Oleh: Iqbal Aji Daryono
Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada rasa sombong meski cuma seberat dzarrah pun.
Hadis riwayat Ibnu Mas'ud itu selalu bikin merinding. Dzarrah adalah biji sawi, dan ada juga yang menerjemahkannya dengan 'atom'. Yowis pokokmen sesuatu yang ukuran dan massa jenisnya kueciiiiil byanget, gitu lah.
Bayangkan saja, jika ada sak-iprit saja kesombongan di hati kita, kita nggak akan masuk surga. Lha kalo nggak ke surga, lantas ke mana? Kita tahu jawabannya.
Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain, kata Nabi. Itu sifat dasar Iblis. Nah, ini semakin bikin merinding. Kita tidak pernah 100% tahu yang manakah kebenaran itu. Karena itulah tiap kali mengatakan sesuatu yang kita anggap benar, masih perlu disusul dengan kalimat "Wallahu a'lam". Sebab pada hakikatnya manusia tidak tahu sepenuhnya, dan hanya Tuhan yang tahu.
Maka selalu tertancap di ingatan saya ucapan Cak Nun di UII waktu itu. "Tugas kita bukanlah menjadi benar, sebab kita tidak pernah sungguh-sungguh tahu yang manakah yang benar. Tugas kita hanyalah berikhtiar, agar terus-menerus cenderung kepada kebenaran."
Sementara itu, apa yang kita yakini benar belum tentu diyakini juga oleh orang lain sebagai benar. Mumet, kan? Lalu siapa yang sombong?
Barangkali yang sombong adalah orang yang tahu (dengan kacamatanya sendiri) bahwa sesuatu hal adalah tidak benar, tapi tetap ia ikuti dan ia katakan benar. Jadi yang paham apakah seorang manusia sombong, menolak kebenaran atau tidak, hanyalah si manusia itu sendiri, dan Tuhan Yang Maha Mengetahui Isi Hati. Bukan manusia lain sebagai penilainya.
Makna sombong yang kedua adalah meremehkan orang lain, menganggap orang lain lebih rendah, sembari meletakkan diri sendiri lebih tinggi. Ini yang paling sulit bahkan mendekati mustahil untuk dihindari oleh spesies manusia.
Kita merasa lebih pintar, lebih berilmu, lebih kritis, lebih intelek daripada orang lain. Maka kita sombong. Kita merasa lebih sholeh, lebih taat beribadah, lebih syar'i, lebih membela agama ketimbang orang lain. Berarti kita sombong. Kita merasa lebih jujur, lebih bersih, lebih toleran, lebih cinta damai dibanding orang lain. Sudah jelas, itu artinya kita sombong.
Bahkan, kita merasa lebih-tidak-sombong alias lebih tawadhu' dibanding orang lain pun, pada hakikatnya kita sudah sombong. Kita bilang "Aku mungkin tidak sholeh, tapi setidaknya aku tidak pernah merasa baik." Nah, itu artinya secara sangat halus kita bilang bahwa kita baik, bukan? Ya, kita merasa baik karena berperangai baik berupa "tidak pernah merasa baik". Apakah itu bukan sejenis kalimat yang menjebak hati kita sendiri hingga menjadi sombong?
Padahal, tidak akan masuk surga orang yang di hatinya ada rasa sombong meski cuma seberat atom pun. Omaigat....
Saya sadar saya sendiri orang yang sombong. Sangat sombong. Saya sering merasa lebih pintar, lebih logis, lebih kritis, lebih terampil menulis, lebih lucu, lebih sayang anak, lebih gayeng, lebih islami (dalam konsep Islam yang saya yakini) dibanding banyak orang lain. Saya beristighfar dan meminta maaf kepada sampean semua.
Mungkin permintaan maaf ini justru malah membuat saya jatuh ke perasaan "lebih rendah hati dan lebih gampang meminta maaf daripada orang lain", dan artinya membuat saya jauh lebih sombong lagi. Tapi ya gimana, Bang. Emangnya bisa kita benar-benar steril dari rasa sombong?
Oh, Anda bisa? Jika Anda punya hati yang bisa aman dari rasa sombong, mohon sampaikan di komen. Saya berjanji, jika diparingi umur, saya akan sowan dan berguru kepada Anda. Matur nuwun saestu. Saya sangat mengharapkan itu.
Allahu ta'ala a'lam.
Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada rasa sombong meski cuma seberat dzarrah pun.
Hadis riwayat Ibnu Mas'ud itu selalu bikin merinding. Dzarrah adalah biji sawi, dan ada juga yang menerjemahkannya dengan 'atom'. Yowis pokokmen sesuatu yang ukuran dan massa jenisnya kueciiiiil byanget, gitu lah.
Bayangkan saja, jika ada sak-iprit saja kesombongan di hati kita, kita nggak akan masuk surga. Lha kalo nggak ke surga, lantas ke mana? Kita tahu jawabannya.
Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain, kata Nabi. Itu sifat dasar Iblis. Nah, ini semakin bikin merinding. Kita tidak pernah 100% tahu yang manakah kebenaran itu. Karena itulah tiap kali mengatakan sesuatu yang kita anggap benar, masih perlu disusul dengan kalimat "Wallahu a'lam". Sebab pada hakikatnya manusia tidak tahu sepenuhnya, dan hanya Tuhan yang tahu.
Maka selalu tertancap di ingatan saya ucapan Cak Nun di UII waktu itu. "Tugas kita bukanlah menjadi benar, sebab kita tidak pernah sungguh-sungguh tahu yang manakah yang benar. Tugas kita hanyalah berikhtiar, agar terus-menerus cenderung kepada kebenaran."
Sementara itu, apa yang kita yakini benar belum tentu diyakini juga oleh orang lain sebagai benar. Mumet, kan? Lalu siapa yang sombong?
Barangkali yang sombong adalah orang yang tahu (dengan kacamatanya sendiri) bahwa sesuatu hal adalah tidak benar, tapi tetap ia ikuti dan ia katakan benar. Jadi yang paham apakah seorang manusia sombong, menolak kebenaran atau tidak, hanyalah si manusia itu sendiri, dan Tuhan Yang Maha Mengetahui Isi Hati. Bukan manusia lain sebagai penilainya.
Makna sombong yang kedua adalah meremehkan orang lain, menganggap orang lain lebih rendah, sembari meletakkan diri sendiri lebih tinggi. Ini yang paling sulit bahkan mendekati mustahil untuk dihindari oleh spesies manusia.
Kita merasa lebih pintar, lebih berilmu, lebih kritis, lebih intelek daripada orang lain. Maka kita sombong. Kita merasa lebih sholeh, lebih taat beribadah, lebih syar'i, lebih membela agama ketimbang orang lain. Berarti kita sombong. Kita merasa lebih jujur, lebih bersih, lebih toleran, lebih cinta damai dibanding orang lain. Sudah jelas, itu artinya kita sombong.
Bahkan, kita merasa lebih-tidak-sombong alias lebih tawadhu' dibanding orang lain pun, pada hakikatnya kita sudah sombong. Kita bilang "Aku mungkin tidak sholeh, tapi setidaknya aku tidak pernah merasa baik." Nah, itu artinya secara sangat halus kita bilang bahwa kita baik, bukan? Ya, kita merasa baik karena berperangai baik berupa "tidak pernah merasa baik". Apakah itu bukan sejenis kalimat yang menjebak hati kita sendiri hingga menjadi sombong?
Padahal, tidak akan masuk surga orang yang di hatinya ada rasa sombong meski cuma seberat atom pun. Omaigat....
Saya sadar saya sendiri orang yang sombong. Sangat sombong. Saya sering merasa lebih pintar, lebih logis, lebih kritis, lebih terampil menulis, lebih lucu, lebih sayang anak, lebih gayeng, lebih islami (dalam konsep Islam yang saya yakini) dibanding banyak orang lain. Saya beristighfar dan meminta maaf kepada sampean semua.
Mungkin permintaan maaf ini justru malah membuat saya jatuh ke perasaan "lebih rendah hati dan lebih gampang meminta maaf daripada orang lain", dan artinya membuat saya jauh lebih sombong lagi. Tapi ya gimana, Bang. Emangnya bisa kita benar-benar steril dari rasa sombong?
Oh, Anda bisa? Jika Anda punya hati yang bisa aman dari rasa sombong, mohon sampaikan di komen. Saya berjanji, jika diparingi umur, saya akan sowan dan berguru kepada Anda. Matur nuwun saestu. Saya sangat mengharapkan itu.
Allahu ta'ala a'lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar