
„Ang-toa, engkau jangan kurang ajar!” bentak anak itu dengan sengit. „Kalan memang engkau terlalu mendesak diriku, jangan persalahkan aku yang akan mengambil tindakan keras kepadamu !”.
„Eh, engkau berani berurusan denganku,?” tanya Ang-toa dengan suara aseran.
„Mengapa harus takut ? Jika memang engkau keterlaluan, tentu siapapun juga berani berurusan denganmu !” menyahuti Bu-ko dengan suara tidak kalah gertak.
”Tetapi Ang-toa rupanya mendongkol bercampur marah, dia telah mendekati Bu-ko.
„Dia harus kutundukkan, jika tidak tentu anak-anak lain berani kurangajar padaku …!” pikir Ang-toa didalam hatinya.
Karena berpikirr begitu, dia telah menggerakkan tangannya untuk menjitak: kepala Bu-ko.
Tetapi karena memang lebih besar beberapa tahun dari Ang-toa, disamping dia juga memiliki badan yang cukup besar, Bu-ko tidak takut terhadap jitakan yang dilakukan Ang-toa, bahkan setelah berkelit menghindarkan diri, tahu-tahu kepalan tangannya telah melayang hinggap dihidung Ang-toa, sampai Ang-toa terjungkel diatas tanah.
Matanya berkunang-kunang, tetapi cepat sekali Ang-toa telah melompat bangun, dan dia menyerudukkan kepalanya keperut Bu-ko.
„Bukk……!” si Bu-ko itu telah diseruduk keras sekali perutnya oleh kepala Ang-toa, dia sampai menjerit kesakitan dan telah terjengkang rubuh.
Tetapi Ang-toa benar-benar nakal sekali, dia telah merangkul Bu-ko, dan menggigit telinga lawannya itu.
Keruan saja anak itu jadi menjerit-jerit kesakitan dan berusaha meronta, tetapi Ang-toa tetap menggigit telinga lawannya dengan kuat sekali.
„Ampun tidak ? Berani kurang ajar lagi kepadaku atau tidak ?” tanya Ang-toa melepaskan gigitannya sebentar, dan kemudian menggigit lagi telinga Bu-ko.
Saking kesakitan Bu-ko sampai menangis dia telah berteriak-teriak meminta ampun.
Setelah puas cukup lama meriggigit telinga lawannya, Ang-toa telah melompat bangun, dia mengawasi Bu-ko yang tengah menangis sambil memegangi telinganya yang merah bekas digigit Ang-toa.
„Kalau suatu saat nanti engkau berani banyak lagak lagi dihadapanku, akan kugigit putus telingamu itu !” ancam Ang-toa dengan sikap yang bangga, karena dia telah berhasil mengalahkan lawan yang lebih besar dari.dia, dan membuat lawannya menangis.
„Akan kuberitahukan ayahku…!” kata Bu-ko sambij menangis dan berdiri untuk berlalu.
„Ala, engkau memang besar mulut saja !” kata Ang-toa sambil menjitak kening Bu-ko.
Bu-ko -tidak berani melawannya lagi, dia telah berlari-lari meninggalkan tempat itu.
Anak-anak lainnya yang menyaksikan ‘jago’ mereka kena dirubuhkan Ang-toa, telah berdiri dengan muka yang pucat pasi ketakutan.
„Sekarang kalian berani bertingkah lagi atau, tidak dihadapanku bentak Ang-toa kepada anak-anak itu.
„Tidak…..! Tidak….! Tadi memang Bu-ko keterlaluan sekali, dia telah menganjurkan kami agar tidak mau menemani engkau bermain kelereng…….”
„Hemm…., orang seperti dia memang harus dihajar……agar kelak tidak besar mulut saja……! Punya badan yang tinggi besar, tetapi nyalinya sebesar nyali tikus !”
Anak-anak yang tengah ketakutan itu memaksakan diri untuk tertawa, padahal hati mereka juga tengah berdenyut-denyut ngeri, karena takut dijitak oleh Ang-toa.
„Ayo, siapa yang mau meminjamkan kelerengnya kepadaku ?” tanya Ang-toa kemudian dengan suara yang nyaring.
„Aku…!”. .
„Aku mau meminjamikan !” kata anak yang lain.
„Ini Ang-toa, kelerengku saja engkau mainkan…! Aku memang bermaksud pulang makan dulu…!” kata anak yang lainnya sambil mengangsurkan semua kelereng miliknya kepada Ang-toa.
Ang-toa menggelengkan kepalanya. dengan mata mendelik besar.
„Kalian beaar-benar kurang ajar sekali !” kata Ang-toa sambil mendeliki matanya.
„Mengapa setiap kali aku mau bermain kelereng, kalian selalu saja ada alasan ini dan itu saja…! Aku tahu, kalian semuanya berdusta, kalian hanya takut bermain kelereng denganku dan mempergunakan berbagai cara untuk dapat menyingkirkan diri…!”
„Mana berani kami memiliki pikiran seperti itu ?” kata salah seorang anak itu cepat.
„Kami sejak dulu dan sampai sekarang, selalu akan mematuhi setiap perkataanmu Ang-toa ! Bukankah kini engkau telah menjadi pemimpin kami semua dengan keberanian dan kepandaian yang engkau miliki itu ?”
Bangga Ang-toa mendengar pujian seperti itu, dia telah mengambil kelereng dari anak yang katanya ingin pulang dulu untuk makan. Mulailah Ang-toa bermain dengan beberapa orang anak-anak itu: Tetapi seorangpun diantara anak-anak itu tidak baleh mengenai sasaran kelerengnya pada pasangan, jika menang sentilannya mengena juga, maka dengan sengit Ang-toa mengayunkan tangannya menjitak kepala anak yang menang itu.
Tetapi jika Ang-toa sendiri, kena atau tidak, dia selalu berteriak dia menang, dan diambilnya semua pasangan itu. Namun lawan-lawan bermainnya itu tidak seorangpun yang berani membantahnya. Disaat itu saku Ang-toa telah penuh dengan kelereng.
Sedangkan anak-anak itu bermain tanpa bersemangat, karena mereka tahu jika menang akan dijitak, lebih baik mereka pura-pura kalah dan setiap kali menyentil kelerengnya selalu mereka memiringkan arahnya tidak kepada pasangannya…!
Akhirnya semua kelereng dari anak-anak itu, yang seluruhnya hampir berjumlah seratus butir, telah berpindah kesaku Ang-toa.
Seorang demi seorang, yang telah habis kelerengnya, menyatakan ingin pulang guna mengambil kelereng lagi, tetapi sesungguhnya mereka semuanya ingin cepat-cepat dapat melepaskan diri dari Ang-toa, yang galak dan main jitak itu.
Setelah semua anak itu berlalu, Ang-toa jadi berdiri bengong seorang diri.
Kelereng disakunya banyak dan berat, dia mengetuk-ngetuk sakunya beberapa kali, kemudian menggumam seorang diri : „Aku mau kemana lagi ?”
Dia mencari-cari memandang sekitarnya, dia ingin mencari anak-anak lainnya. Tetapi disekitar tempat itu tidak terlihat anak-anak lagi.
Mereka semuanya-seperti memusuhkan diriku
? Mengapa ? Mengapa begitu ?” tanya Ang-toa dengan perlahan, seperti
juga dia-heran. Tetapi sesungguhnya, sebab utama anak-anak itu tidak mau
bermain terlalu lama dengan Ang-toa, akibat sifat si Ang toa itu yang
Main jitak dan main pukul jika tidak senang hatinya.
Waktu itulah Ang-toa merasakan perutnya keruyukan, dia telah lapar. Maka berlari -larilah Ang-toa – kedalam kota, sambil berlari dia mengoceh membawakan lagunya yang jenaka itu, “si kuda lari”. Sedangkan tangan kanannya juga melemparkan sebutir demi sebutir kelereng yang dimenangkannya kejalanan, sampai akhirnya sakunya telah kosong kembali. Dia berhenti dimuka sebuah rumah makan, yang memasang merek “Kwan Lui Tang”, dimana tamu yang mengunjungi rumah makan ini ramai sekali. Dimuka pin-tu tampak berdiri seorang pelayan yang khusus untuk menerima tamu-taw.u yang baru datang.
Ang-toa telah menghampiri pelayan itu..
„Engko yang baik, perutku lapar sekali…….!” kata Ang-toa sambil tepuk-tepuk perutnya.
„Lapar ?” tanya pelayan itu sambil menoleh. „Pergi pulang, ibumu tentu telah memasakkan makanan yang le-zat…….!”
„Aku, tidak memiliki ibu…!. kata Ang-toa” sambil nyengir.
Pelayan itu mengerutkan alisnya, dia memang telah mengetahui siapa Ang-toa, sianak nakal yang selalu berlaku nekad jika keinginannya tidak diberikan. Tetapi beberapa kali dia pernah memberikan kepada Ang-toa, namun dirinya telah dicaci maki oleh majikannya, maka dia tidak berani memberikan lagi makanan untuk Ang-toa.
,,Engko Yang baik, ayo dong…aku sudah lapar sakali nih…!” dan hidung Ang-toa kembangkempis niencium masakan yang wangi dan lezat, perutnya semakin keruyukan.
,,Tetapi aku,tidak memiliki hak disini untuk memberikan engkau makanan, nanti aku dimarahkan majikanku.,.!” kata sipelayan.
„Mengapa engkau sekarang jadi demikian pelit, engko ?” tanya Ang-toa.
„Bukannya pelit, tetapi rumah makan ini bukan milikku…!”.
„Engko yang baik, engkau jangan begitu, aku sudah lapar sekali…!” kata. Ang-toa merengek.
Pelayan itu jadi habis sabar.
„Engko yang baik, ayo dong ……. aku sudah lapar sekali
nih……….. ” dan hidung Ang-toa kembang kempis mencium
masakan yang wangi dan lezat, perutnya semakin keruyukan.
„Ang-toa, pergilah kau, aku tengah sibuk melayani tamu-tamu…! Lihat, sudah ada tamu baru lagi…….!” dan dengan alasan akan menyambut tamu, pelayan itu bermaksud untuk masuk kedalam rumah makan agar tidak direweli Angtoa.
Tetapi Ang-toa telah menarik ujung bajunya, sambil katanya : „Engko, jika engkau tidak mau membagi makanan kepadaku, biar aku acak-acak rumah makan ini ….. ….!”
Sipelayan jadi kaget.
„Acak-acak?” tanyanya sambil memandang Ang-toa, akhirnya pelayan itu menghela napas. „Ang-toa, engkau jangan membawa lagak otak-otakan seperti itu. ….!”
Aku memang bisa mengerti keadaanmu, yang tidak memiliki uang untuk membeli makanan tetapi kawan-kawanku yang lain mana mau mengerti, mereka tentu akan me- ngambil tindakan keras jika engkau menimbulkan huru-hara didalam rumah makan ini…!”.
„Akh, perduli amat…… aku lapar, aku meminta cara baik-baik tidak diberikan, maka lebih baik aku merampas, atau mempergunakan kekerasan saja…….!” kata Ang-toa nekad.
Pelayan itu menghela napas dalam-dalam.
„Terserah kepadamu saja…!” dan setelah berkata begitu, sipelayan telah membalikkan diri dan memasuki ruangan dalam rumah makan.
Ang-toa melihat dia ditinggal begitu saja, telah melangkah masuk kedalam rumah makan. Tampak para tamu yang ramai sedang makan deagan masakan yang beraneka macam dan menyiarkan bau harum yang menusuk hidung Ang-toa, membuat hidung sibocah jadi kembang-kempis lagi. Dia berdiri sejenak ragu-ragu, tetapi kemudian menghampiri meja seorang tamu yang tengah menikmati hidangannya, terdiri dari ber- macam-macam sayur, ada ayam panggang, ada kuwah dengan lidah ayam, dan macam-macam sayur lainnya. Tetapi justru yang menarik hati Ang-toa adalah panggang ayam itu. Dia mengulurkan tangannya mengambil ayam panggang itu, sambil katanya : „Paman, bagi aku panggang ayamnya ya ?”.
Tamu itu yang berusia diantara tiga puluh tahun jadi terkejut dan menoleh. Lebih kaget lagi waktu dia melihat panggang ayamnya mulai . digrogoti Ang-toa.
„Oh, anak kurang ajar, pengemis tidak tahu diri !” berseru tamu itu. „Pelayan ! Pelayan ! Mana pelayan ! Hayo usir pengemis kurang ajar ini, selera makanku jadi menurun…!”.,
Tiga orang pelayan tergesa-gesa mendatangi, mereka berkata kepada Ang-toa dengan suara mengandung kemarahan : „Ang-toa, hayo keluar… jangan sampai kami yang melemparkan dirimu ! “.
Tempi Ang-toa tidak melayani ketiga orang pelayan itu, dia terus juga menggerogoti panggang ayamnya dengan nikmat sekali.
Ketiga orang pelayan itu jadi mendongkol, dua orang diantara mereka telah mengulurkan tangannya, mencekal lengan Ang-toa, lalu anak itu diangkatnya dan dilemparkan keluar rumah makan itu.
Tubuh Ang-toa terlempar bergulingan kejaIan, tetapi ayam panggang ditangannya tidak terlepas, begitu dia merangkak bangun, dia duduk, disamping pintu rumah makan dan meneruskan gerogotannya pada panggang ayam itu.
Sebentar saja, panggang ayam itu telah habis digerogotinya, hanya tinggal tulang-tulangnya saja.
Tetapi perut Ang-toa masih Iapar sekali, dia telah melangkah ingin memasuki ruang rumah makan itu lagi. Tetapi dua orang pelayan telah menghadang dan tidak membiarkan Ang–. toa masuk kedalarn ruang rumah makan itu.
„Perutku masih lapar nih……..!” kata Ang-toa jadi sengit dihadang begitu.
„Jika masih lapar, pergi engkau mencari uang untuk membeli makanan, jangan. seperti- sekarang seperti seorang perampok saja! Apakah engkau kira rumah makan ini milik ayah ibumu?”
„Aku sudah tidak memiliki ayah dan juga tidak memiliki ibu, aku anak yatim! Jika ayahku masih hidup, tentu aku juga tidak dihina seperti ini oleh kalian, karena aku akan memiliki uang dan menampari muka kalian dengan uang !” ejek Ang-toa.
Tetapi kedua pelayan itu tidak memperdulikan ejekan Ang-toa, mereka yang terpenting hanya menjaga anak ini jangan sampai bisa masuk kedalam rumah makan itu lagi.
Sedangkan Ang-wa merasakan perutnya masih berkeruyukan, maka dia melangkah terus untuk menerobos kedalam. Tetapi kedua pelayan itu tetap menghadangnya,’kedua lengan Ang-toa dicekal keras oleh kedua pelayan itu, dan dilemparkan keluar kembali.
Ang-toa masih terlalu kecil, usianya paling tidak delapan tahun. Sedangkan kedua pelayan itu bertubuh tinggi besar dan kuat, mana bisa Ang-toa melawannya ?
Tetapi dasarnya memang sangat nakal, Ang-toa tidak kenal takut. Begitu dilempar dan terguling ditanah, segera dia bangkit pula dan melangkah untuk masuk keruangan dalam rumah makan itu.
„Jika aku tidak diberikan makanan untuk mengenyangkan perutku ini, aku tetap akan masuk untuk mengacak-acak makanan para tamu…….” kata Ang-toa.
Tetapi kedua pelayan itu tidak memperdulikan ocehan anak itu, mereka selalu melemparkan tubuh Ang-toa setiap kali anak itu berusaha untuk masuk kedalam ruangan rumah makan itu.
Mereka memang memiliki tenaga yang kuat, maka Ang-toa selalu dapat ditemparkannya dengan mudah.
Ang-toa benar-benar tidak kenal takut, dia dilemparkan bergulingan, segera bangun dan melangkah lagi untuk masuk.
Keadaan seperti itu puluhan kali dilakukannya, sehingga kedua pelayan itu kewalahan juga, karena biarpun anak ini telah dilemparkan keras terbanting diatas tanah, tetap saja Ang-toa tidak kenal takut dan berusaha untuk masuk lagi.
Kedua pelayan itu setelah melemparkan Ang-toa sekian kalinya, telah saling pandang, salah seorang yang berdiri dikanan telah berkata : „Lebih baik anak ini diberikan saja sisa makanan yang tidak habis dilahap tamu, biar dia pergi saja…….. lama-lama jadi pusing kepalaku mengurusinya !”
Pelayan yang seorang lagi juga setuju dengan usul kawannya.
„Tunggu, aku akan mengambilkan makanan untukmu !” kata pelayan itu kepada Ang-toa.
„Oh engko yang baik hati, jadi kalian mau membagi makanan untukku ?” tanya Ang-toa.
„Ya, kau tunggu dulu…….. aku akan mengambilnya !” dan setelah berkata begitu, pelayan itu telah masuk kedalam sedangkan yang seorangnya lagi tetap berdiri menunggui pintu, sebab dia kuatir kalau-kalau nanti Ang-toa nekad masuk keruangan dalam lagi.
Tidak lama kemudian, tampak pelayan yang seorang itu telah membawa keluar sebungkus makanan yang campur-campur diberikan kepada Ang-toa.
Aag-toa menerima bungkusan makanan itu, dia membukanya, tetapi ketika melihat yang terbungkus itu adalah sisa makanan yang campur aduk dia jadi mendongkol, tahu-tahu bungkusan makanan itu telah dilontarkian kemuka pelayan itu, sehingga muka sipelayan jadi terbentur makanan itu yang berantakan kelantai.
„Engkau kira aku pengemis diberikan makanan sisa yang campur aduk seperti itu?” kata Ang-toa.
Sedangkan sipelayan yang mukanya penuh dengan nasi dan minyak sayur, telah habis kesabarannya. Tahu-tahu dia telah menggerakkan tangan kanannya menghantam muka Ang-toa.
„Bukk…….!” muka Aag-toa telah dipukulnya keras dan tubuh anak itu terjungkel kebelakang, kepalanya menghantam batu undakan anak tangga sehingga benjol seketika itu juga.
Tetapi Ang-toa tidak menjerit sama sekali, walaupun matanya masih berkunang-kunang, dia telah bangkit dan melangkah untuk masuk pula.
„Kalian minggir, biar aku saja yang mengambilnya sendiri !” seru Ang-toa dengan mata yang masih nanar, dia nekad sekali.
„Bukk,,,,!” kembali pelayan itu telah menghantam bahunya, sampai Ang-toa terguling-guling lagi.
„Engkau tidak mau pergi, biar kuhajar sampai kau mampus !” ancam pelayan itu dengan mendongkol sebab mukanya jadi kotor oleh, segala macam sayur. Sedangkan pelayan yang satunya hanya berdiri tertegun melihat kenekadan Ang-toa. Diam-diam didalam hatinya dia bersyukur bahwa tadi Ang-toa bukan melemparkan bungkusan sayur itu kepadanya, sehingga mukanya tidak perlu berlepotan minyak seperti kawannya itu.
Ang-toa tidak memperdulikan ancaman sipelayan, tahu-tahu dia telah menyeruduk dengan kepalanya, sehingga pelayan itu terjungkel, dan Ang-toa dengan mempergunakan kesempatan itu telah cepat-cepat melangkah masuk. Dia melihat disebelah kanan dari meja pertama, bertumpuk makanan bermacam-macam dan tampak dua orang tengah menikmatinya. Dengan gesit Ang-toa telah menyambar sepotong ayam panggang, dan semangkok sayur kuah.
Dia juga telah menyambar semangkok nasi, kemudian memutar tubuhnya untuk keluar. Sambil menggerogoti panggang ayam, Ang-toa meninggalkan rumah makan itu.
Kedua pelayan itu jadi berdiri bengong saja, mereka jadi takjub melihat kenakalan anak itu, yang telah dibanting, dipukul, tetapi tetap mengacak makanan tamu ! Sedangkan beberapa orang pelayan diruangan dalam telah cepat-cepat menggantikan makanan tar,nu yang tadi diambil oleh Ang-toa. Sedangkan kedua orang tamu itu hanya saling pandang, kemudian mengomel seorang diri karena sengit makanan mereka telah diambil oleh seorang anak lelaki seperti pengemis itu.
Sedangkan kasir rumah makan itu telah marah-marah dan mencaci maki kedua pelayan yang dikatakannya bodoh seperti kerbau, menghadapi seorang anak kecil seperti Ang-toa saja mereka tidak sanggup !
Pelayan yang seorangnya, yang mukanya kena ditimpuk dengan bungkusan sayur, telah menggumam dalam hatinya dengan mendongkol : „Kau tidak tahu saja anak itu anak sinting, jika engkau yang menghadapinya mungkin telah muntah darah, karena mendongkol……!” tetapi pelayan tersebut jelas tidak berani mengutarakan pikirannya itu. Dia telah ngeloyor masuk tanpa memberikan komentar apa-apa terhadap makian kasir tersebut.
Ang-toa sambil menggerogoti ayam panggangnya telah menyusuri jalan itu, dia telah memakan juga kuwah sayur itu dan-kemudian berhenti dibawah sebatang pohon untuk memakan nasinya. Akhirnya dia merasakan perutnya telah kenyang, sambil mengusap-usap perutnya yang menjadi buncit, Ang-toa telah melemparkan mangkok nasi dan sayur kuwah itu seenaknya saja, dia merebahkan dirinya dibawah pohon itu, untuk tidur !
Tetapi Ang-toa belum tidur terlalu lama, tahu-tahu pinggulnya ditendang seseorang, sampai Ang-toa terbangun dengan terkejut.
„Anak manis, mengapa engkau tidur di jalanan seperti itu ?” tanya seseorang.
Ang-toa mengucek-ucek matanya, dia melihat seorang pengemis berusia lanjut, mungkin lima puluh tahun, tengah berdiri mengawasinya.
„Hei kakek pengemis kurang ajar ! Mengapa engkau mengganggu tidurku ? Aku tidur disini apa halangannya denganmu, tokh tidak merugikan dirimu.
Ditegur begitu oleh Ang-toa, pengemis tua tersebut telah tersenyum sabar.
„Engkau tidak pantas dalam usia demikian muda harus terlunta-lunta seperti ini !
Mengapa engkau tidak pulang kerumah orang tuamu ?”
„Aku tidak memiliki ayah !”
„Dan ibumu ?”.
„Juga aku tidak memiliki ibu ! Sudah engkau jangan rewel, kakek pengemis aku masih mengantuk ingin menyambung tidurku…!” dan setelah berkata begitu, Ang-toa telah memejamkan malanya lagi, dia telah meringkuk untuk mereruskan tidurnya.
Tetapi pengemis tua itu sambil tersenyum telah mengayunkan kakinya lagi menendang pinggul Ang-toa, smpai Ang-toa melompat saking sengitnya.
„Mengapa engkau masih terus menggangguku ?” tegurnya dengan suara mendongkol.
„Aku bukan bermaksud mengganggumu, tetapi aku masih ingin menyampaikan pertanyaan kepadamu !”
„Pertanyaan apa ?”. tanya Ang-toa tambah sengit.
„Apakah tidak bisa nanti setelah aku bangun tidur…! “.
„Aduh, anak ini benar-benar galak sekali”, mengoceh pengemis tua itu.
„Apakah engkau melihat pakaianku seperti pengemis ini sehingga engkau berlaku galak seperti itu.
Aku mau tidur, kau dengar tidak? Aku mau tidur !!” teriak Ang-toa dengan suara keras karena dia benar-benar sangat mendongkol, apa lagi matanya memang sangat mengantuk sekali.
„Jika engkau mengantuk, tidurlah…!” kata pengemis tua itu sabar, sambil senyum-senyum mengawasi.. Ang-toa.
Tetapi Ang-toa sudah menggelengkan kepalanya.
„Tidurku telah gagal! Sekarang engkau katakan, pertanyaan apa yang ingin engkau tanyakan…?” tanya Ang-toa sambil mengawasi pengemis itu dengan sengit.
„Aku ingin bertanya kepadamu, apakah perutmu telah kenyang makan makanan yang kau rampas tadi ?” tanya sipengemis itu.
„Kau ?” tanya Ang-toa sambil mementang kedua matanya lebar-lebar.
„Kau tadi menyaksikan aku mengambil secara paksa makanan dirumah makan itu?”
„Ya, aku melihatnya…!” mengangguk sipengemis.
„Dan aku sekarang bertanya kenyangkah makanmu ?”
„Jika sudah kenapa ? Jika belum kenapa pula ?” tanya Ang-toa otak-otakan.
„Jika sudah kenyang, ya sudah…… tetapi jika engkau belum kenyang, aku masih menyimpan sedikit makanan……!” sambil berkata begitu sipengemis tua tersebut telah mengeluarkan dari sakunya sepotoag panggang bebek yang digerogotinya.
„Engkau mau tidak makanan ini ?” sambil mengunyah dia telah bertanya.
Ang-toa mengawasi panggang bebek yang telah semplak kena digrogoti oleh pengemis itu, dia berdiam diri sejenak.
„Engkau mengiler ?” tanya sipengemis.
Ang-toa menggelengkan kepalanya, dia bilang: „Tidak….! Tidak…..! Aku sudah kenyang”.
„Engkau jijik melihat-panggang bebekku ini ?” tanya sipengemis tua itu.
Ang-toa tidak menyahuti, dia hanya mengawasi panggang bebek ditangan pengemis itu.
„Katakan terus terang, engkau jijik atau tidak melihat, panggang bebekku ini?” tanya sipengemis tua itu lagi dengan suara mendesak.
Akhirnya Ang-toa mengangguk juga. „Apakah tidak kotor ditaruh dalam saku bajumu ?” tanya Ang-toa untuk mengalihkan persoalan.
„Hemm……, justru aku mengambil panggang bebek ini begitu selesai dimasak, tidak seperti engkau bersusah payah hanya dapat sedikit saja dari panggang ayam!
Itupun harus dibanting-banting dulu dirimu, dan engkau juga kena dipukul beberapa kali…!”.
Muka Ang-toa jadi merah.
„Engkau mengambil sendiri, aku juga mengambil sendirl” makanan yang kukeheadaki! sahut Ang-toa tidak mau kalah.
.„Ya, tetapi aku mengambil sendiri tanpa dipukul, sedangkan engkau mengambil sendiri tetapi kenyang dipukul dan dibanting…….!”
„Tetapi yang terpenting akhirnya aku bisa memperoleh makanan yang kuingini…!” menyahuti Ang-toa. „Lagi pula aku masih kecil, sedangkan engkau telah tua….. tentu saja aku tidak memiliki tenaga untuk menghadapi pelayan-pelayan itu……!”
Mendengar perkataan seperti itu, sipengemis tertegun.
„Tunggu nanti kalau aku sudah besar, aku tentu mengambil sendiri tanpa perlu dipukul dulu oleh pelayan-pelayan jahat itu……!”
„Hemm……, belum tentu! Jika engkau dikeroyok empat atau lima orang pelayan, tentu mukamu akan bengkak dan babak belur dulu, baru bisa memperoleh makanan yang kau ingini” kata sipengemis tua itu sambil senyum.
„Sedangkan aku tidak terkena pukul sama sekali ! Bahkan para pelayan itu sendiri tidak mengetahui bahwa makanan mereka telah berkurang dicuri olehku.
„Engkau memperoleh panggang bebek itu dengan mencuri ? Ciss…..!, aku justru, tidak mau menjadi pencuri, jika aku miau tentu aku akan memberitahukan mereka secara berterus terang, dan akupun akan mengambilnya didepan mata mereka !” .
„Sungguh kata-kata yang bersemangat sekali!” kata pengemis tua itu sambil tersenyum.
„Sekarang apa lagi yang hendak kau tanyakan ? Jika telah selesai, aku mau melanjutkan .tidurku……!” kata Ang-toa.
„Jika memang benar engkau bermaksud untuk tidur, tidurlah, mengapa engkau tidak mau tidur ?”membaliki bertanya sipengemis.
„Hemm……, tentu saja aku tidak bisa tidur karena digoda oleh engkau terus menerus…..!”
Mendengar perkataan itu, sipengemis tua itupun telah tersenyum sambil duduk dibalik batang pohon yang satunya.
„Eh, engkau juga mau tidur disitu ?” tanya Ang-toa agak kaget.
„Benar ! Kenapa ? Pohon ini bukan milikmu !” kata sipengemis itu.
„Tetapi… tetapi….” Ang-toa tidak bisa meneruskan perkataannya, dia hanya memgawasi sipengemis dengan sorot mata yang tajam, seperti juga anak itu tengah memikirkan sesuatu.
„Kenapa tetapi-tetapian begitu?” tanya sipengemis lagi.
„Jika aku tidur disini bersama-sama dengan engkau, nanti orang-orang mengira……. mengira aku ini……..”
„Menduga engkau pengemis juga?” tanya sipengemis tua itu memutusi perkataan Ang-toa.
Ang-toa telah berobah mukanya menjadi merah, karena isi hatinya telah diterka tepat sekali oleh pengemis tua tersebut.
„Benar !” sahutnya kemudian.
„Jika memang engkau ingin tidur disitu, biarlah aku pindah ketempat lain lagi !”.
„Hemm……,” sipengemis telah tertawa dingin, dia bilang: „Dengan engkau tidur dibawah pohon ini, dan pakaianmu yang kotor itu, sudah jelas orang akan menduga engkau sebagai pengemis kecil !”
Ang-toa tertegun, dan didalam hatinya dia mengakui kebenaran perkataan pengemis tua itu.
„Tetapi yang jelas aku bukan pengemis !” kata Ang-toa kemudian.
„Biarpun engkau berkata begitu seribu kali, tetapi. dengan keadaanmu yang mesum seperti itu dan lagakmu yang urakan, tentu engkau akan dianggap sebagai pengemis !
Aku berani bertaruh, bahwa engkau bukan manusia yang mudah menerima tuduhan orang, tetapi kepada siapa saja engkau bertanya, tentu mereka pertama-tama akan menduga engkau sebagai pengemis !”.
Ang-toa merasakan dia tidak mungkin menang bicara dengan pengemis tua itu, dia telah membalikkan tubuhnya, maksudnya untuk meninggalkan pengemis tua itu.
„Tunggu dulu, engkau jangan pergi dulu !” kata sipengemis.
Ang-toa jadi menahan kakinya, dia telah bilang: „Apa lagi yang engkau hendak katakan ?.”
„Aku ingin mengajak engkau untuk menjadi sahabatku ! Jangan takut, soal makan…… aku yang jamin engkau tidak akan lapar lagi………!”
Ang-toa jadi berdiri mematung. Dia mengawasi pengemis tua itu, dan pakaiannya yang penauh tambalan. Tetapi akhirnya Ang-toa berpikir didalam hatinya: „Lebih baik aku bersahabat dengan dia, bukankah aku tidak mempunyai ayah ibu lagi dan juga tidak memiliki rumah ? Memang benar apa yang dikatakan pengemis tua itu, jika dia mau menjamin makanan untukku, apa salahnya ?.”
Setelah berpikir begitu, Ang-toa berkata ragu-ragu.
„Tetapi aku tidak mau jika dibenkan makanan sisa……”
„Oh tentu saja tidak! Aku akan mengambilnya langsung dari dapur setiap rumah makan…….! Engkau tentu akan merasakan, betapa nikmat menjadi sahabatku…….!”
„Baiklah, aku mau bersahabat dengan kau…….!” kata Ang-toa sambil menganggukkan kepalanya.
Sipengemis tua itu tampaknya jadi girang, dia sampai melompat bangun.
„Nih kau terima dulu bebek panggang !” katanya sambil merogoh sakunya, dia telah mengeluarkan bebek panggang yang bulat, dan masih mengeluarkan asap yang cukup hangat ! Ang-toa jadi heran, ragu-ragu dia. mengulurkan tangananya dan dia merasakan bebek panggang itu masih hangat, maka dia percaya perkataan sipengemis tua bahwa dia mengambil langsung dari dapur rumah makan waktu bebek panggang itu baru matang.
Tanpa ragu-ragu lagi Ang-toa telah menggerogoti bebek panggang itu, dia telah mengunyah sambil bertanya : „Aku heran bagaimana caramu mengambil bebek panggang ini ?”
„Aku memiliki caraku sendiri, jika kelak engkau telah benar-benar menjadi sahabatku dan mau melakukan perjalanan bersamaku, maka aku akan mengajari engkau untuk mengambil makanan yang engkau ingini tanpa diketahui, oleh orang yang empunya…!”. . Tetapi Ang-toa telah menggelengkan kepa lanya.
„Tadi aku mengatakan mau bersahabat denganmu, bukan berarti aku bersedia melakukan perjalanan bersama-sama dengan engkau !”.
„Engkau tidak tertarik untuk mempelajari ilmu mengambil makanan tanpa diketahui pemiliknya ?” tanya pengemis tua itu.
Ang-toa, menggelengkan kepalanya.
„Sayang sekali aku tidak memiliki cita-cita untuk menjadi pencuri…!” menyahuti’ Ang-toa.
„Bukannya maling, tetapi engkau bisa memiliki kepandaian mengambil barang makanan yang kau ingini itu tanpa diketahui yang punya, bukankah lebih enak jika dibandingkan harus dipukuli dulu baru memperoleh?”
„Sudahlah, aku memang mau bersahabat dengan kau, tetapi jangan engkau memaksa aku untuk melakukan perjalanan denganmu !”
Sipengemis tua itu telah tersenyum, dia mengangguk-angguk saja.
Sedangkan Ang-toa setelah selesai menggeragoti panggang bebek itu, telah bangun berdiri, katanya: „Terima kasih atas pemberianmu itu, mudah-mudahan nanti kita bisa bertemu lagi.
Pengemis tua itu tidak terlalu memaksa lagi, dia hanya mengangguk mengiyakan.
Diawasinya Ang-toa yang sedapg melanagkah pergi.
„Seorang anak beradat keras dan memiliki bakat yang baik……!” menggumam pengemis tua itu dengan sikap yang bersungguh-sungguh, lalu dia menghela napas.
Waktu itulah Ang-toa merasakan perutnya keruyukan, dia telah lapar. Maka berlari -larilah Ang-toa – kedalam kota, sambil berlari dia mengoceh membawakan lagunya yang jenaka itu, “si kuda lari”. Sedangkan tangan kanannya juga melemparkan sebutir demi sebutir kelereng yang dimenangkannya kejalanan, sampai akhirnya sakunya telah kosong kembali. Dia berhenti dimuka sebuah rumah makan, yang memasang merek “Kwan Lui Tang”, dimana tamu yang mengunjungi rumah makan ini ramai sekali. Dimuka pin-tu tampak berdiri seorang pelayan yang khusus untuk menerima tamu-taw.u yang baru datang.
Ang-toa telah menghampiri pelayan itu..
„Engko yang baik, perutku lapar sekali…….!” kata Ang-toa sambil tepuk-tepuk perutnya.
„Lapar ?” tanya pelayan itu sambil menoleh. „Pergi pulang, ibumu tentu telah memasakkan makanan yang le-zat…….!”
„Aku, tidak memiliki ibu…!. kata Ang-toa” sambil nyengir.
Pelayan itu mengerutkan alisnya, dia memang telah mengetahui siapa Ang-toa, sianak nakal yang selalu berlaku nekad jika keinginannya tidak diberikan. Tetapi beberapa kali dia pernah memberikan kepada Ang-toa, namun dirinya telah dicaci maki oleh majikannya, maka dia tidak berani memberikan lagi makanan untuk Ang-toa.
,,Engko Yang baik, ayo dong…aku sudah lapar sakali nih…!” dan hidung Ang-toa kembangkempis niencium masakan yang wangi dan lezat, perutnya semakin keruyukan.
,,Tetapi aku,tidak memiliki hak disini untuk memberikan engkau makanan, nanti aku dimarahkan majikanku.,.!” kata sipelayan.
„Mengapa engkau sekarang jadi demikian pelit, engko ?” tanya Ang-toa.
„Bukannya pelit, tetapi rumah makan ini bukan milikku…!”.
„Engko yang baik, engkau jangan begitu, aku sudah lapar sekali…!” kata. Ang-toa merengek.
Pelayan itu jadi habis sabar.
„Engko yang baik, ayo dong ……. aku sudah lapar sekali
nih……….. ” dan hidung Ang-toa kembang kempis mencium
masakan yang wangi dan lezat, perutnya semakin keruyukan.
„Ang-toa, pergilah kau, aku tengah sibuk melayani tamu-tamu…! Lihat, sudah ada tamu baru lagi…….!” dan dengan alasan akan menyambut tamu, pelayan itu bermaksud untuk masuk kedalam rumah makan agar tidak direweli Angtoa.
Tetapi Ang-toa telah menarik ujung bajunya, sambil katanya : „Engko, jika engkau tidak mau membagi makanan kepadaku, biar aku acak-acak rumah makan ini ….. ….!”
Sipelayan jadi kaget.
„Acak-acak?” tanyanya sambil memandang Ang-toa, akhirnya pelayan itu menghela napas. „Ang-toa, engkau jangan membawa lagak otak-otakan seperti itu. ….!”
Aku memang bisa mengerti keadaanmu, yang tidak memiliki uang untuk membeli makanan tetapi kawan-kawanku yang lain mana mau mengerti, mereka tentu akan me- ngambil tindakan keras jika engkau menimbulkan huru-hara didalam rumah makan ini…!”.
„Akh, perduli amat…… aku lapar, aku meminta cara baik-baik tidak diberikan, maka lebih baik aku merampas, atau mempergunakan kekerasan saja…….!” kata Ang-toa nekad.
Pelayan itu menghela napas dalam-dalam.
„Terserah kepadamu saja…!” dan setelah berkata begitu, sipelayan telah membalikkan diri dan memasuki ruangan dalam rumah makan.
Ang-toa melihat dia ditinggal begitu saja, telah melangkah masuk kedalam rumah makan. Tampak para tamu yang ramai sedang makan deagan masakan yang beraneka macam dan menyiarkan bau harum yang menusuk hidung Ang-toa, membuat hidung sibocah jadi kembang-kempis lagi. Dia berdiri sejenak ragu-ragu, tetapi kemudian menghampiri meja seorang tamu yang tengah menikmati hidangannya, terdiri dari ber- macam-macam sayur, ada ayam panggang, ada kuwah dengan lidah ayam, dan macam-macam sayur lainnya. Tetapi justru yang menarik hati Ang-toa adalah panggang ayam itu. Dia mengulurkan tangannya mengambil ayam panggang itu, sambil katanya : „Paman, bagi aku panggang ayamnya ya ?”.
Tamu itu yang berusia diantara tiga puluh tahun jadi terkejut dan menoleh. Lebih kaget lagi waktu dia melihat panggang ayamnya mulai . digrogoti Ang-toa.
„Oh, anak kurang ajar, pengemis tidak tahu diri !” berseru tamu itu. „Pelayan ! Pelayan ! Mana pelayan ! Hayo usir pengemis kurang ajar ini, selera makanku jadi menurun…!”.,
Tiga orang pelayan tergesa-gesa mendatangi, mereka berkata kepada Ang-toa dengan suara mengandung kemarahan : „Ang-toa, hayo keluar… jangan sampai kami yang melemparkan dirimu ! “.
Tempi Ang-toa tidak melayani ketiga orang pelayan itu, dia terus juga menggerogoti panggang ayamnya dengan nikmat sekali.
Ketiga orang pelayan itu jadi mendongkol, dua orang diantara mereka telah mengulurkan tangannya, mencekal lengan Ang-toa, lalu anak itu diangkatnya dan dilemparkan keluar rumah makan itu.
Tubuh Ang-toa terlempar bergulingan kejaIan, tetapi ayam panggang ditangannya tidak terlepas, begitu dia merangkak bangun, dia duduk, disamping pintu rumah makan dan meneruskan gerogotannya pada panggang ayam itu.
Sebentar saja, panggang ayam itu telah habis digerogotinya, hanya tinggal tulang-tulangnya saja.
Tetapi perut Ang-toa masih Iapar sekali, dia telah melangkah ingin memasuki ruang rumah makan itu lagi. Tetapi dua orang pelayan telah menghadang dan tidak membiarkan Ang–. toa masuk kedalarn ruang rumah makan itu.
„Perutku masih lapar nih……..!” kata Ang-toa jadi sengit dihadang begitu.
„Jika masih lapar, pergi engkau mencari uang untuk membeli makanan, jangan. seperti- sekarang seperti seorang perampok saja! Apakah engkau kira rumah makan ini milik ayah ibumu?”
„Aku sudah tidak memiliki ayah dan juga tidak memiliki ibu, aku anak yatim! Jika ayahku masih hidup, tentu aku juga tidak dihina seperti ini oleh kalian, karena aku akan memiliki uang dan menampari muka kalian dengan uang !” ejek Ang-toa.
Tetapi kedua pelayan itu tidak memperdulikan ejekan Ang-toa, mereka yang terpenting hanya menjaga anak ini jangan sampai bisa masuk kedalam rumah makan itu lagi.
Sedangkan Ang-wa merasakan perutnya masih berkeruyukan, maka dia melangkah terus untuk menerobos kedalam. Tetapi kedua pelayan itu tetap menghadangnya,’kedua lengan Ang-toa dicekal keras oleh kedua pelayan itu, dan dilemparkan keluar kembali.
Ang-toa masih terlalu kecil, usianya paling tidak delapan tahun. Sedangkan kedua pelayan itu bertubuh tinggi besar dan kuat, mana bisa Ang-toa melawannya ?
Tetapi dasarnya memang sangat nakal, Ang-toa tidak kenal takut. Begitu dilempar dan terguling ditanah, segera dia bangkit pula dan melangkah untuk masuk keruangan dalam rumah makan itu.
„Jika aku tidak diberikan makanan untuk mengenyangkan perutku ini, aku tetap akan masuk untuk mengacak-acak makanan para tamu…….” kata Ang-toa.
Tetapi kedua pelayan itu tidak memperdulikan ocehan anak itu, mereka selalu melemparkan tubuh Ang-toa setiap kali anak itu berusaha untuk masuk kedalam ruangan rumah makan itu.
Mereka memang memiliki tenaga yang kuat, maka Ang-toa selalu dapat ditemparkannya dengan mudah.
Ang-toa benar-benar tidak kenal takut, dia dilemparkan bergulingan, segera bangun dan melangkah lagi untuk masuk.
Keadaan seperti itu puluhan kali dilakukannya, sehingga kedua pelayan itu kewalahan juga, karena biarpun anak ini telah dilemparkan keras terbanting diatas tanah, tetap saja Ang-toa tidak kenal takut dan berusaha untuk masuk lagi.
Kedua pelayan itu setelah melemparkan Ang-toa sekian kalinya, telah saling pandang, salah seorang yang berdiri dikanan telah berkata : „Lebih baik anak ini diberikan saja sisa makanan yang tidak habis dilahap tamu, biar dia pergi saja…….. lama-lama jadi pusing kepalaku mengurusinya !”
Pelayan yang seorang lagi juga setuju dengan usul kawannya.
„Tunggu, aku akan mengambilkan makanan untukmu !” kata pelayan itu kepada Ang-toa.
„Oh engko yang baik hati, jadi kalian mau membagi makanan untukku ?” tanya Ang-toa.
„Ya, kau tunggu dulu…….. aku akan mengambilnya !” dan setelah berkata begitu, pelayan itu telah masuk kedalam sedangkan yang seorangnya lagi tetap berdiri menunggui pintu, sebab dia kuatir kalau-kalau nanti Ang-toa nekad masuk keruangan dalam lagi.
Tidak lama kemudian, tampak pelayan yang seorang itu telah membawa keluar sebungkus makanan yang campur-campur diberikan kepada Ang-toa.
Aag-toa menerima bungkusan makanan itu, dia membukanya, tetapi ketika melihat yang terbungkus itu adalah sisa makanan yang campur aduk dia jadi mendongkol, tahu-tahu bungkusan makanan itu telah dilontarkian kemuka pelayan itu, sehingga muka sipelayan jadi terbentur makanan itu yang berantakan kelantai.
„Engkau kira aku pengemis diberikan makanan sisa yang campur aduk seperti itu?” kata Ang-toa.
Sedangkan sipelayan yang mukanya penuh dengan nasi dan minyak sayur, telah habis kesabarannya. Tahu-tahu dia telah menggerakkan tangan kanannya menghantam muka Ang-toa.
„Bukk…….!” muka Aag-toa telah dipukulnya keras dan tubuh anak itu terjungkel kebelakang, kepalanya menghantam batu undakan anak tangga sehingga benjol seketika itu juga.
Tetapi Ang-toa tidak menjerit sama sekali, walaupun matanya masih berkunang-kunang, dia telah bangkit dan melangkah untuk masuk pula.
„Kalian minggir, biar aku saja yang mengambilnya sendiri !” seru Ang-toa dengan mata yang masih nanar, dia nekad sekali.
„Bukk,,,,!” kembali pelayan itu telah menghantam bahunya, sampai Ang-toa terguling-guling lagi.
„Engkau tidak mau pergi, biar kuhajar sampai kau mampus !” ancam pelayan itu dengan mendongkol sebab mukanya jadi kotor oleh, segala macam sayur. Sedangkan pelayan yang satunya hanya berdiri tertegun melihat kenekadan Ang-toa. Diam-diam didalam hatinya dia bersyukur bahwa tadi Ang-toa bukan melemparkan bungkusan sayur itu kepadanya, sehingga mukanya tidak perlu berlepotan minyak seperti kawannya itu.
Ang-toa tidak memperdulikan ancaman sipelayan, tahu-tahu dia telah menyeruduk dengan kepalanya, sehingga pelayan itu terjungkel, dan Ang-toa dengan mempergunakan kesempatan itu telah cepat-cepat melangkah masuk. Dia melihat disebelah kanan dari meja pertama, bertumpuk makanan bermacam-macam dan tampak dua orang tengah menikmatinya. Dengan gesit Ang-toa telah menyambar sepotong ayam panggang, dan semangkok sayur kuah.
Dia juga telah menyambar semangkok nasi, kemudian memutar tubuhnya untuk keluar. Sambil menggerogoti panggang ayam, Ang-toa meninggalkan rumah makan itu.
Kedua pelayan itu jadi berdiri bengong saja, mereka jadi takjub melihat kenakalan anak itu, yang telah dibanting, dipukul, tetapi tetap mengacak makanan tamu ! Sedangkan beberapa orang pelayan diruangan dalam telah cepat-cepat menggantikan makanan tar,nu yang tadi diambil oleh Ang-toa. Sedangkan kedua orang tamu itu hanya saling pandang, kemudian mengomel seorang diri karena sengit makanan mereka telah diambil oleh seorang anak lelaki seperti pengemis itu.
Sedangkan kasir rumah makan itu telah marah-marah dan mencaci maki kedua pelayan yang dikatakannya bodoh seperti kerbau, menghadapi seorang anak kecil seperti Ang-toa saja mereka tidak sanggup !
Pelayan yang seorangnya, yang mukanya kena ditimpuk dengan bungkusan sayur, telah menggumam dalam hatinya dengan mendongkol : „Kau tidak tahu saja anak itu anak sinting, jika engkau yang menghadapinya mungkin telah muntah darah, karena mendongkol……!” tetapi pelayan tersebut jelas tidak berani mengutarakan pikirannya itu. Dia telah ngeloyor masuk tanpa memberikan komentar apa-apa terhadap makian kasir tersebut.
Ang-toa sambil menggerogoti ayam panggangnya telah menyusuri jalan itu, dia telah memakan juga kuwah sayur itu dan-kemudian berhenti dibawah sebatang pohon untuk memakan nasinya. Akhirnya dia merasakan perutnya telah kenyang, sambil mengusap-usap perutnya yang menjadi buncit, Ang-toa telah melemparkan mangkok nasi dan sayur kuwah itu seenaknya saja, dia merebahkan dirinya dibawah pohon itu, untuk tidur !
Tetapi Ang-toa belum tidur terlalu lama, tahu-tahu pinggulnya ditendang seseorang, sampai Ang-toa terbangun dengan terkejut.
„Anak manis, mengapa engkau tidur di jalanan seperti itu ?” tanya seseorang.
Ang-toa mengucek-ucek matanya, dia melihat seorang pengemis berusia lanjut, mungkin lima puluh tahun, tengah berdiri mengawasinya.
„Hei kakek pengemis kurang ajar ! Mengapa engkau mengganggu tidurku ? Aku tidur disini apa halangannya denganmu, tokh tidak merugikan dirimu.
Ditegur begitu oleh Ang-toa, pengemis tua tersebut telah tersenyum sabar.
„Engkau tidak pantas dalam usia demikian muda harus terlunta-lunta seperti ini !
Mengapa engkau tidak pulang kerumah orang tuamu ?”
„Aku tidak memiliki ayah !”
„Dan ibumu ?”.
„Juga aku tidak memiliki ibu ! Sudah engkau jangan rewel, kakek pengemis aku masih mengantuk ingin menyambung tidurku…!” dan setelah berkata begitu, Ang-toa telah memejamkan malanya lagi, dia telah meringkuk untuk mereruskan tidurnya.
Tetapi pengemis tua itu sambil tersenyum telah mengayunkan kakinya lagi menendang pinggul Ang-toa, smpai Ang-toa melompat saking sengitnya.
„Mengapa engkau masih terus menggangguku ?” tegurnya dengan suara mendongkol.
„Aku bukan bermaksud mengganggumu, tetapi aku masih ingin menyampaikan pertanyaan kepadamu !”
„Pertanyaan apa ?”. tanya Ang-toa tambah sengit.
„Apakah tidak bisa nanti setelah aku bangun tidur…! “.
„Aduh, anak ini benar-benar galak sekali”, mengoceh pengemis tua itu.
„Apakah engkau melihat pakaianku seperti pengemis ini sehingga engkau berlaku galak seperti itu.
Aku mau tidur, kau dengar tidak? Aku mau tidur !!” teriak Ang-toa dengan suara keras karena dia benar-benar sangat mendongkol, apa lagi matanya memang sangat mengantuk sekali.
„Jika engkau mengantuk, tidurlah…!” kata pengemis tua itu sabar, sambil senyum-senyum mengawasi.. Ang-toa.
Tetapi Ang-toa sudah menggelengkan kepalanya.
„Tidurku telah gagal! Sekarang engkau katakan, pertanyaan apa yang ingin engkau tanyakan…?” tanya Ang-toa sambil mengawasi pengemis itu dengan sengit.
„Aku ingin bertanya kepadamu, apakah perutmu telah kenyang makan makanan yang kau rampas tadi ?” tanya sipengemis itu.
„Kau ?” tanya Ang-toa sambil mementang kedua matanya lebar-lebar.
„Kau tadi menyaksikan aku mengambil secara paksa makanan dirumah makan itu?”
„Ya, aku melihatnya…!” mengangguk sipengemis.
„Dan aku sekarang bertanya kenyangkah makanmu ?”
„Jika sudah kenapa ? Jika belum kenapa pula ?” tanya Ang-toa otak-otakan.
„Jika sudah kenyang, ya sudah…… tetapi jika engkau belum kenyang, aku masih menyimpan sedikit makanan……!” sambil berkata begitu sipengemis tua tersebut telah mengeluarkan dari sakunya sepotoag panggang bebek yang digerogotinya.
„Engkau mau tidak makanan ini ?” sambil mengunyah dia telah bertanya.
Ang-toa mengawasi panggang bebek yang telah semplak kena digrogoti oleh pengemis itu, dia berdiam diri sejenak.
„Engkau mengiler ?” tanya sipengemis.
Ang-toa menggelengkan kepalanya, dia bilang: „Tidak….! Tidak…..! Aku sudah kenyang”.
„Engkau jijik melihat-panggang bebekku ini ?” tanya sipengemis tua itu.
Ang-toa tidak menyahuti, dia hanya mengawasi panggang bebek ditangan pengemis itu.
„Katakan terus terang, engkau jijik atau tidak melihat, panggang bebekku ini?” tanya sipengemis tua itu lagi dengan suara mendesak.
Akhirnya Ang-toa mengangguk juga. „Apakah tidak kotor ditaruh dalam saku bajumu ?” tanya Ang-toa untuk mengalihkan persoalan.
„Hemm……, justru aku mengambil panggang bebek ini begitu selesai dimasak, tidak seperti engkau bersusah payah hanya dapat sedikit saja dari panggang ayam!
Itupun harus dibanting-banting dulu dirimu, dan engkau juga kena dipukul beberapa kali…!”.
Muka Ang-toa jadi merah.
„Engkau mengambil sendiri, aku juga mengambil sendirl” makanan yang kukeheadaki! sahut Ang-toa tidak mau kalah.
.„Ya, tetapi aku mengambil sendiri tanpa dipukul, sedangkan engkau mengambil sendiri tetapi kenyang dipukul dan dibanting…….!”
„Tetapi yang terpenting akhirnya aku bisa memperoleh makanan yang kuingini…!” menyahuti Ang-toa. „Lagi pula aku masih kecil, sedangkan engkau telah tua….. tentu saja aku tidak memiliki tenaga untuk menghadapi pelayan-pelayan itu……!”
Mendengar perkataan seperti itu, sipengemis tertegun.
„Tunggu nanti kalau aku sudah besar, aku tentu mengambil sendiri tanpa perlu dipukul dulu oleh pelayan-pelayan jahat itu……!”
„Hemm……, belum tentu! Jika engkau dikeroyok empat atau lima orang pelayan, tentu mukamu akan bengkak dan babak belur dulu, baru bisa memperoleh makanan yang kau ingini” kata sipengemis tua itu sambil senyum.
„Sedangkan aku tidak terkena pukul sama sekali ! Bahkan para pelayan itu sendiri tidak mengetahui bahwa makanan mereka telah berkurang dicuri olehku.
„Engkau memperoleh panggang bebek itu dengan mencuri ? Ciss…..!, aku justru, tidak mau menjadi pencuri, jika aku miau tentu aku akan memberitahukan mereka secara berterus terang, dan akupun akan mengambilnya didepan mata mereka !” .
„Sungguh kata-kata yang bersemangat sekali!” kata pengemis tua itu sambil tersenyum.
„Sekarang apa lagi yang hendak kau tanyakan ? Jika telah selesai, aku mau melanjutkan .tidurku……!” kata Ang-toa.
„Jika memang benar engkau bermaksud untuk tidur, tidurlah, mengapa engkau tidak mau tidur ?”membaliki bertanya sipengemis.
„Hemm……, tentu saja aku tidak bisa tidur karena digoda oleh engkau terus menerus…..!”
Mendengar perkataan itu, sipengemis tua itupun telah tersenyum sambil duduk dibalik batang pohon yang satunya.
„Eh, engkau juga mau tidur disitu ?” tanya Ang-toa agak kaget.
„Benar ! Kenapa ? Pohon ini bukan milikmu !” kata sipengemis itu.
„Tetapi… tetapi….” Ang-toa tidak bisa meneruskan perkataannya, dia hanya memgawasi sipengemis dengan sorot mata yang tajam, seperti juga anak itu tengah memikirkan sesuatu.
„Kenapa tetapi-tetapian begitu?” tanya sipengemis lagi.
„Jika aku tidur disini bersama-sama dengan engkau, nanti orang-orang mengira……. mengira aku ini……..”
„Menduga engkau pengemis juga?” tanya sipengemis tua itu memutusi perkataan Ang-toa.
Ang-toa telah berobah mukanya menjadi merah, karena isi hatinya telah diterka tepat sekali oleh pengemis tua tersebut.
„Benar !” sahutnya kemudian.
„Jika memang engkau ingin tidur disitu, biarlah aku pindah ketempat lain lagi !”.
„Hemm……,” sipengemis telah tertawa dingin, dia bilang: „Dengan engkau tidur dibawah pohon ini, dan pakaianmu yang kotor itu, sudah jelas orang akan menduga engkau sebagai pengemis kecil !”
Ang-toa tertegun, dan didalam hatinya dia mengakui kebenaran perkataan pengemis tua itu.
„Tetapi yang jelas aku bukan pengemis !” kata Ang-toa kemudian.
„Biarpun engkau berkata begitu seribu kali, tetapi. dengan keadaanmu yang mesum seperti itu dan lagakmu yang urakan, tentu engkau akan dianggap sebagai pengemis !
Aku berani bertaruh, bahwa engkau bukan manusia yang mudah menerima tuduhan orang, tetapi kepada siapa saja engkau bertanya, tentu mereka pertama-tama akan menduga engkau sebagai pengemis !”.
Ang-toa merasakan dia tidak mungkin menang bicara dengan pengemis tua itu, dia telah membalikkan tubuhnya, maksudnya untuk meninggalkan pengemis tua itu.
„Tunggu dulu, engkau jangan pergi dulu !” kata sipengemis.
Ang-toa jadi menahan kakinya, dia telah bilang: „Apa lagi yang engkau hendak katakan ?.”
„Aku ingin mengajak engkau untuk menjadi sahabatku ! Jangan takut, soal makan…… aku yang jamin engkau tidak akan lapar lagi………!”
Ang-toa jadi berdiri mematung. Dia mengawasi pengemis tua itu, dan pakaiannya yang penauh tambalan. Tetapi akhirnya Ang-toa berpikir didalam hatinya: „Lebih baik aku bersahabat dengan dia, bukankah aku tidak mempunyai ayah ibu lagi dan juga tidak memiliki rumah ? Memang benar apa yang dikatakan pengemis tua itu, jika dia mau menjamin makanan untukku, apa salahnya ?.”
Setelah berpikir begitu, Ang-toa berkata ragu-ragu.
„Tetapi aku tidak mau jika dibenkan makanan sisa……”
„Oh tentu saja tidak! Aku akan mengambilnya langsung dari dapur setiap rumah makan…….! Engkau tentu akan merasakan, betapa nikmat menjadi sahabatku…….!”
„Baiklah, aku mau bersahabat dengan kau…….!” kata Ang-toa sambil menganggukkan kepalanya.
Sipengemis tua itu tampaknya jadi girang, dia sampai melompat bangun.
„Nih kau terima dulu bebek panggang !” katanya sambil merogoh sakunya, dia telah mengeluarkan bebek panggang yang bulat, dan masih mengeluarkan asap yang cukup hangat ! Ang-toa jadi heran, ragu-ragu dia. mengulurkan tangananya dan dia merasakan bebek panggang itu masih hangat, maka dia percaya perkataan sipengemis tua bahwa dia mengambil langsung dari dapur rumah makan waktu bebek panggang itu baru matang.
Tanpa ragu-ragu lagi Ang-toa telah menggerogoti bebek panggang itu, dia telah mengunyah sambil bertanya : „Aku heran bagaimana caramu mengambil bebek panggang ini ?”
„Aku memiliki caraku sendiri, jika kelak engkau telah benar-benar menjadi sahabatku dan mau melakukan perjalanan bersamaku, maka aku akan mengajari engkau untuk mengambil makanan yang engkau ingini tanpa diketahui, oleh orang yang empunya…!”. . Tetapi Ang-toa telah menggelengkan kepa lanya.
„Tadi aku mengatakan mau bersahabat denganmu, bukan berarti aku bersedia melakukan perjalanan bersama-sama dengan engkau !”.
„Engkau tidak tertarik untuk mempelajari ilmu mengambil makanan tanpa diketahui pemiliknya ?” tanya pengemis tua itu.
Ang-toa, menggelengkan kepalanya.
„Sayang sekali aku tidak memiliki cita-cita untuk menjadi pencuri…!” menyahuti’ Ang-toa.
„Bukannya maling, tetapi engkau bisa memiliki kepandaian mengambil barang makanan yang kau ingini itu tanpa diketahui yang punya, bukankah lebih enak jika dibandingkan harus dipukuli dulu baru memperoleh?”
„Sudahlah, aku memang mau bersahabat dengan kau, tetapi jangan engkau memaksa aku untuk melakukan perjalanan denganmu !”
Sipengemis tua itu telah tersenyum, dia mengangguk-angguk saja.
Sedangkan Ang-toa setelah selesai menggeragoti panggang bebek itu, telah bangun berdiri, katanya: „Terima kasih atas pemberianmu itu, mudah-mudahan nanti kita bisa bertemu lagi.
Pengemis tua itu tidak terlalu memaksa lagi, dia hanya mengangguk mengiyakan.
Diawasinya Ang-toa yang sedapg melanagkah pergi.
„Seorang anak beradat keras dan memiliki bakat yang baik……!” menggumam pengemis tua itu dengan sikap yang bersungguh-sungguh, lalu dia menghela napas.
Waktu itu, Ang-toa telah menyusuri jalan itu, menikung beberapa jalur jalan, kemudian dia berhenti disebuah persimpangan jalan.
„Kemana aku mau pergi ?” pikir Ang-toa sesaat kemudian. „Atau lebih baik aku pergi tidur dikuil tua itu saja…!” dan setelah berpikir begitu Ang-toa menuju kepintu kota sebelah barat, dia telah menghampiri. sebuah kuil tua yang rusak disana-sini tidak terawat lagi. Dan Ang-toa memasuki kuil itu, lalu merebahkan tubuhnya dilantai disamping meja sembahyang yang sudah tidak terurus itu.
Kali ini Ang-toa dapat tidur dengan nyenyak, karena tidak ada orang yang mengganggunyal.
Tetapi menjelang sore hari, Ang-toa tersadar dari tidurnya, dia mendengar suara langkah-langkah kaki kuda yang tengah berlari mendatangi kearah kuil itu.
Ang-toa menggeliat dan kemudian duduk, dia mendengar derap langkah kaki kuda itu berhenti dan seseorang telah memasuki kuil rusak itu.
Ang-toa segera dapat melihat orang itu seorang siucai (pelajar) yang berpakaian rapih sekali. Usia siucai itu mungkin baru tiga puluh tahun, dia membawa pedang dipunggungnya.
Siucai itu juga rupanya telah melihat Ang-toa, maka dia telah berkata.: „Hei pengemis kecil; inikah kota-Bua-siong-kwan?”
„Berapa biji matamu, sehingga seenakmu saja memanggil aku pengemis kecil ?” balik tanya Ang-toa tanpa menyahuti pertanyaan sisiucai.
„Heeh ?” siucai itu jadi tertegun, dia jadi kaget ditegur begitu oleh Ang-toa, kemudian katanya dengan mendongkol : „Sudah tentu biji mataku sepasang ! Apakah salah jika aku memanggilmu dengan sabutan pengemis kecil ?”.
„Aku bukan pengemis !” menyahuti Ang-toa dengan mendongkol.
„Tetapi…pakaianmu kotor dan mesum, keadaanmu dekil sakali, bagaimana mungkin engkau tidak mengakui dirimu sebagai pengemis !”.
„Walaupun keadaanku kotor dan dekil, tetapi aku tidak pernah minta makan kepadamu…” meuyahuti Ang-toa dengan sengit.
Pelajar itu jadi tertegun lagi, tetapi kemudian dia telah tertawa keras, tertawa karena dia merasa lucu hari ini bisa bertemu dengan seorang anak lelaki kecil memiliki sifat seperti Ang-toa.
„Lalu panggilan apa yang sekiranya cocok untuk dirimu ?” tanya pelajar itu kemudian.
„Apa saja…bukankah engkau bisa memanggilku dengan nama engko kecil atau anak kecil, atupun lebih pantas dari pada engkau memanggilku dengan „sebutan sebagai pengemis kecil…!”.
„Jika memang demikian, baiklah !” kata pelajar itu mengalah. „Engko kecil, benarkah kota ini kota Bun-siong-kwan
„Benar !” menyahuti Ang-toa.
Pelajar itu jadi agak canggung, karena Ang-toa hanya menyahuti sepatah saja pertanyaannya itu.
„Mengapa engkau berada dikuil rusak ini ?” tanyanya kemudian.
„Jika engkau bertanya begitu, tanyakanlah dirimu sendiri mengapa engkaupun berada dikuil rusak ini…!”.
„Mulutmu ternyata jahat sekali, bocah!” kata sipelajar yang jadi habis kesabarannya. „Engkau rupanya kepala batu dan nakal sekali, sehingga diusir oleh orang tuamu, bukan ?”
„Ada urusan apa denganmu ? Aku diusir atau tidak itu urusanku sendiri……!”.
„Benar, tetapi keadaanmu yang dekil itu, persis seperti pengemis kecil..:!” dan setelah. berkata begitu tampak pelajar..tersebut telah mengeluarkan suara tertawa yang bergelak-gelak.
„Hemm………..”, mendengus Ang-toa sambil berdiri, dia meneruskan perkataannya : „Aku sudah mengatakan antara engkau dengan diriku tidak ada sangkutan apa-apa, mengapa engkau jadi demikian sibuk mengurusi diriku ? Aku mau memakai baju tambalan atau tidak, itu urusanku…..!” dan Ang-toa telah mementang kakinya, untuk meninggalkan kuil itu.
Tetapi sipelajar rupanya telah mendongkol oleh sikap yang diperlihatkan Ang-toa, dia telah melompat sambil mengulurkan tangannya mencengkeram baju belakang anak itu.
„Hei, apa yang hendak kau perbuat ?” teriak Ang-toa kaget, karena tubuhnya tahu-tahu telah melayang ditengah udara dan kemudian meluncur terbanting diatas lantai dengan keras bukan main.
Pandangan matanya jadi gelap dan nanar, karena bantingan itu bukan seperti bantingan dan lemparan para pelayan rumah makan.
Dengan teraduh-aduh memegangi pinggangnya yang sakit Ang-toa telah mengoceh : „Dasar pelajar tidak tahu aturan ! Mengapa engkau menyakiti aku seperti ini……..?”.
Pelajar itu telah mendengus, dia mengulurkan kakinya dan menendang tubuh Ang-toa, sehingga tubuh anak itu telah terpental lagi dan terbanting diatas Iantai dengan keras.
Kali ini Ang-toa tidak bisa segera bangkit. karena disaat itu dia merasakan kepalanya gelap, hampir saja dia jatuh pingsan.
„Bocah kurang ajar ! Jika engkau tidak mau meminta ampun dan maaf, maka engkau jangan………..menyalahkan diriku yang akan menyiksamu sampai tulang-tulangmu itu berantakan !” kata pelajar itu .
Sedangkan Ang-toa tidak bisa menyahuti, karena dia masih teraduh-aduh dan merangkak berdiri dengan tubuh yang sakit-sakit.
Dengan bersusah, payah Ang-toa telah berusaha untuk bangun, tetapi dia tidak bisa merangkak bangun disebabkan tulaag punggungnya terasa sakit dan matanya masih ber-kunang2.
„Engkau mau meminta ampun atau tidak?” tegur sipelajar.
„Tidak !” menyahuti Ang-toa keras, walaupun matanya masih berkunang-kunang, tetapi dia memang memiliki adat yang keras sekali.
„Apa ? Engkau tidak takut nanti kubanting sampai tulang-tulangmu berantakan bentak sipelajar.
„Tentu saja bisa kau lakukan, karena aku anak kecil dan engkau seorang yang dewasa, sehingga bisa saja engkau membanting diriku sekehendak haimu…..!” Memang Ang-toa nekad sekali, walaupun matanya masih berkunang-kunang, namun setiap perkataan pelajar itu selalu disahutinya.
Dengan demikian sipelajar jadi tambah se’ngit dan dia telah melompat kedekat Ang-toa, kemudian mengulurkan tangan kanannya mencengkeram baju anak itu, tubuh siapa tehlah diangkatnya untuk -dibantingkaii pula.
Namun belum lagi tubuh Ang-toa dibanting, disaat itu teglah terlihat sesosok bayangan berkelebat dan berteriak : „Jangan dibanting…!”.
Dan bukan hanya berkata saja;” bayangan itu juga telah mempergunakan sepotong kayu kecil untuk menyodok perut sipelajar.
Pelajar itu jadi kaget, dia mengeluarkan seruan sambil melompat mumdur, karena gerakan bayangan itu gesit sekali dan serangan kayu yang tipis keperutnya juga bukan serangan yang sembarangan, karena justru kayu yang kecil tipis itu mengincar jalan darah Ma-hiong-hiat didekat ulu hatinya. Kalau sampai jalan darahnya itu terkena sodokan kayu keeil itu, dia tentu bisa menemui maut…….
Sambil melompat, sipelajar telah melontarkan tubuh Ang-toa, tetapi pengemis itu tidak mendesak sipelajar, dia mempergunakan kayu yang tipis kecil itu untuk menggaet tubuh Ang-toa, sehingga anak itu tidak sampai terbanting lagi.
Ang-toa yang telah bisa berdiri, mementang matanya Iebar-Iebar, untuk girangnya dia mengenali pengemis tua yang telah mengajaknya bersahabat, itulah yang telah menolonginya.
„Eh………temananku!” panggil Ang-toa girang.
„Sebagai sabat engkau telah menolongi ku ! Sekarang aku minta engkau pukul pantatnya pelajar sombong. itu sepuluh kali!
Bisakahh engkau melakukannya ?”
Pengemis tua itu tersenyum.
„Tentu saja bisa…apa susahnya sih memukuli pantat sipelajar busuk yang hanya berani anak kecil saja ?”
Dan sambil berkata begitu: sipengemis tua telah melompat, dengan gerakan yang cepat sekali, sehingga Ang-toa tidak bisa melihat dengan jelas.
Dan yang kaget adalah sipelajar yang telah berseru.
Tetapi suaranya belum lagi habis diucapkannya, tahu-tahu punggungnya telah terdorong sesuatu, sehingga dia jatuh ter-jereambab, walaupun kedua kakinya telah memasang kuda-kuda yang kuat mencegah tubuhnya terjerunuk, tidak urung dia terjerambab juga.
Disaat itulah pinggulnya jadi sakit sekali, karena sipengemis telah memukuli pantatnya dengan mempergunakan kayu kecil tipis itu.
Walaupun kecil dan tipis, tetapi kayu itu ditangan sipengemis tua seperti telah……,berobah menjadi sebatang baja yang kuat sekali.
Sipelajar berusaha untuk meronta, tetapi kaki kanan pengemis tua itu telah menginjak pinggangnya, maka pelajar itu jadi tidak berkutik sama sekali.
Cepat sekali sipengemis tua telah memukul sepuluh kali pinggul pelajar itu, kemudian dia telah melompat kesamping Ang-toa.
„Sahabatku, aku telah membantuimu membayar lunas penasaranmu dengan memukul dia sepuluh kali sabetan ! Kau puas belum ?”.
„Puas …..! Puas…..,!” menyahuti Ang-toa dengan sikap girang.
Sedangkan sipelajar telah merangkak bangun dengan muka yang pucat, dengan sikap takut-takut dia teiah berkata tidak begitu jelas : „Kalau….., kalau…… tidak salah Boanpwe (tingkatan yang lebih muda) tengah berhadapan dengan le Hong Sin Kay Locianpwe ?”
„Tidak salah ! Aku memang Ie Hong Sin Kay (Pengemis Sakti Dengan Pakaian Burung Hong) menjahuti sipengemis. „Aku bergelar le Hong Sin Kay karena pakaianku yang tambal sulam dengan warna-warni yang menarik ini …… bukankah sama seperti warna-warna dibulu burung Hong?”
Muka sipelajar semakin pucat, dia telah merangkapkan, kedua tangannya menjura memberi hormat, sikapnya ketakutan sama sekali : „Maafkan……Boanpwe…… karena Boanpwe tidak tahu bahwa anak itu sahabat Locianpwe …. maafkan Boanpwe Thung Liu Cie…..!!”
„Hemmm……….., apakah kau masih bisa hidup jika aku tidak memaafkan dirimu ….?” menegur sipengemis dengan suara yang perlahan.
Tetapi pelajar itu jadi girang, dia telah menghaturkan terima kasih berulang kali : „Terima kasih atas pengampunan Locianpwe …. ijinkan Boanpwee……berlalu ….”
Dan tanpa berani menoleh lagi, pelajar itu telah melangkah keluar dari ruangan kuil itu, tidak lama kemudian terdengar suara larinya kuda tunggangannya.
Sedangkan Ang-toa jadi heran melihat sikap sipelajar yang begitu ketakutan kepada pengemis tua .:
„Sahabatku,.*sebenarnya siapa sih engkau ini sehingga pelajar busuk yang. jahat itu ketakutan kepadamu ?” tanya. Ang-toa kemudian sambil mengawasi sipengemis tua.
Pengemis tiu itu tersenyum.
„Sama seperti engkau juga…….” sahutnya.
„Sama seperti aku bagaimana ?” tanya Ang-toa tidak mengerti,
„Bukankah engkau walaupun usiamu demi kian muda belia, tetapi anak-anak yang lebih tinggi usianya darimu juga ketakutan jika melihatmu ? Nah, sama seperti keadaanmu itu, pelajar itu juga akan ketakutan jika melihat aku…….!”
Mendengar keterangan sipengemis, Ang-toa jadi tidak bisa menahan tawanya,
„Mengapa engkau tertawa ?” tanya sipengemis tua le Hong Sin Kay.
Aku merasa lucu, keadaan kita hampir sama”, kata Ang-toa. ,,Kau ditakuti oleh oraag-orang yang telah dewasa, sedangkan aku ditakuti anak-anak sebayaku…!”.
„Tentu saja, engkau seorang anak yang nekad dan tidak perduli akan jiwamu sendiri tiap melakukan tindakan…..!” menyahuti sipengemis tua itu. „Nah, bukankah dengan mengikat tali persahabatan denganktu engkau tidak rugi ?”
„Benar !”.
,,Apa lagi engkau mau, mempelajari ilmj mengambil makanan tanpa diketahui oleh pemiliknya, maka engkau lebih tidak rugi Iagi…!” kata pengemis tua itu.
Walaupun nakal, tetapi Ang-toa memiliki otak yang sangat cerdas sekali. Dia telah melihat pengemis tua ini ditakuti sekali oleh pelajar itu, dan juga tadi sekali lompat saja dia telah bisa menghukum pelajar yang bernama Thung Liu Cie itu, maka Ang-toa telah menekuk kakinya, dia telah berlutut dihadapan pengemis itu.
„Terima kasih atas bantuan lopeh, dan maukah lopeh mengambil aku menjadi murid untuk mempelajari ilmu yang dimiliki lopeh ?” tanya Ang-toa.
„Oh tentu saja mau, bukankah sejak bertemu aku telah menegaskan, kalau saja engkau mau mempelajari ilmuku, tentu engkau tidak selalu menerima hinaan…!” menyahuti le Hong Sin Kay. „Tetapi untuk menjadi muridku, engkau harus mentaati beberapa persyaratan dari pintu pergu uanku………..”
Apa syarat-syaratnya itu, lopeh ?” tanya Ang-toa.
„Engkau harus menjunjung tinggi nama perguruanmu, tidak boleh mendatangkan malu dengan sikap pengecutmu, walaupun menghadapi kematian, tetapi jika memang membela yang benar, engkau tidak boleh menyerah ! Untuk itu aku percaya engkau bisa mentaatinya, karena aku telah menyaksikan sifat-sifatmu beberapa saat yang lalu……!
Yang kedua, engkau harus menuruti setiap perkataanku, tidak boleh membantah !
Jika engkau membantah petunjukku, maka engkau akan menerima hukuman yang tidak ringan……!”
„Tentu saja jika lopeh telah menjadi guruku, maka aku-harus menuruti setiap petunjuk dan kata-kata lopeh, mana mungkin aku berlaku kurang ajar kepada guruku !” kata Ang-toa. .
„Bagus ! Dan syarat ketiga., engkau tidak boleh mengandalkan kepandaianmu untuk menghina yang lemah, tidak boleh terlalu mudah membinasakan seseorang lawan, dan juga tidak, boleh melakukan perbuatan-perbuatan buruk”
„Jika memang peraturan itu untuk mendidik aku menjadi anak yang baik dan tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang buruk, tentu saja harus dipatuhi! Tetapi ada satu yang tidak bisa kupatuhi, jika memang lopeh me minta aku menjadi pencuri-makanan…….!”
Mendengar perkataan Ang-toa, sipengemis jadi tertawa bergelak-gelak:
„Soal itu kita tidak usah bicarakan sekarang, aku juga tidak memaksa engkau men jadi pencuri makanan, hanya mengambil makanan tanpa setahu yang empunya…!”.
„Itupun sama saja lopeh, suatu perbuatan pencuri juga !” kata Ang-toa.
„Ya…., ya,,,,,, nanti bila engkau telah lebih besar dari sekarang engkau bisa mengerti apa maksudku ! Dan syarat satunya lagi, yaitu engkau harus menjadi anggota Kaypang, yaitu perkumpulan pengemis……..! “
„Itu…….itu.. ……..”
Melihat Ang-oa ragu-ragu sipengemis telah tertawa lagi.
„Sebelum engkau, aku telah menerima murid lain orang, dan mereka semuanya telah masuk menjadi anggota Kaypang…….” menjelaskan calon guru itu.
„Tetapi…….aku harus berpakaian sebagai pengemis setiap hari?” tanya Ang-toa kemudian. ,,Benar ! Enkau keberatan?”
„Tentu saja…nanti semua orang memanggil aku sipengemis ?”
„Begitulah…….!” mengangguk le Hong Sin Kay.
„Memang selanjutnya semua orang akan memanggil kau sebagai pengemis!
Tetapi engkau tidak boleh memiliki pikiran bahwa menjadi pengemis tidak dihormati orang, asal engkau selalu melakukan perbuatan baik, pasti hasilnya juga akan menjadi baik ! Jika engkau selalu berdiri digaris keadilan, maka engkau akan disegani kawan dan lawan !
Seperti tadi pemuda Thung Liu Cie, dia telah menghormati dan ketakutan melihat diriku ! Bukankah engkau ‘telah’ menyaksikan sendiri ?”
Mendengar perkataan sipengemis tua Ie Hong Sin Kay, Ang-toa telah mengangguk angguk beberapa -kali mengiyakan.
„Baiklah, aku bersedia untuk menjadi anggota Kay-pang!” kata Ang-toa, kemudian sambil menganggukkan kepalanya.
„Dan sekarang kita sembahyang pengangkatan guru dan murid…!” kata Ie Hong Sin Kay mengajak Ang-toa kedekat meja sembahyang. Dia mengeluarkan bibit api, membakar sisa lilin yang masih ada dimeja sembahyang, lalu mereka menjalani peradatan untuk pengangkatan guru dan murid.
Ang-toa telah berlutut. dihadapan sipengemis dan berkata mengangkat sumpah „Jika memang aku Ang-toa berani kurang ajar dan menghianati perkumpulanku, Kaypang, biarlah tubuhku tidak diterima bumi dan langit dan dibacoki oleh ratusan ribu golok dan pedang..,,,,,.!”
„Bagus ! Bangunlah muridku……. dan untuk selanjutnya engkau harus belajar yang-rajin, agar kelak dengan mempergunakan kepandaianmu engkau bisa mengangkat nama baik Kaypang…….”
Ang-toa juga telah memberi hormat sambil memanggil „Suhu !” tiga kali. Selesailah sembahyang pengangkatan guru dan murid itu.
„Kemana aku mau pergi ?” pikir Ang-toa sesaat kemudian. „Atau lebih baik aku pergi tidur dikuil tua itu saja…!” dan setelah berpikir begitu Ang-toa menuju kepintu kota sebelah barat, dia telah menghampiri. sebuah kuil tua yang rusak disana-sini tidak terawat lagi. Dan Ang-toa memasuki kuil itu, lalu merebahkan tubuhnya dilantai disamping meja sembahyang yang sudah tidak terurus itu.
Kali ini Ang-toa dapat tidur dengan nyenyak, karena tidak ada orang yang mengganggunyal.
Tetapi menjelang sore hari, Ang-toa tersadar dari tidurnya, dia mendengar suara langkah-langkah kaki kuda yang tengah berlari mendatangi kearah kuil itu.
Ang-toa menggeliat dan kemudian duduk, dia mendengar derap langkah kaki kuda itu berhenti dan seseorang telah memasuki kuil rusak itu.
Ang-toa segera dapat melihat orang itu seorang siucai (pelajar) yang berpakaian rapih sekali. Usia siucai itu mungkin baru tiga puluh tahun, dia membawa pedang dipunggungnya.
Siucai itu juga rupanya telah melihat Ang-toa, maka dia telah berkata.: „Hei pengemis kecil; inikah kota-Bua-siong-kwan?”
„Berapa biji matamu, sehingga seenakmu saja memanggil aku pengemis kecil ?” balik tanya Ang-toa tanpa menyahuti pertanyaan sisiucai.
„Heeh ?” siucai itu jadi tertegun, dia jadi kaget ditegur begitu oleh Ang-toa, kemudian katanya dengan mendongkol : „Sudah tentu biji mataku sepasang ! Apakah salah jika aku memanggilmu dengan sabutan pengemis kecil ?”.
„Aku bukan pengemis !” menyahuti Ang-toa dengan mendongkol.
„Tetapi…pakaianmu kotor dan mesum, keadaanmu dekil sakali, bagaimana mungkin engkau tidak mengakui dirimu sebagai pengemis !”.
„Walaupun keadaanku kotor dan dekil, tetapi aku tidak pernah minta makan kepadamu…” meuyahuti Ang-toa dengan sengit.
Pelajar itu jadi tertegun lagi, tetapi kemudian dia telah tertawa keras, tertawa karena dia merasa lucu hari ini bisa bertemu dengan seorang anak lelaki kecil memiliki sifat seperti Ang-toa.
„Lalu panggilan apa yang sekiranya cocok untuk dirimu ?” tanya pelajar itu kemudian.
„Apa saja…bukankah engkau bisa memanggilku dengan nama engko kecil atau anak kecil, atupun lebih pantas dari pada engkau memanggilku dengan „sebutan sebagai pengemis kecil…!”.
„Jika memang demikian, baiklah !” kata pelajar itu mengalah. „Engko kecil, benarkah kota ini kota Bun-siong-kwan
„Benar !” menyahuti Ang-toa.
Pelajar itu jadi agak canggung, karena Ang-toa hanya menyahuti sepatah saja pertanyaannya itu.
„Mengapa engkau berada dikuil rusak ini ?” tanyanya kemudian.
„Jika engkau bertanya begitu, tanyakanlah dirimu sendiri mengapa engkaupun berada dikuil rusak ini…!”.
„Mulutmu ternyata jahat sekali, bocah!” kata sipelajar yang jadi habis kesabarannya. „Engkau rupanya kepala batu dan nakal sekali, sehingga diusir oleh orang tuamu, bukan ?”
„Ada urusan apa denganmu ? Aku diusir atau tidak itu urusanku sendiri……!”.
„Benar, tetapi keadaanmu yang dekil itu, persis seperti pengemis kecil..:!” dan setelah. berkata begitu tampak pelajar..tersebut telah mengeluarkan suara tertawa yang bergelak-gelak.
„Hemm………..”, mendengus Ang-toa sambil berdiri, dia meneruskan perkataannya : „Aku sudah mengatakan antara engkau dengan diriku tidak ada sangkutan apa-apa, mengapa engkau jadi demikian sibuk mengurusi diriku ? Aku mau memakai baju tambalan atau tidak, itu urusanku…..!” dan Ang-toa telah mementang kakinya, untuk meninggalkan kuil itu.
Tetapi sipelajar rupanya telah mendongkol oleh sikap yang diperlihatkan Ang-toa, dia telah melompat sambil mengulurkan tangannya mencengkeram baju belakang anak itu.
„Hei, apa yang hendak kau perbuat ?” teriak Ang-toa kaget, karena tubuhnya tahu-tahu telah melayang ditengah udara dan kemudian meluncur terbanting diatas lantai dengan keras bukan main.
Pandangan matanya jadi gelap dan nanar, karena bantingan itu bukan seperti bantingan dan lemparan para pelayan rumah makan.
Dengan teraduh-aduh memegangi pinggangnya yang sakit Ang-toa telah mengoceh : „Dasar pelajar tidak tahu aturan ! Mengapa engkau menyakiti aku seperti ini……..?”.
Pelajar itu telah mendengus, dia mengulurkan kakinya dan menendang tubuh Ang-toa, sehingga tubuh anak itu telah terpental lagi dan terbanting diatas Iantai dengan keras.
Kali ini Ang-toa tidak bisa segera bangkit. karena disaat itu dia merasakan kepalanya gelap, hampir saja dia jatuh pingsan.
„Bocah kurang ajar ! Jika engkau tidak mau meminta ampun dan maaf, maka engkau jangan………..menyalahkan diriku yang akan menyiksamu sampai tulang-tulangmu itu berantakan !” kata pelajar itu .
Sedangkan Ang-toa tidak bisa menyahuti, karena dia masih teraduh-aduh dan merangkak berdiri dengan tubuh yang sakit-sakit.
Dengan bersusah, payah Ang-toa telah berusaha untuk bangun, tetapi dia tidak bisa merangkak bangun disebabkan tulaag punggungnya terasa sakit dan matanya masih ber-kunang2.
„Engkau mau meminta ampun atau tidak?” tegur sipelajar.
„Tidak !” menyahuti Ang-toa keras, walaupun matanya masih berkunang-kunang, tetapi dia memang memiliki adat yang keras sekali.
„Apa ? Engkau tidak takut nanti kubanting sampai tulang-tulangmu berantakan bentak sipelajar.
„Tentu saja bisa kau lakukan, karena aku anak kecil dan engkau seorang yang dewasa, sehingga bisa saja engkau membanting diriku sekehendak haimu…..!” Memang Ang-toa nekad sekali, walaupun matanya masih berkunang-kunang, namun setiap perkataan pelajar itu selalu disahutinya.
Dengan demikian sipelajar jadi tambah se’ngit dan dia telah melompat kedekat Ang-toa, kemudian mengulurkan tangan kanannya mencengkeram baju anak itu, tubuh siapa tehlah diangkatnya untuk -dibantingkaii pula.
Namun belum lagi tubuh Ang-toa dibanting, disaat itu teglah terlihat sesosok bayangan berkelebat dan berteriak : „Jangan dibanting…!”.
Dan bukan hanya berkata saja;” bayangan itu juga telah mempergunakan sepotong kayu kecil untuk menyodok perut sipelajar.
Pelajar itu jadi kaget, dia mengeluarkan seruan sambil melompat mumdur, karena gerakan bayangan itu gesit sekali dan serangan kayu yang tipis keperutnya juga bukan serangan yang sembarangan, karena justru kayu yang kecil tipis itu mengincar jalan darah Ma-hiong-hiat didekat ulu hatinya. Kalau sampai jalan darahnya itu terkena sodokan kayu keeil itu, dia tentu bisa menemui maut…….
Sambil melompat, sipelajar telah melontarkan tubuh Ang-toa, tetapi pengemis itu tidak mendesak sipelajar, dia mempergunakan kayu yang tipis kecil itu untuk menggaet tubuh Ang-toa, sehingga anak itu tidak sampai terbanting lagi.
Ang-toa yang telah bisa berdiri, mementang matanya Iebar-Iebar, untuk girangnya dia mengenali pengemis tua yang telah mengajaknya bersahabat, itulah yang telah menolonginya.
„Eh………temananku!” panggil Ang-toa girang.
„Sebagai sabat engkau telah menolongi ku ! Sekarang aku minta engkau pukul pantatnya pelajar sombong. itu sepuluh kali!
Bisakahh engkau melakukannya ?”
Pengemis tua itu tersenyum.
„Tentu saja bisa…apa susahnya sih memukuli pantat sipelajar busuk yang hanya berani anak kecil saja ?”
Dan sambil berkata begitu: sipengemis tua telah melompat, dengan gerakan yang cepat sekali, sehingga Ang-toa tidak bisa melihat dengan jelas.
Dan yang kaget adalah sipelajar yang telah berseru.
Tetapi suaranya belum lagi habis diucapkannya, tahu-tahu punggungnya telah terdorong sesuatu, sehingga dia jatuh ter-jereambab, walaupun kedua kakinya telah memasang kuda-kuda yang kuat mencegah tubuhnya terjerunuk, tidak urung dia terjerambab juga.
Disaat itulah pinggulnya jadi sakit sekali, karena sipengemis telah memukuli pantatnya dengan mempergunakan kayu kecil tipis itu.
Walaupun kecil dan tipis, tetapi kayu itu ditangan sipengemis tua seperti telah……,berobah menjadi sebatang baja yang kuat sekali.
Sipelajar berusaha untuk meronta, tetapi kaki kanan pengemis tua itu telah menginjak pinggangnya, maka pelajar itu jadi tidak berkutik sama sekali.
Cepat sekali sipengemis tua telah memukul sepuluh kali pinggul pelajar itu, kemudian dia telah melompat kesamping Ang-toa.
„Sahabatku, aku telah membantuimu membayar lunas penasaranmu dengan memukul dia sepuluh kali sabetan ! Kau puas belum ?”.
„Puas …..! Puas…..,!” menyahuti Ang-toa dengan sikap girang.
Sedangkan sipelajar telah merangkak bangun dengan muka yang pucat, dengan sikap takut-takut dia teiah berkata tidak begitu jelas : „Kalau….., kalau…… tidak salah Boanpwe (tingkatan yang lebih muda) tengah berhadapan dengan le Hong Sin Kay Locianpwe ?”
„Tidak salah ! Aku memang Ie Hong Sin Kay (Pengemis Sakti Dengan Pakaian Burung Hong) menjahuti sipengemis. „Aku bergelar le Hong Sin Kay karena pakaianku yang tambal sulam dengan warna-warni yang menarik ini …… bukankah sama seperti warna-warna dibulu burung Hong?”
Muka sipelajar semakin pucat, dia telah merangkapkan, kedua tangannya menjura memberi hormat, sikapnya ketakutan sama sekali : „Maafkan……Boanpwe…… karena Boanpwe tidak tahu bahwa anak itu sahabat Locianpwe …. maafkan Boanpwe Thung Liu Cie…..!!”
„Hemmm……….., apakah kau masih bisa hidup jika aku tidak memaafkan dirimu ….?” menegur sipengemis dengan suara yang perlahan.
Tetapi pelajar itu jadi girang, dia telah menghaturkan terima kasih berulang kali : „Terima kasih atas pengampunan Locianpwe …. ijinkan Boanpwee……berlalu ….”
Dan tanpa berani menoleh lagi, pelajar itu telah melangkah keluar dari ruangan kuil itu, tidak lama kemudian terdengar suara larinya kuda tunggangannya.
Sedangkan Ang-toa jadi heran melihat sikap sipelajar yang begitu ketakutan kepada pengemis tua .:
„Sahabatku,.*sebenarnya siapa sih engkau ini sehingga pelajar busuk yang. jahat itu ketakutan kepadamu ?” tanya. Ang-toa kemudian sambil mengawasi sipengemis tua.
Pengemis tiu itu tersenyum.
„Sama seperti engkau juga…….” sahutnya.
„Sama seperti aku bagaimana ?” tanya Ang-toa tidak mengerti,
„Bukankah engkau walaupun usiamu demi kian muda belia, tetapi anak-anak yang lebih tinggi usianya darimu juga ketakutan jika melihatmu ? Nah, sama seperti keadaanmu itu, pelajar itu juga akan ketakutan jika melihat aku…….!”
Mendengar keterangan sipengemis, Ang-toa jadi tidak bisa menahan tawanya,
„Mengapa engkau tertawa ?” tanya sipengemis tua le Hong Sin Kay.
Aku merasa lucu, keadaan kita hampir sama”, kata Ang-toa. ,,Kau ditakuti oleh oraag-orang yang telah dewasa, sedangkan aku ditakuti anak-anak sebayaku…!”.
„Tentu saja, engkau seorang anak yang nekad dan tidak perduli akan jiwamu sendiri tiap melakukan tindakan…..!” menyahuti sipengemis tua itu. „Nah, bukankah dengan mengikat tali persahabatan denganktu engkau tidak rugi ?”
„Benar !”.
,,Apa lagi engkau mau, mempelajari ilmj mengambil makanan tanpa diketahui oleh pemiliknya, maka engkau lebih tidak rugi Iagi…!” kata pengemis tua itu.
Walaupun nakal, tetapi Ang-toa memiliki otak yang sangat cerdas sekali. Dia telah melihat pengemis tua ini ditakuti sekali oleh pelajar itu, dan juga tadi sekali lompat saja dia telah bisa menghukum pelajar yang bernama Thung Liu Cie itu, maka Ang-toa telah menekuk kakinya, dia telah berlutut dihadapan pengemis itu.
„Terima kasih atas bantuan lopeh, dan maukah lopeh mengambil aku menjadi murid untuk mempelajari ilmu yang dimiliki lopeh ?” tanya Ang-toa.
„Oh tentu saja mau, bukankah sejak bertemu aku telah menegaskan, kalau saja engkau mau mempelajari ilmuku, tentu engkau tidak selalu menerima hinaan…!” menyahuti le Hong Sin Kay. „Tetapi untuk menjadi muridku, engkau harus mentaati beberapa persyaratan dari pintu pergu uanku………..”
Apa syarat-syaratnya itu, lopeh ?” tanya Ang-toa.
„Engkau harus menjunjung tinggi nama perguruanmu, tidak boleh mendatangkan malu dengan sikap pengecutmu, walaupun menghadapi kematian, tetapi jika memang membela yang benar, engkau tidak boleh menyerah ! Untuk itu aku percaya engkau bisa mentaatinya, karena aku telah menyaksikan sifat-sifatmu beberapa saat yang lalu……!
Yang kedua, engkau harus menuruti setiap perkataanku, tidak boleh membantah !
Jika engkau membantah petunjukku, maka engkau akan menerima hukuman yang tidak ringan……!”
„Tentu saja jika lopeh telah menjadi guruku, maka aku-harus menuruti setiap petunjuk dan kata-kata lopeh, mana mungkin aku berlaku kurang ajar kepada guruku !” kata Ang-toa. .
„Bagus ! Dan syarat ketiga., engkau tidak boleh mengandalkan kepandaianmu untuk menghina yang lemah, tidak boleh terlalu mudah membinasakan seseorang lawan, dan juga tidak, boleh melakukan perbuatan-perbuatan buruk”
„Jika memang peraturan itu untuk mendidik aku menjadi anak yang baik dan tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang buruk, tentu saja harus dipatuhi! Tetapi ada satu yang tidak bisa kupatuhi, jika memang lopeh me minta aku menjadi pencuri-makanan…….!”
Mendengar perkataan Ang-toa, sipengemis jadi tertawa bergelak-gelak:
„Soal itu kita tidak usah bicarakan sekarang, aku juga tidak memaksa engkau men jadi pencuri makanan, hanya mengambil makanan tanpa setahu yang empunya…!”.
„Itupun sama saja lopeh, suatu perbuatan pencuri juga !” kata Ang-toa.
„Ya…., ya,,,,,, nanti bila engkau telah lebih besar dari sekarang engkau bisa mengerti apa maksudku ! Dan syarat satunya lagi, yaitu engkau harus menjadi anggota Kaypang, yaitu perkumpulan pengemis……..! “
„Itu…….itu.. ……..”
Melihat Ang-oa ragu-ragu sipengemis telah tertawa lagi.
„Sebelum engkau, aku telah menerima murid lain orang, dan mereka semuanya telah masuk menjadi anggota Kaypang…….” menjelaskan calon guru itu.
„Tetapi…….aku harus berpakaian sebagai pengemis setiap hari?” tanya Ang-toa kemudian. ,,Benar ! Enkau keberatan?”
„Tentu saja…nanti semua orang memanggil aku sipengemis ?”
„Begitulah…….!” mengangguk le Hong Sin Kay.
„Memang selanjutnya semua orang akan memanggil kau sebagai pengemis!
Tetapi engkau tidak boleh memiliki pikiran bahwa menjadi pengemis tidak dihormati orang, asal engkau selalu melakukan perbuatan baik, pasti hasilnya juga akan menjadi baik ! Jika engkau selalu berdiri digaris keadilan, maka engkau akan disegani kawan dan lawan !
Seperti tadi pemuda Thung Liu Cie, dia telah menghormati dan ketakutan melihat diriku ! Bukankah engkau ‘telah’ menyaksikan sendiri ?”
Mendengar perkataan sipengemis tua Ie Hong Sin Kay, Ang-toa telah mengangguk angguk beberapa -kali mengiyakan.
„Baiklah, aku bersedia untuk menjadi anggota Kay-pang!” kata Ang-toa, kemudian sambil menganggukkan kepalanya.
„Dan sekarang kita sembahyang pengangkatan guru dan murid…!” kata Ie Hong Sin Kay mengajak Ang-toa kedekat meja sembahyang. Dia mengeluarkan bibit api, membakar sisa lilin yang masih ada dimeja sembahyang, lalu mereka menjalani peradatan untuk pengangkatan guru dan murid.
Ang-toa telah berlutut. dihadapan sipengemis dan berkata mengangkat sumpah „Jika memang aku Ang-toa berani kurang ajar dan menghianati perkumpulanku, Kaypang, biarlah tubuhku tidak diterima bumi dan langit dan dibacoki oleh ratusan ribu golok dan pedang..,,,,,.!”
„Bagus ! Bangunlah muridku……. dan untuk selanjutnya engkau harus belajar yang-rajin, agar kelak dengan mempergunakan kepandaianmu engkau bisa mengangkat nama baik Kaypang…….”
Ang-toa juga telah memberi hormat sambil memanggil „Suhu !” tiga kali. Selesailah sembahyang pengangkatan guru dan murid itu.
http://pustakaceritasilat.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar