Merdeka.com - Gusti ora sare, kata orang Jawa, artinya 'Tuhan
tidak tidur'. Demikianlah segala kejadian yang ada di bawah kolong
langit initidak pernah luput dari kuasa Tuhan. Termasuk segala kejadian
bencana alam seperti gempa, tsunami atau konflik antarmanusia seperti
perang.
Di tengah kejadian-kejadian itu, manusia kerap jadi korban dan semua
harta benda seperti bangunan hancur berantakan. Namun di antara bangunan
yang hancur rata dengan tanah, ternyata ada sejumlah masjid yang masih
sanggup bertahan kokoh berdiri.
Tempat ibadah umat Islam itu akhirnya menjadi lokasi penampungan para
korban selamat. Bagaimana kisah masjid-masjid itu saat dilanda bencana?
Ikuti ulasannya berikut ini.
1.
Masjid Golcuk di Turki
Merdeka.com - Pada 1999 gempa bumi hebat di Turki
menimbulkan korban jiwa hingga mencapai 45.000, dan 43.953 korban luka.
Namun sebuah mesjid bernama Golcuk terbebas dari dampak kerusakan gempa
dahsayt tersebut.
Umat muslim percaya ini adalah sebuah mukjizat dari Allah karena terlihat jelas hanyalah masjid tersebut yang berdiri kokoh sementara bangunan di sekitarnya luluh lantak tak bersisa.
Umat muslim percaya ini adalah sebuah mukjizat dari Allah karena terlihat jelas hanyalah masjid tersebut yang berdiri kokoh sementara bangunan di sekitarnya luluh lantak tak bersisa.
2.
Masjid At Tauhid di Haiti
Merdeka.com - Gempa luar biasa yang mengguncang Haiti
pada 2010 menimbulkan 220.000-316.000 korban jiwa, namun umat muslim
Haiti mengakui bahwa tidak satupun masjid di sekitar lokasi gempa
terkena dampak hebat bencana alam ini.
Masjid yang masih berdiri kokoh akhirnya dijadikan posko perlindungan
bantuan darurat gempa oleh penduduk yang selamat. Salah satunya adalah
masjid At Tauhid di Ibu Kota Port-au-Prince.
Sebab masjid ini tetap berdiri kokoh dan menjadi tempat para korban gempa, baik yang muslim ataupun non muslim untuk mengungsi
Di saat istana kepresidenan dan gedung-gedung pemerintah hancur, masjid ini tetap berdiri kokoh seperti tidak terjadi apa-apa
3.
Masjid Kobe di Jepang
Merdeka.com - Masjid Kobe di Jepang jadi saksi bisu
dahsyatnya Perang Dunia Kedua. Masjid yang diresmikan pada 1935 ini
adalah masjid pertama di Jepang. Penyerangan Jepang atas pelabuhan Pearl
Harbour di Amerika telah membuat pemerintah Amerika memutuskan untuk
menjatuhkan bom atom pertama kali dalam peperangan. Jepang akhirnya
mengaku kalah.
Dua kotanya, Nagasaki dan Hiroshima dibom atom oleh Amerika Serikat.
Saat itu, kota Kobe juga tidak ketinggalan menerima akibatnya. Boleh
dibilang Kobe menjadi rata dengan tanah.
Tapi ajaibnya, masjid Kobe masih berdiri kokoh. Akan tetapi, kekokohan masjid Kobe diuji lagi dengan gempa dahsyat pada 1995. Tepatnya pada pukul 05.46 Selasa, 17 Januari 1995. Gempa ini sebenarnya bukan hanya menimpa Kobe, tapi juga menimpa kawasan sekitarnya seperti South Hyogo, Hyogo-ken Nanbu, dan lainnya. Diperkirakan telah menelan korban 140 ribu jiwa namun lagi-lagi masjid Kobe tetap kokoh berdiri.
Tapi ajaibnya, masjid Kobe masih berdiri kokoh. Akan tetapi, kekokohan masjid Kobe diuji lagi dengan gempa dahsyat pada 1995. Tepatnya pada pukul 05.46 Selasa, 17 Januari 1995. Gempa ini sebenarnya bukan hanya menimpa Kobe, tapi juga menimpa kawasan sekitarnya seperti South Hyogo, Hyogo-ken Nanbu, dan lainnya. Diperkirakan telah menelan korban 140 ribu jiwa namun lagi-lagi masjid Kobe tetap kokoh berdiri.
4.
Masjid Baiturrahman Banda Aceh
Merdeka.com - Sore itu, Rabu (24/12/2014) puluhan
anak-anak berbaju koko duduk membentuk kelompok kecil di dalam masjid.
Dipimpin oleh seorang ustazah, anak-anak tersebut melantunkan ayat suci
Alquran. Sementara dalam kelompok yang lain, sedang menyimak bacaan anak
perempuan yang mengaji.
Taman Pengajian Alquran menjadi kegiatan rutin setiap selesai salat Ashar. Setidaknya dua barisan penuh saat solat fardhu tiba. Sementara jamaah lainnya beranjak keluar dari masjid, para santri ini duduk membentuk beberapa kelompok kecil untuk belajar mengaji.
Itulah aktivitas di Masjid Baiturrahman di Ulee Lheue, Kecamatan Meuraxa, Banda Aceh. Sebuah masjid yang menjadi saksi bisu dahsyatnya diterjang tsunami 10 tahun silam.
"Ini kegiatan rutin kita di sini. Selain itu kita juga ada pengajian, ada baca kitab dan ada baca hadits. Tiap tiga malam kita ada pengajian di sini," sebut Imam Masjid Baiturrahman, Tgk Buchari pada merdeka.com.
Gempa bumi dan gelombang tsunami yang menyapu daratan Aceh tahun 2004 silam merupakan salah satu bencana alam terdahsyat sepanjang abad 20. Tercatat 200.000 jiwa menjadi korban dalam tragedi tersebut.
Tidak hanya korban jiwa, banyak pula bangunan fisik yang habis tersapu gelombang. Namun tidak begitu dengan Masjid Baiturrahman. Rumah ibadah yang terletak di kawasan Pantai Ulee Lheu, Kecamatan Meuraxa, Banda Aceh ini menjadi satu-satunya bangunan yang selamat dalam peristiwa tersebut.
Masjid yang berjarak sekitar 500 meter dari bibir pantai ini menjadi saksi bisu peristiwa 10 tahun yang lalu. Saat gelombang terjadi, hanya sembilan orang yang selamat di masjid ini, enam orang laki-laki dan tiga orang perempuan serta seorang bayi berumur tiga bulan.
Saat gelombang pertama datang, setidaknya ada 138 orang yang berlindung di masjid ini. Saat gelombang kedua datang, warga yang berlindung di tempat ibadah ini masih berjumlah sama. Namun, sebut Tgk Buchari saat gelombang ketiga datang, tiba-tiba air masuk entah dari mana dan menghayutkan warga yang ada.
"Saat gelombang ketiga, air masuk entah dari mana. Ada mobil yang menabrak dinding naik di atas mimbar, hingga orang macam diblender di air dan banyak orang di atas masjid jatuh," kenang Tgk Buchari.
Sementara beberapa bangunan masjid bagian depan, seperti pagar dan kaca, atau sekitar 20 persen mengalami kerusakan. Tgk Buchari menjelaskan pasca-tsunami masjid ini kembali direhab dengan bantuan dari negara donor pada waktu itu.
Dalam pekarangan masjid juga berdiri tegak sebuah menara yang dibangun oleh kerajaan Brunei Darussalam. Tgk Buchari menuturkan, menara tersebut merupakan sedekah dari Sultan Hassanal Bolkiah karena para pengurus menolak pembangunan masjid baru.
"Kami menolak masjid ini dirubuhkan dan dibangun masjid baru karena ini aset orang tua kami yang menyumbang sewaktu mereka hidup. Jadi biarlah tetap seperti ini," ucapnya.
Kawasan Ulee Lheu sebelum tsunami merupakan kawasan padat dengan jumlah penduduk mencapai 700.000 jiwa. Namun, saat gempa bumi dan tsunami menghantam kawasan ini, hanya 700 orang saja yang selamat. Lebih dari separuh warga menjadi korban.
Masjid Baiturrahman dulu dikenal sebagai Masjid Olele, Koetaradja. Masjid ini didirikan di atas tanah wakaf dan dibangun secara swadaya oleh masyarakat Meuraxa yang saat itu dipimpin oleh Teuku Teungoh Meuraxa pada tahun 1923/1926 Masehi.
Dengan program gotong-royong, masyarakat Meuraxa pada waktu itu mengumpulkan dana untuk pembangunan masjid. Para lelaki yang sebagiannya berprofesi sebagai nelayan setiap pulang dari menjual hasil melaut menyisihkan sebagiannya untuk masjid.
Sementara kaum ibu mengumpulkan beras yang ditaruh dalam karung beras sebanyak satu mok (satu kaleng susu), dan pada akhir bulan diserahkan pada panitia pembangunan masjid tersebut.
Masjid yang berdiri pada akhir tahun 1923 ini tidak memiliki kubah seperti pada umumnya, namun hanya ada sebuah puncak masjid berbentuk persegi empat. Pada tahun 1984 puncak masjid ini rubuh sehingga tahun 2004 masjid tidak memiliki kubah.
Pada awal pembangunannya, masjid ini hanya mampu menampung jamaah hingga 500 orang. Namun pada tahun 1981, Kerajaan Arab Saudi memberikan bantuan untuk perluasan masjid hingga dapat menampung jamaah sampai 1.500 orang.
Taman Pengajian Alquran menjadi kegiatan rutin setiap selesai salat Ashar. Setidaknya dua barisan penuh saat solat fardhu tiba. Sementara jamaah lainnya beranjak keluar dari masjid, para santri ini duduk membentuk beberapa kelompok kecil untuk belajar mengaji.
Itulah aktivitas di Masjid Baiturrahman di Ulee Lheue, Kecamatan Meuraxa, Banda Aceh. Sebuah masjid yang menjadi saksi bisu dahsyatnya diterjang tsunami 10 tahun silam.
"Ini kegiatan rutin kita di sini. Selain itu kita juga ada pengajian, ada baca kitab dan ada baca hadits. Tiap tiga malam kita ada pengajian di sini," sebut Imam Masjid Baiturrahman, Tgk Buchari pada merdeka.com.
Gempa bumi dan gelombang tsunami yang menyapu daratan Aceh tahun 2004 silam merupakan salah satu bencana alam terdahsyat sepanjang abad 20. Tercatat 200.000 jiwa menjadi korban dalam tragedi tersebut.
Tidak hanya korban jiwa, banyak pula bangunan fisik yang habis tersapu gelombang. Namun tidak begitu dengan Masjid Baiturrahman. Rumah ibadah yang terletak di kawasan Pantai Ulee Lheu, Kecamatan Meuraxa, Banda Aceh ini menjadi satu-satunya bangunan yang selamat dalam peristiwa tersebut.
Masjid yang berjarak sekitar 500 meter dari bibir pantai ini menjadi saksi bisu peristiwa 10 tahun yang lalu. Saat gelombang terjadi, hanya sembilan orang yang selamat di masjid ini, enam orang laki-laki dan tiga orang perempuan serta seorang bayi berumur tiga bulan.
Saat gelombang pertama datang, setidaknya ada 138 orang yang berlindung di masjid ini. Saat gelombang kedua datang, warga yang berlindung di tempat ibadah ini masih berjumlah sama. Namun, sebut Tgk Buchari saat gelombang ketiga datang, tiba-tiba air masuk entah dari mana dan menghayutkan warga yang ada.
"Saat gelombang ketiga, air masuk entah dari mana. Ada mobil yang menabrak dinding naik di atas mimbar, hingga orang macam diblender di air dan banyak orang di atas masjid jatuh," kenang Tgk Buchari.
Sementara beberapa bangunan masjid bagian depan, seperti pagar dan kaca, atau sekitar 20 persen mengalami kerusakan. Tgk Buchari menjelaskan pasca-tsunami masjid ini kembali direhab dengan bantuan dari negara donor pada waktu itu.
Dalam pekarangan masjid juga berdiri tegak sebuah menara yang dibangun oleh kerajaan Brunei Darussalam. Tgk Buchari menuturkan, menara tersebut merupakan sedekah dari Sultan Hassanal Bolkiah karena para pengurus menolak pembangunan masjid baru.
"Kami menolak masjid ini dirubuhkan dan dibangun masjid baru karena ini aset orang tua kami yang menyumbang sewaktu mereka hidup. Jadi biarlah tetap seperti ini," ucapnya.
Kawasan Ulee Lheu sebelum tsunami merupakan kawasan padat dengan jumlah penduduk mencapai 700.000 jiwa. Namun, saat gempa bumi dan tsunami menghantam kawasan ini, hanya 700 orang saja yang selamat. Lebih dari separuh warga menjadi korban.
Masjid Baiturrahman dulu dikenal sebagai Masjid Olele, Koetaradja. Masjid ini didirikan di atas tanah wakaf dan dibangun secara swadaya oleh masyarakat Meuraxa yang saat itu dipimpin oleh Teuku Teungoh Meuraxa pada tahun 1923/1926 Masehi.
Dengan program gotong-royong, masyarakat Meuraxa pada waktu itu mengumpulkan dana untuk pembangunan masjid. Para lelaki yang sebagiannya berprofesi sebagai nelayan setiap pulang dari menjual hasil melaut menyisihkan sebagiannya untuk masjid.
Sementara kaum ibu mengumpulkan beras yang ditaruh dalam karung beras sebanyak satu mok (satu kaleng susu), dan pada akhir bulan diserahkan pada panitia pembangunan masjid tersebut.
Masjid yang berdiri pada akhir tahun 1923 ini tidak memiliki kubah seperti pada umumnya, namun hanya ada sebuah puncak masjid berbentuk persegi empat. Pada tahun 1984 puncak masjid ini rubuh sehingga tahun 2004 masjid tidak memiliki kubah.
Pada awal pembangunannya, masjid ini hanya mampu menampung jamaah hingga 500 orang. Namun pada tahun 1981, Kerajaan Arab Saudi memberikan bantuan untuk perluasan masjid hingga dapat menampung jamaah sampai 1.500 orang.
5.
Masjid Jami di Nepal
Merdeka.com - Masjid Jami di Bag Bazaar, Ibu Kota
Kathmandu, Nepal itu masih berdiri tegak. Tak ada dinding terkelupas
atau bahkan retak. Aktivitas di sekitar area masjid sangat ramai.
Pertokoan mulai buka, walau madrasah masih tutup.
"Kami bersyukur, ini semua karena kuasa Allah," kata, anggota takmir Masjid Jami Nepal Mohammad Rizwan kepada merdeka.com kemarin.
Rizwan menjelaskan Masjid Jami Nepal ini bangunan yang relatif lebih baru. Renovasi besar masjid ini terakhir dilakukan pada 1995.
Tapi hanya berjarak 600 meter, ada Masjid Khasmiri Taqiya yang dekat Universitas Tri Chandra. Masjid itupun tidak mengalami kerusakan apapun. Padahal tempat ibadah itu sudah dibangun sejak 1524 Masehi.
"Ada beberapa masjid di seputaran Kathmandu. Sebagian besar berusia lebih dari 100 tahun dan tidak ada yang rusak," kata Rizwan.
Di Lalitpur, masjid jami masih berdiri tegak. Demikian pula masjid di Kota Bharatpur, Distrik Chitwan.
Merujuk sensus terakhir, ada 1,1 juta penganut ajaran Islam di Nepal, urutan ketiga setelah Hindu dan Buddha. Itu mencakup sekitar 10 persen total populasi di negara lereng Pegunungan Himalaya tersebut. Kebanyakan adalah warga India keturunan etnis urdu.
Rizwan menyatakan setelah gempa 7,8 skala richter melanda pada 25 April lalu, takmir seluruh masjid langsung berkumpul. Mereka mencari info adakah warga muslim yang jadi korban. Ternyata di seputar Kathmandu hanya ada dua warga tewas dan belasan cedera. Tapi mayoritas keluarga muslim selamat.
Oleh sebab itu, kini Masjid Jami menjadi pusat pengiriman bantuan logistik untuk korban lindu. Mayoritas adalah beras, air bersih, dan makanan siap saji. Tiga truk hilir mudik mengangkut logistik sepanjang kunjungan merdeka.com.
"Ini bantuan yang datang dari komunitas muslim Nepal. Kami mengirim ke manapun warga membutuhkan," kata Rizwan.
Pria 40 tahun ini pun mengkritik derasnya bantuan gempa Nepal, tapi mengedepankan bendera lembaga masing-masing. Dia menyatakan bantuan masjid jami bahkan tidak ditempeli stiker.
"Kami tidak memotret bantuan, kami yakin Allah telah mencatatnya."
"Kami bersyukur, ini semua karena kuasa Allah," kata, anggota takmir Masjid Jami Nepal Mohammad Rizwan kepada merdeka.com kemarin.
Rizwan menjelaskan Masjid Jami Nepal ini bangunan yang relatif lebih baru. Renovasi besar masjid ini terakhir dilakukan pada 1995.
Tapi hanya berjarak 600 meter, ada Masjid Khasmiri Taqiya yang dekat Universitas Tri Chandra. Masjid itupun tidak mengalami kerusakan apapun. Padahal tempat ibadah itu sudah dibangun sejak 1524 Masehi.
"Ada beberapa masjid di seputaran Kathmandu. Sebagian besar berusia lebih dari 100 tahun dan tidak ada yang rusak," kata Rizwan.
Di Lalitpur, masjid jami masih berdiri tegak. Demikian pula masjid di Kota Bharatpur, Distrik Chitwan.
Merujuk sensus terakhir, ada 1,1 juta penganut ajaran Islam di Nepal, urutan ketiga setelah Hindu dan Buddha. Itu mencakup sekitar 10 persen total populasi di negara lereng Pegunungan Himalaya tersebut. Kebanyakan adalah warga India keturunan etnis urdu.
Rizwan menyatakan setelah gempa 7,8 skala richter melanda pada 25 April lalu, takmir seluruh masjid langsung berkumpul. Mereka mencari info adakah warga muslim yang jadi korban. Ternyata di seputar Kathmandu hanya ada dua warga tewas dan belasan cedera. Tapi mayoritas keluarga muslim selamat.
Oleh sebab itu, kini Masjid Jami menjadi pusat pengiriman bantuan logistik untuk korban lindu. Mayoritas adalah beras, air bersih, dan makanan siap saji. Tiga truk hilir mudik mengangkut logistik sepanjang kunjungan merdeka.com.
"Ini bantuan yang datang dari komunitas muslim Nepal. Kami mengirim ke manapun warga membutuhkan," kata Rizwan.
Pria 40 tahun ini pun mengkritik derasnya bantuan gempa Nepal, tapi mengedepankan bendera lembaga masing-masing. Dia menyatakan bantuan masjid jami bahkan tidak ditempeli stiker.
"Kami tidak memotret bantuan, kami yakin Allah telah mencatatnya."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar