Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,
Memiliki amal yang pahalanya mengalir abadi adalah harapan setiap mukmin yang sadar akan pentingnya amal di akhirat.
Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu menuturkan, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ
“Apabila manusia mati, amalnya terputus kecuali 3 amal, (salah satunya): sedekah jariyah…” (HR. Muslim 4310, Nasai 3666, dan yang lainnya)
وَكَذَلِكَ الصَّدَقَةُ الْجَارِيَةُ وَهِيَ الْوَقْفُ
Demikian pula sedekah jariyah, yang itu merupakan wakaf. (Syarh Shahih Muslim, 11/85)
Keterangan lain juga disampaikan al-Khatib as-Syarbini – ulama syafiiyah – (w. 977 H). Dalam Mughni al-Muhtaj, beliau mengatakan,
الصدقة الجارية محمولة عند العلماء على الوقف كما قاله الرافعي ، فإن غيره من الصدقات ليست جارية
“Sedekah jariyah dipahami sebagai wakaf menurut para ulama,
sebagaimana keterangan ar-Rafi’i. Karena sedekah lainnya bukan sedekah
jariyah.” (Mughni al-Muhtaj, 3/522).
Sedekah dalam bentuk makanan yang kita berikan untuk seseorang, tidak
bisa bertahan lama karena habis pakai. Begitu makanan ini selesai
dikonsumsi, selasai. Bernilai sedekah, tapi manfaatnya tidak panjang.
Semua Sahabat Berwakaf
Berwakaf menjadi ciri khas kaum muslimin. Karena dorongan iman kepada
hari akhir. Bahkan, Imam as-Syafii menyebutkan, bahwa tradisi wakaf
belum ada di zaman jahiliyah. Tradisi ini dibangun kaum muslimin. Di
zaman jahiliyah, semua yang diinfakkan untuk umum, sifatnya habis pakai.
Dalam Manarus Sabil dinukil keterangan beliau,
قال الشافعي رحمه الله: لم تحبس أهل الجاهلية، وإنما حبس أهل الإسلام
As-Syafii rahimahullah mengatakan, “Masyarakat jahiliyah tidak pernah
melakukan wakaf. Yang melakukan wakaf hanya kaum muslimin.” (Manarus Sabil, 2/3).
Para sahabat, mereka pelopor dalam wakaf. Hingga semua sahabat yang
memiliki kemampuan, mereka berwakaf. Sahabat Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma menuturkan,
لَـمْ يَكُنْ أَحَدٌ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِـيِّ صَلّى اللهُ عليهِ وسَلّم ذُو مَقدِرَة إِلّا وَقَفَ
Tidak ada seorangpun sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang memiliki kemampuan, kecuali mereka wakaf. (Ahkam al-Auqaf, Abu
Bakr al-Khasshaf, no. 15 dan disebutkan dalam Irwa’ al-Ghalil, 6/29).
Ini seperti kesepakatan dari mereka. Setiap yang mampu wakaf, dia akan wakaf.
Wakaf Para Sahabat
Berikutnya, kita akan menyebutkan beberapa kisah wakafnya para sahabat
Pertama, kisah Abu Thalhah dan kebun Bairuha
Ketika Allah menurunkan firman-Nya,
لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ
“Kalian tidak akan mendapatkan kebaikan, sampai kalian menginfakkan apa yang kalian cintai.” (QS. Ali Imran: 92)
Abu Thalhah mendengar ayat ini.
Beliaupun menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menyampaikan hajatnya,
“Ya Rasulullah, Allah berfirman, ‘Kalian tidak akan mendapatkan kebaikan, sampai kalian menginfakkan apa yang kalian cintai’.
Sementara harta yang paling aku cintai adalah kebun Bairuha. Ini saya
sedekahkan untuk Allah. Saya berharap dapat pahala dan menjadi
simpananku di sisi Allah. Silahkan manfaatkan untuk kemaslahatan umat.”
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyambut keinginan Abu Thalhah,
بَخْ ، ذَلِكَ مَالٌ رَابِحٌ ، ذَلِكَ مَالٌ رَابِحٌ ،
وَقَدْ سَمِعْتُ مَا قُلْتَ وَإِنِّى أَرَى أَنْ تَجْعَلَهَا فِى
الأَقْرَبِينَ
“Luar biasa, itu kekayaan yang untungnya besar… itu harta yang
untungnya besar. Saya telah mendengar apa yang anda harapkan. Dan saya
menyarankan agar manfaatnya diberikan kepada kerabat dekat.”
Bairuha, bisa juga dibaca Biraha, merupakan kebun
yang berada di depan masjid nabawi. Di masa Muawiyah, dibangun benteng
istana di sekitar kebun ini, yang dikenal dengan sebutan, istana Bani
Judailah.
Nilainya sangat mahal, dan diwakafkan Abu Thalhah sebagai sedekah harta kesayangannya.
Kedua, wakaf Umar untuk tanah Khaibar
Ibnu Umar menceritakan, bahwa ayahnya Umar bin Khatab, mendapatkan
jatah bagian kebun di Khaibar. Beliaupun melaporkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Ya Rasulullah, saya mendapatkan kebun di Khaibar. Saya tidak
memiliki harta yang lebih berharga dari pada itu. Apa yang anda
perintahkan untukku?”
Saran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنْ شِئْتَ حَبَّسْتَ أَصْلَهَا وَتَصَدَّقْتَ بِهَا
Jika mau, kamu bisa wakafkan, abadikan kebun itu, dan hasilnya kamu sedekahkan.
Kemudian Umar mewakafkannya. Kebun itu tidak boleh dijual,
dihibahkan, atau diwariskan. Hasilnya disedekahkan untuk fakir miskin,
kerabat, budak, para tamu, dan Ibnu Sabil. Dan boleh bagi yang mengurusi
untuk mengambil sebagian dari hasilnya, sewajarnya, dan makan darinya,
bukan untuk memperkaya diri dengannya. (HR. Bukhari 2737, Muslim 4311
dan yang lainnya).
Ketiga, wakaf Sumur oleh Utsman
Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, tidak ada
air yang rasanya lebih segar dari pada air subur ‘rumah’. Rumah ini nama
sumur, dalam bahasa arab [رومة]. Bukan rumah tempat tinggal. Ketika
itu, sumur ini milik orang yahudi. Setiap muslim yang mengambil air, dia
harus bayar. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumumkan,
مَنْ يَشْتَرِى بِئْرَ رُومَةَ فَيَكُونُ دَلْوُهُ فِيهَا كَدِلاَءِ الْمُسْلِمِينَ
“Siapa yang sanggup membeli sumur Rumah, dan dia letakkan gayungnya bersama gayung kaum muslimin.”
Kemudian Utsman membelinya dari harta pribadinya. (HR. Bukhari secara muallaq, Nasai 3623)
Makna hadis, siapa yang sanggup membeli sumur Rumah, bukan untuk pribadi, tapi untuk bersama.
Saatnya memikirkan, apa yang bisa kita wakafkan untuk islam dan kaum muslimin…
Allahu a’lam.
Ditulis oleh Ustadz Ammi Nur Baits
Tidak ada komentar:
Posting Komentar