*Muhasabah 30 Dzulqa'dah 1440 H*
Benarkah orang yg berniat qurban ada larangan2 cukur rambut dan potong kuku?
Ini tambahan Jawabannya 👇👇
Memang benar bahwa di antara hal-hal yang dianjurkan bagi orang yang berniat untuk menyembelih qurban, untuk selama beberapa waktu tidak mencukur rambut dan memotong kukunya, hingga selesai penyembelihan. Hal ini memang ada dasarnya, namun para ulama berbeda pendapat tentang hukumnya.
1. Pengertian
Al-Imam An-Nawawi dalam Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab menjelaskan :
Yang dimaksud dengan larangan mengambil kuku dan rambut yaitu larangan memotong kuku atau membelah atau dengan cara lainnya.
Larangan menghilangkan rambut adalah menghilangkan rambut dengan cara cukur, memotong, mencabut, membakar, mengambil dengan kapur atau dengan cara yang lainnya. Apakah itu rambut ketiak, jenggot, rambut kemaluan, rambut kepala dan rambut-rambut lain yang terdapat di badan.
2. Dalil
Dasar ketentuan bagi penyembelih hewan udhiyah untuk tidak mencukur rambut atau memotong kuku, adalah sabda Rasulullah SAW berikut ini :
إِذَا رَأَيْتُمْ هِلاَلَ ذِي الحِجَّة وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّّيَ فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ
Bila kalian melihat hilal bulan Dzulhijjah dan seseorang di antara kalian ingin berqurban, maka jagalah rambut dan kuku-kukunya. (HR. Muslim)
Selain hadits di atas, juga ada hadits shahih riwayat Muslim lainnya, yang datang dengan redaksi dan lewat jalur yang berbeda, namun materinya masih sejalan.
إِذَا دَخَل الْعَشْرُ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلاَ يَمَسَّ مِنْ شَعْرِهِ وَلاَ مِنْ بَشَرِهِ شَيْئًا
Dari Ummu Salamah Ibnuda Mukminin radhiyallahuanha bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Bila telah memasuki hari yang sepuluh dan seseorang ingin berqurban, maka janganlah dia ganggu rambut qurbannya dan kulitnya.” (HR. Muslim)
مَنْ كَانَ لَهُ ذِبْحٌ يَذْبَحُهُ فَأَهَلَّ هِلاَلُ ذِي الْحِجَّةِ فَلاَ يَأْخُذَنَّ مِنْ شَعْرِهِ وَلاَ مِنْ أَظْفَارِهِ شَيْئًا حَتَّى يُضَحِّيَ
Dari Ummu Salamah Ibunda Mukminin radhiyallahuanha bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Orang yang punya hewan untuk disembelih (sebagai qurban), lalu datanglah hilal bulan Dzulhijjah, hendaknya jangan mengambil dari rambut dan kukunya sedikit pun, hingga selesai menyembelih.” (HR. Abu Daud)
3. Perbedaan Pendapat
Namun sebenarnya para ulama berbeda pendapat tentang hal ini, apakah hadits di atas itu menjadi dasar masyru’iyah atau tidak? Dan kalau menjadi dasar masyru’iyah, mereka berbeda apakah hukumnya memang sunnah atau kewajiban?
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan dalam Al-Majmu’ bahwa setidaknya adalah lima pendapat yang berbeda, yaitu makruh (karahah tanzih), haram (karahah tahrim), makruh cukur rambut tapi tidak makruh potong kuku, bukan makruh tapi khilaful aula, dan tidak makruh kecuali bila telah masuk sepuluh hari dan berniat untuk menyembelih.
a. Mazhab Al-Hanafiyah
Dalam hal ini mazhab Al-Hanafiyah tegas mengatakan bahwa tidak ada dasar kesunnahannya untuk melarang orang yang menyembelih hewan udhiyah itu memotong rambut dan kuku.
Alasannya karena orang yang ingin menyembelih hewan qurban tidak diharamkan untuk berpakaian biasa dan berjima’. Adapun hadits di atas, menurut mazhab ini merupakan ketentuan bagi mereka yang berihram saja, baik ihram karena haji atau umrah.
Sedangkan mereka yang tidak dalam keadaan berihram, tidak ada ketentuan untuk meninggalkan cukup rambut dan potong kuku.
b. Mazhab Al-Malikiyah dan Asy-Syafi’iyah
Mazhab Al-Malikiyah dan Asy-Syafi’iyah menyebutkan bahwa hukumnya sunnah, maksudnya disunnahkan untuk tidak mencukur rambut dan tidak memotong kuku sampai selesai penyembelihan.
Asy-Syairazi (w. 476 H) dari kalangan mazhab Asy-syafi’iyah dalam matan Al-Muhazzabmenyebutkan :
ولا يجب عليه ذلك لأنه ليس بمحرم فلا يحرم عليه حلق الشعر ولا تقليم الظفر
Dan hal itu bukan kewajiban, karena dia tidak dalam keadaan ihram. Maka tidak menjadi haram untuk memotong rambut dan kuku.[1]
Kedua mazhab ini menyimpulkan bahwa hadits Ummu Salamah di atas bukan sebagai larangan yang bersifat haram (karahatu at-tahrim), melainkan sebagai larangan yang bersifat makruh (karahatu at-tanzih).
Selain itu yang membuat mahzhab ini tidak mewajibkan, karena ada hadits lain yang membolehkan atau tidak mengharamkan potong kuku dan rambut, yaitu haditsdari Aisyah yang menguatkan bahwa larangan Nabi SAW bukan bersifat keharaman.
كُنْتُ أَفْتِلُ قَلاَئِدَ هَدْيِ رَسُولِ اللهِ ثُمَّ يُقَلِّدُهاَ بِيَدِهِ ثُمَّ يَبْعَثُ بِهَا وَلاَ يُحْرِمُ عَلَيْهِ شَيْءٌ أَحَلَّهُ اللهُ لَهُ حَتىَّ يَنْحَرَ الهَدْيَ
Dari Aisyah radhiyallahuanha, beliau berkata,”Aku pernah menganyam tali kalung hewan udhiyah Rasulullah SAW, kemudian beliau mengikatkannya dengan tangannya dan mengirimkannya dan beliau tidak berihram (mengharamkan sesuatu) atas apa-apa yang dihalalkan Allah SWT, hingga beliau menyembelihnya. (HR. Bukhari Muslim)
c. Mazhab Al-Hanabilah
Sedangkan mazhab Al-Hanabilah mengatakan hukumnya wajib, maksudnya wajib menjaga diri untuk tidak mencukur rambut dan memotong kuku.
4. Hikmah
Sebagian ulama mengatakan bahwa hikmah dari tidak mencukur rambut dan memotong kuku adalah agar seluruh bagian tubuh itu tetap mendapatkan kekebalan dari api neraka. Sebagian yang lain mengatakan bahwa larangan ini dimaksudnya biar ada kemiripan dengan jamaah haji.
Sedangkan mazhab Al-Hanafiyah berargumentasi bahwa orang yang mau menyembelih hewan udhiyah tidak dilarang dari melakukan jima’ atau memakai pakaian, maka tidak ada larangan atasnya untuk bercukur maupun memotong kuku.
Menurut hemat Penulis, wallahu a’lam, hadits di atas berlaku hanya untuk para jamaah haji yang memang di antara larangannya adalah bercukur dan memotong kuku.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc., MA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar