Rabu, 06 Juni 2018

MENGEMBANGKAN STRATEGI DAKWAH KONTEMPORER

Oleh : Al Azzad 

Sebagai seorang muslim khususnya mubaligh yang memiliki potensi serta ilmu agama yang cukup, maka sudah seharusnya melakukan misi dakwah amar ma’ruf nahi mungar kapan saja, dimana saja dan bagaimana pun keadaan dan kondisinya. Melihat canggihnya teknologi saat ini, membuat semua kalangan mudah mendapatkan informasi termasuk ilmu agama. Hanya saja ummat pun semakin banyak bingung dan tidak mampu memahami agama secara kaffah dan totalitas yang merujuk pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Problematika kontemporer sangat kompleks dan terus mengalami perkembangan dari masa ke masa, sehingga ummat kesulitan memahami agama dalam konteks kehidupan sehari-hari di era kontemporer. Kecendrungan akal sebagai bentuk rasionaltas adalah ciri pola pikir manusia saat ini, sehingga kelemahannya ialah terlalu mudah untuk menafsirkan sesuatu dengan pendekatan hawa nafsu dan nafsi atau hanya atas dirinya sendiri sebagai keinginan ataupun kebutuhannya. Tren di masyarakat yang semakin materialistis ekstim membuat gaya hidup yang sangat hedonis dan konsumtif. Hal itu dapat menyebabkan ummat hanya berpikir dan bertindak untuk mencari uang serta keuntungan semata dengan menabrak kaidah, syariat dan ajaran Islam itu sendiri. Pada akhirnya menghalalkan segala cara pun akan dilakukan, memakan riba yang terkadang sudah tahu ilmunya, bertidak sangat koruptif dalam hal apapun, memperkaya diri dengan jalan kebatilan, tidak lagi memiliki kesadaran untuk menolong ataupun berbagi terhadap sesama dan tidak lagi memiliki kesadaran untuk memajukan ummat atau masyarakat.

Untuk menghadapi kompleksitas problem dan persoalan ummat di era kontemporer perlu dilakukan dakwah strategis untuk bisa menjawab serta mencerahkan lagi menggembirakan ummat dengan risalah kebenaran Islam dm menghadapinya. Kemajuan dalam hal ilmu pengetahuan teknologi dan komunikasi bukan menutup sebuah jalan dakwah amar ma’rufnahi mungkar, melainkan justru memberi pelajaran dan membimbing ummat dengan sumber yang tidak akan pernah matioleh zaman yakni Al-Qur’an dan As-Sunnah. Perlu adanya progersivitas dakwah dalam menghadapinya dengan melakukan strategi dakwah kontemporer yang mengintgrasikan nilai spritualitas dengan rasionalitas sehingga memberi pencerahan dan dapat menjawab segala persoalan ummat di era kontemporer. Dakwah yang sangat kretaif, inovatif, dan konstruktif adalah bagian dari misi dakwah kontemporer yang disajikan untuk umat modern saat ini.kecendrungan masyarakat atau ummat modern ialah mudah bosan, gampang lelah, berpikir instan, apatis terhadap isu sosial, lemah dalam sebuah gerakan, dan selalu berorientasi profit atau untung rugi. Sehingga dakwah yang bisa masuk dan diterima ialah dakwah yang menggembirakan dan mencerahkan umma tanpa harus menghakimi atau menyudutkan segala bentuk kegiatannya yang masih dalam ranah syariat, maslahat,positif dan bermanfaat. Hanya saja memang butuh kehati-hatian dalam menghadapinya, disebabkan manusia saat ini yang sangat modernis sangat individulalistis sehingga sangat rentan terhadap aspek sosial. Strategi merupkan bentuk formulasi yang diatur secara sistematis dan rapi serta disesuaikan dengan sistuasi dan kondisi yang sedang berkembang agar tercapai pada tujuannya. Oleh karena itu, strategi yang sangat baik harus bersifat dinamis, humanis, dan agamis. Sedangkan dakwah adalah ajakan, seruan, panggilan dalam hal kebaikan yakni amar ma’ruf nahi mungkar agarkembali pada ajaran Allah dan Islam sebagai tujuan dan pedoman hidup yang berlandaskan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dakwah tidak hanya sekedar hak dan kewajiban melainkan bagian ruhul nihad danruhul ikhlas yang harsu ditanamkan oleh para dai, daiah, muballigh dan muballighat. Kemudian kontemporer ialah waktu masa sekarang, kekinian, saat ini, dewasa ini yang menjadi era kemajuan manusia dalam mencapai sebuah ilmu pengetahuan yang sangat majudan berkembang. Maka strategi dakwah kontemporer ialah formulasi dakwah yang berkemajuan untuk menggembirakan ummat manusia dalam menerimakebenaran yang hakiki dari Allah SWT.

Adapun konsep dan langkahnya dalam melakukan strategi dakwah kontemporer ialah dengan beberapa tahapan berikut, yakni :

Dakwah For Education, Dakwah For Experience, Dakwah For Exhibition, Dakwah For Exploration, Dakwah For Entertainment.

Melihat era kontemporer, dakwah harus dilakukan dengan berbagai sarana dan prasarana yang ada atau dsebut juga dengan media dakwah. Dengan demikian konsep dakwah yang dilakukan secara strategis dan dinamis dapat berjalan sesuai dengan syariat Islam.

Dakwah For Education maksudnya adalah dakwah untuk Pendidikan baik dikalangan terpelajar maupun masyarakat umum atau awwam, sehingga proses dakwah sangat mendidik dan memberikan edukasi kepada ummat. Dakwah For Education sama saja dengan konsep Tarbiyah dan Taklim, hanya saja dakwah ini lebih dikemas secara apik dan modernis dengan nilai-nilai kemajuan dan perubahan serta perkembangannya. ”Dan (Ingatlah) ketika Luqman Berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar”. Dari ayat tersebut sangat jelas dan dapat kita ambil pokok pikiran, pelajaran, proses pembelajarannya sebagai berikut: 1. Orang tua wajib memberi pendidikan kepada anak-anaknya. 2. Prioritas pertama adalah penanaman akidah, pendidikan akidah diutamakan sebagai kerangka dasar/landasan dalam membentuk pribadi anak yang soleh (Kompetensi Profesional). 3. Dalam mendidik hendaknya menggunakan pendekatan yang bersifat kasih sayang, sesuai makna seruan Lukman kepada anak-anaknya, yaitu “Yaa Bunayyaa” (Wahai anak-anakku), seruan tersebut menyiratkan muatan kasih sayang/sentuhan kelembutan dan kemesraan, tetapi dalam koridor ketegasan dan kedisplinan, bukan berarti mendidik dengan keras. (Kompetensi Personal).

Syed Muhammad Naquib Al-Attas (1980) berpendapat bahwa pendidikan tidak hanya mengenal sesuatu dan mengembangkan potensi yang ada, tetapi juga harus mampu membimbing dirinya menuju pengenalan dan pengakuan terhadap Allah SWT. Karena itu, ia menawarkan sebuah konsep yang dapat mewakili dari maksud dan tujuan pendidikan dalam Islam, yaitu konsep ta’dib. Konsep ta’dib menurut Al-Attas mencakup disiplin tubuh, jiwa, dan ruh; disiplin yang menegaskan pengenalan dan pengakuan tempat yang tepat dalam hubungannya dengan kemampuan dan potensi jasmaniah, intelektual, dan ruhaniah. Menurutnya, pendidikan dalam Islam harus membentuk pribadi yang baik (good man), Karena itu pendidikan dalam Islam tidak terbatas pada masalah pengembangan intelektual semata. Al-Ghazali (1058-1111) pun memandang sama tentang pendidikan. Ia berpendapat bahwa tujuan pendidikan dalam Islam meliputi tiga aspek, yaitu keilmuan, kerohanian, dan ketuhanan. Aspek keilmuan, yang mengantarkan manusia agar senang berpikir, menggalakkan penelitian dan mengembangkan ilmu pengetahuan, menjadi manusia yang cerdas dan terampil. Aspek kerohanian, yang mengantarkan manusia agar berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur dan berkepribadian kuat. Aspek Ketuhanan, yang mengantarkan manusia beragama agar dapat mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat. Dengan demikian pendidikan dalam Islam sangat memperhatikan pembentukan kepribadian dengan menekankan aspek moral, spiritual dan intelektual.

Dengan demikian, dakwah dan pendidikan memiliki kesamaan tujuan, yaitu membentuk kepribadian manusia yang utuh dan berakhlak mulia. Maka dakwah melalui pendidikan sangat tepat untuk menjawab tantangan dakwah seperti dikemukakan di awal. Karena itu, tidak sedikit lembaga-lembaga Islam melakukan dakwah melalui pendidikan dengan mendirikan lembaga-lembaga pendidikan—seperti Muhammadiyah. Basya tahun 2009 dalam artikelnya mengungkapkan bahwa Muhammadiyah  sebagai gerakan modernis, sejak awal telah menyediakan pendidikan modern bagi umat Islam. Karena itu Muhammadiyah mendirikan lembaga pendidikan mulai dari Taman Kanak-Kanak sampai Universitas. Begitu pula lembaga-lembaga Islam lainnya banyak yang mendirikan lembaga pendidikan baik yang formal maupun non formal, seperti Persatuan Islam mendirikan banyak pesantren. Termasuk mendirikan Sekolah Tinggi Agama Islam. Nahdhatul Ulama pun ikut mendirikan pesantren-pesantren. Namun, dalam pelaksanaannya langkah ini, belum mampu memberikan hasil yang optimal. Begitu banyak lembaga dakwah yang menggarap bidang pendidikan, tetapi tujuan pendidikannya belum tercapai, baik tujuan pendidikan dalam Islam maupun tujuan pendidikan nasional. Sebaliknya, dekadensi moral di kalangan umat Islam terus menggelinding seperti bola salju.

Dakwah For Experience maksudnya adalah dakwah untuk pengalaman hidup yang dijadikan sebagai landasan serta proses pembelajaran bagi para mubaligh untuk terus berupaya berdakwah dari waktu ke waktu. Sehingga dengan strategi tersbut diharapkan kematangan konsep dan kedewasaan berpikir serta kesalehen sosial semakin tampak eksis yang bisa diterima oleh masyrakat luas. Ibnu Hajar rahimahullah pernah menyampaikan cerita tentang sebagian penuntut ilmu, bahwasanya ada di antara mereka yang melakukan perjalanan ke Damaskus untuk menimba hadits dari seorang Syaikh tersohor yang ada di sana. Lalu ia pun belajar dan membacakan beberapa hadits di hadapan Syaikh tersebut. Akan tetapi Syaikh itu selalu membatasi antara diri dengan murid-muridnya dengan sebuah tabir, sehingga mereka tidak dapat melihat wajahnya secara langsung. Ketika seorang murid tersebut telah lama mengambil ilmu darinya, dan ia mengetahui betapa antusias murid yang satu ini, akhirnya ia membuka tabir agar muridnya itu dapat melihat wajahnya. (Setelah dibuka) ternyata rupa Syaikhnya berwujud keledai. Kemudian Syaikh tersebut berkata seraya menasehati: “Berhati-hatilah wahai muridku dari mendahului imam (dalam shalat), karena sesungguhnya aku pernah membaca sebuah hadits dan aku menganggap hal itu tidak mungkin terjadi. Lalu aku pun mendahului imam dan ternyata wajahku berubah seperti yang engkau lihat sekarang ini. [al-Qaul al-Mubin fi Akhta` al-Mushallin, karya Syaikh Masyhur Hasan Alu Salman, hlm. 252, cetakan Dar Ibnul Qayyim dan “Tidakkah takut orang yang mengangkat kepalanya sebelum imam, Allah akan merubah kepalanya menjadi kepala keledai?! (HR. al-Bukhari dan Muslim)Semoga Allah merahmati Syaikh dan mengampuni dosanya. Meskipun ia pernah meragukan sebuah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun alhamdulillah ia bertaubat kepada Allah dan menasehati murid-muridnya agar tidak meragukan, melecehkan atau menentang sunnah yang datang dari beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dakwah For Exhibition maksudnya adalah dakwah untuk seni yang dipertunjukkan melalui retorika dakwah yang sesaui dengan konsep Al-Qur’an dan As-Sunnah, sehingga tidak terlalu israf atau berlebihan dalam menyampaikan dakwah serta tidak pula tidakbegitu lemah dan loyo dalam berdakwah. Dakwah memang harus ditunjukkan secara totalitas, all out dan semaksimal mungkin agar pesan dakwah dan materi dakwah dapat diterima serta diamalkan oleh ummat. Sejarah seni pertunjukkan juga mengalami perkembangan, mulai dari seni pertunjukkan klasik, tradisional, modern, dan kontemporer. Namun, pada pembahasan kali ini akan dibahas berkaitan dengan seni pertunjukkan Adapun relasi antara seni pertunjukkan Indonesia dengan Islam sebagai berikut: Bentuk-bentuk seni yang sudah ada sebelum diperkenalkan Islam, kemudianberubah dengan adanya pengaruh Islam. Jadi, ketika Islam masuk segala bentuk seni yang ada dalam masyarakat mendapat pengaruh dari Islam. Seni baru yang ketika diperkenalkan ke Indoensia sudah bermuatan Islam. Beberapa karya kontemporer yang tidak terikat secara ketat dengan tradisi tertentu, tetapi kesan Islam tampil lebih jelas seperti yang dicontohkan sunan kalijaga. Metode dakwah Sunan Kalijaga tersebut dianggap sangat cerdik. Antara seni, kebudayan tanpa mereduksi esensi ajaran Islam dapat diharmonikan oleh Sunan Kalijaga. Sehingga dalam penyebaran agama Islam tak sampai menimbulkan reaksi negatif di kalangan masyarakat yang fanatik dengan tradisi leluhurnya. Ada karakter wayang yang sangat khas Indonesia. Kehadiran karakter lokal itu tidak lepas dari peran Sunan Kalijaga. Walaupun pada umumnya kisah pewayangan menggunakan lakon Ramayana dan Mahabarata yang masih ada hubunganya dengan ajaran Hindu, Sunan Kalijaga tidak kehilangan kecerdikanya dalam berdakwah. Sunan Kalijaga meramu dakwahnya sedemikian rupa sehingga sampai saat ini pertunjukan wayang identik dengan ajaran moral pribadi, moral sosial, serta moral ketuhanan atau moral religius yang bernafaskan Islam. Karakter-karakter wayang yang dibawakanya pun beliau tambah dengan karakter baru yang mencerminkan nafas Islam. Misalnya karakter Punakawan yang terdiri atas Semar, Bagong, Petruk, dan Gareng adalah karakter yang sarat dengan muatan Islam khas Indonesia. Kehadiran karakter lokal itu melambangkan orang kebanyakan. Karakternya mengindikasikan bermacam-macam peran, seperti penasihat para kesatria, penghibur, kritik sosial, badut, bahkan sumber kebenaran dan kebijakan.

Dakwah For Exploration maksudnya adalah dakwah untuk dikembangkan secara luas, dieksplorasikan ke berbagai aspek kehidupan baik dari kalangan komunitas, LSM, kelompok masyarakat dan sebagainya. Dakwah yang dieksplor ke seluruh penjuru baik terpencil, desa dan perkotaan adalah lahan dakwah yang semuanya bersifat potensial untuk menggerakkan dan mecerahkan ummat agar tetpa berbahagia dengan Islam. Dakwah yang dieksplorasikan secara luas, kompleks, totalitas, seluruh dimensi, berbagai bidang media, wilayah dan daerah adalah bentuk ekplorasi dakwah yang sangat menggaung dan menggema ke seluruh dunia untuk membangun peradaban Islam secara luas. Seorang da’i harus memurnikan niatnya untuk mengajak kepada agama Allah, semata-mata mencari ridhaNya, bukan mengajak kepada dirinya sendiri, kelompoknya, atau pendapat dan fikirannya. Juga tidak dengan niat untuk mengumpulkan harta, meraih jabatan, mencari suara, atau tujuan dunia lainnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak akan menerima dari semua jenis amalan kecuali yang murni (ikhlas) untukNya dan untuk mencari wajahNya. [HR Nasa-i, no. 3140. Lihat Silsilah Ash Shahihah, no. 52; Ahkamul Janaiz, hlm. 63]. Oleh karena itulah, Allah memerintahkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengatakan, bahwa Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak meminta upah dalam menyampaikan Al Qur`an kepada mereka.

Allah Azza wa Jalla berfirman:

قُل لآ أَسْئَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا إِنْ هُوَ إِلاَّ ذِكْرَى لِلْعَالَمِينَ

“Katakanlah: “Aku tidak meminta upah kepadamu dalam menyampaikan (Al Qur`an)”. Al Qur`an itu tidak lain hanyalah peringatan untuk segala umat.” [Al An’am : 90]. Karena, jika Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta upah, maka hal itu akan menyebabkan umat menjadi keberatan dan menjauh. Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di t berkata di dalam tafsirnya: “Yaitu: Aku tidak meminta pajak atau harta dari kamu sebagai upah tablighku dan dakwahku kepada kamu, karena itu akan menjadi sebab-sebab penolakan kamu. Tidaklah upahku, kecuali atas tanggungan Allah”. [Taisir Karimir Rahman, surat Al An’am : 90].

Dalam ayat lain Allah Azza wa Jalla berfirman:

أَمْ تَسْئَلُهُمْ أَجْرًا فَهُم مِّن مَّغْرَمٍ مُّثْقَلُونَ

“Ataukah engkau meminta upah kepada mereka sehingga mereka dibebani dengan hutang”. [Ath Thur : 40]. Dakwah dengan tanpa meminta upah, itu merupakan bukti kebenaran dakwah tersebut. Allah Azza wa Jalla mengisahkan tiga rasulNya yang diutus bersama-sama, kemudian semuanya diingkari oleh kaum mereka. “Dan datanglah seorang laki-laki dari ujung kota dengan bersegera, ia berkata: “Hai kaumku ikutilah utusan-utusan itu, ikutilah orang yang tidak meminta upah (balasan) kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk”. [Yasin : 20-21]. Nabi-nabi zaman dahulu juga tidak meminta upah kepada kaum mereka. Allah Azza wa Jalla memberitakan bahwa Nabi Nuh, Nabi Hud, Nabi Shalih, Nabi Luth, Nabi Syu’aib -‘alaihimus salam- berkata kepada kaumnya masing-masing: “Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan-ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Rabb semesta alam”. [Asy Syu’ara’ ayat 109, 127, 145, 164, 180].

Sungguh sangat disayangkan, umat Islam terlanjur kecewa karena para da'i yang ada tidak mengenal ilmu-ilmu modern yang berkembang di masa sekarang. Oleh karena itu, mayoritas umat Islam terlanjur merasa kecewa atas kemunduran cara berpikir para da'i. Sebab, mana mungkin seorang da'i akan menerangkan tentang berbagai ilmu modern yang tidak pernah ia pelajari. Perlu diketahui bersama, bahwa apabila seorang da'i dibutuhkan untuk menerangkan suatu permasalahan yang berkembang di masanya, akan tetapi ia tidak memiliki cukup ilmu guna menerangkannya, maka mana mungkin ia sanggup memahami makna kewajiban dari amar ma'ruf nahi munkar yang mesti ia sampaikan. Sudah tentu jawabannya adalah tidak. Bahkan, para d'ai dimaksud dituntut untuk mempelajari serta menggali berbagai ilmu pengetahuan sebanyak-banyaknya, terutama yang berkaitan dengan strategi dakwah, agar ia dapat menerangkan materi dakwahnya kepada orang lain dengan baik. Sebab, menuntut ilmu untuk memajukan tujuan dakwahnya kepada orang juga termasuk kewajiban bagi seorang da'i. Dewasa ini banyak kaum muda yang sibuk mempelajari berbagai cabang ilmu pengetahuan modern, seperti fisika, kimia, dan ilmu astronomi. Hingga sudah menjadi kewajiban bagi setiap da'i untuk mempelajari ilmu-ilmu yang berkembang di masa yang sama, agar ia dapat menerangkan materi dakwahnya dengan cara-cara yang modern pula, yang dapat diterima oleh masyarakatnya.

Perlu untuk segera dipahami secara saksama, bahwa alam semesta dan segala apa yang terjadi di dalamnya merupakan bahasa yang mesti diapresiasi sesuai dengan kehendak-Nya. Oleh karena itu, setiap mukmin wajib mempelajari bahasa dimaksud, dan berpegang teguh pada setiap tunas yang berkembang di dalam perkembangannya. Jika tidak, maka ia tidak akan mengerti sedikit pun tentang firman-firman Allah Swt. yang membicarakan perihal pengetahun yang ada di sekeliling kita. Jika seorang da'i tidak memahami rahasia perkembangan ilmu pengetahuan yang terus berjalan sesuai masanya, maka ia akan tersisih dari masyarakatnya. Dan harus diingat pula, bahwa ada sebagian dari firman Allah Azza wa Jalla yang menerangkan tentang fungsi alam semesta, utamanya yang berkaitan dengan perkembangan ilmu-ilmu modern seperti saat ini. Tentunya, seorang da'i yang membaca dan sekaligus menelaah Al- Qur'an, namun ia bersikap tidak mau (enggan) mempelajari ilmu-ilmu modern, maka dapat dipastikan ia tidak akan bisa memahami firman-firman Allah dalam konteks dimaksud. Sehingga ia akan termasuk seorang da'i yang melalaikan bagian yang juga penting dari ajaran Al-Qur'an; meskipun ia dapat menamatkan bacaan isinya setiap hari. Allah Yang Mahabijak sengaja menurunkan Al-Qur'an kepada manusia, agar mereka mempelajari dan memikirkan kandungan ayat-ayat-Nya. Jadi, siapa saja yang ingin membela Al-Qur'an, maka hendaknya ia mempelajari ilmu-ilmu yang diterangkan di dalam Al-Qur'an, tanpa kecuali. Hingga perlu untuk dipahami pula, bahwa setiap dakwah yang disampaikan oleh para da'i, meskipun mereka menyampaikannya dengan sempurna serta baik, akan tetapi belum tentu dakwahnya akan diterima dengan baik oleh para pendengarnya, akibat para da'i-nya tidak mengerti kemajuan ilmu pengetahuan modern yang bersinggungan secara langsung dengan materi yang disampaikannya.

Setiap penjelasan yang disampaikan oleh seorang da'i yang tidak bisa dipahami oleh akal orang-orang di masanya, maka keterangan itu tidak akan mendekatkan para pendengarnya kepada Al-Qur'an. Bahkan akan menjauhkan mereka dari Al-Qur'an, karena mereka menganggap Al-Qur'an sebagai sumber pengetahuan yang tidak lagi update. Para sahabat Rasulullah Saw. mempunyai pengetahuan lebih maju dari masyarakat yang ada di masa mereka. Sehingga mereka dapat menerangkan kepada orang-orang jahil berbagai pengetahuan baru (update di masa mereka) yang mereka terima secara langsung dari Al-Qur'an. Demikian pula para da'i yang datang setelah generasi para sahabat juga mempunyai pengetahuan yang lebih luas dari apa yang diketahui masyarakat di masa mereka. Misalnya Imam al-Ghazali. Ia seorang ulama yang mengarahkan berbagai cabang ilmu pengetahuan yang mengagumkan orang-orang di masanya. Bahkan kekaguman mereka berlangsung untuk waktu beberapa masa setelah wafatnya Imam al-Ghazali. Bahkan tokoh yang sekaligus ilmuwan Barat Gibb dan Rinan sangat kagum terhadap pemikiran Imam al-Ghazali; sebagaimana yang pernah mereka ungkapkan secara langsung sebagai berikut, “Kami tidak pernah mendapatkan seorang pun yang tingkat berpikir dan sekaligus keluasan ilmu pengetahuannya sama dengan Imam al-Ghazali pada masanya.” Kejadian semacam itu selalu terjadi berulang kali di setiap masa pada masamasa kejayaan Islam. Seperti para tokoh pembaharu sekelas Imam Rabbani, Khalid, dan para sahabat mereka. Para tokoh dakwah semacam itu menerangkan dakwah mereka dengan bukti-bukti ilmiah yang berkembang pada masanya, sehingga pembicaraan mereka diterima secara baik oleh para pendengar mereka.

Dakwah For Entertainment maksudnya adalah dakwah untuk hiburan serta menghibur hati masyarakat yang mencerahkan lagi menggembirakan hati serta dapat diterima yang kemudian menjadi amalan praktis ummat. Hiburan yang dimaksud bukan hiburan malam, hiburan negative atau hiburan-hiburan lainnya yang tidak sesuai dengan ajaran Islam tentunya, merangkul ummat dengan baik dan mengajarkannya arti Islam melalui dakwah yang menghibur dengan materi kisah dsb. Hiburan dan dakwah seringkali dihadapkan secara berseberangan. Seolah hiburan bertentangan dengan dakwah islamiyah, dan sebaliknya dakwah islamiyah harus jauh denngan hiburan. Penghadapan hiburan dan dakwah memang berlasan, sebab seringkali hiburan tidak mengindahkan etika dan ajaran agama. Sebaliknya, penyampaian ajaran agamatidak diperkenankan dilakukan secara comedian, dalam artian ajaran agama tidak diperkenankan dijadikan sebagai bahan guyonan (gurauan). Sebab penyampaian ajaran agama secara gurauan dikhawatirkan agama menjadikan ajaran agama sebagai bahan ejekan belaka. Pembahasan dilakukan dengan berpijak pada substansi atau filosofi daakwah itu sendiri. Dengan demikian, permasalahan dakwah dikaji dengan pendekatan filsafat, khususnya filsafat sosial. Dengan tujuan agar ditemukan pemahaman bahwa dakwah tidak dilakukan secara formal dan hitam putih, tetapi lebih bersifat fungsional, sehingga secara perlahan akan dapat mempengaruhi dan mengisi ruang ideologis kehidupan bermasayarakat yang menjadi obyek dakwah.

Dakwah dalam konteks sosial yang dipenuhi dengan perkembangan teknologi komunikasi tidak dapat dilakukan secara hitam putih. Teknologi komunikasi telah menjadi sarana berkomunikasi masyarkat secara efektif dan bahkan massif, sehingga siapapun tidak dapat mengelak dari perkembangan ini. Pada saat dakwah dilakukan secara fungsisonal, yakni bagaimana teknologi komunikasi yang telah merambah dalam berbagai dimensi sosial, maka nilai-nilai agama secara perlahan akan menjadi bagian dari kerangka berpikir masyarakat. Sebagaimana gerakan Pan Amerikana yang dilakukan oleh negara super power dengan memanfaatkan media sosial yang ada, di antaranya adalah media hiburan dalam hal ini film, secara ampuh telah menggiring opini dunia sebagaimana yang diinginkan. Islam jika didakwahkan secara fungsional, dengan memanfaatkan media massa yang ada, seni, budaya, termasuk film, akan dapat membangun ideology keislaman secara perlahan dan tanpa disadari. Islam tidak dianut secara formal saja, tetapi juga dipraktikkan dan menjadi bagian dari kerangka berpikir masyarakat secara umum. Itulah yang kita harapkan. Untuk itu, komedia, seni, film, dan sebagainya harus disadari sebagai sarana dan media dakwah yang efektif. Oleh karenanya, para pelaku dakwah (dai) seyogyanya memanfaatkan itu semua demi perkembangan dakwah islamiyah. Kini marilah kita bicarakan tentang permasalahan yang sering dianggap tidak penting, akan tetapi tidak boleh ditinggalkan. Yaitu, hendaknya seorang da'i senantiasa peduli secara sungguh-sungguh untuk membina pemikiran umat yang menjadi sasaran dakwahnya, dan jangan sampai ia justru mempersempit ruang pemikiran mereka. Pada masa kita sekarang ini umat Islam terbagi menjadi cukup banyak kelompok. Oleh karena itu, setiap da'i harus memahami benar perasan masing-masing kelompok yang terlanjur ada, agar tidak menyakiti perasaan kelompok tertentu. Sehingga segala bentuk nasihat dan petunjuk yang disampaikan tidak cenderung ditolak oleh mereka. Setiap da'i hendaknya mempunyai qalbu yang lapang, toleransi yang cukup kepada kelompok-kelompok yang lain. Sebab, Allah Swt. tidak ridha jika ada seorang da'i yang mencaci segolongan orang atau kelompok di luar kelompoknya sendiri. Allah Yang Mahaadil tidak akan ridha kepada siapa saja yang menyakiti perasaan orang lain, apalagi menyakiti perasaan orang-orang beriman, atau memutuskan hubungan persaudaraan dengan mereka (kelompok lain). Tujuan utama seorang da'i adalah mengajak orang ke jalan Allah yang Esa, tanpa membiarkan ada atau berkembangnya potensi perpecahan di antara mereka. Kalau seorang da'i menyakiti kelompok yang lain, maka ia tidak akan sanggup mempersatukan perbedaan pendapat di antara umat Islam. Bahkan ia akan cenderung memperbesar perpecahan di antara sesama. Pengetahuan seorang da'i terhadap pemikiran dan keyakinan setiap kelompok dalam masyarakat Islam perlu diperluas. Sebab, ia bertugas menyatukan pemikiran di antara umat Islam. Jika berdakwah merupakan suatu kewajiban, maka mempelajari cara berdakwah yang terbaik merupakan kewajiban yang lain. Misalnya, jika musuh tiba-tiba menyerangmu dengan senjata mesin, maka engkau harus menghadapi mereka dengan senjata yang serupa, agar engkau tidak mati konyol dibuatnya. Jika seorang da'i tidak mengetahui cara berdakwah yang baik, maka usaha dakwahnya tidak akan pernah berhasil, malah akan berbuah sebaliknya. Oleh karena itu, mempelajari cara berdakwah yang baik adalah suatu ilmu yang tidak boleh dilupakan oleh setiap da'i.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar