Sabtu, 13 Agustus 2011

PERDAMAIAN HUDAIBIYAH SERTA KISAH ABU JANDAL R.A. DAN ABU BASHIR RA

Pada tahun keenam Hijriyah Rosulullah saw. Dan para sahabat berniat berangkat ke Makkah untuk mengerjakan umroh. Berita keberangkatan Rosulullah saw itu telah didengar oleh kaum kafir Quraisy. Mereka segera bersiap-siap untuk menghalangi masuknya Rosulullah saw ke kota Makkah. Para sahabat yang berjumlah 1.400 orangdengan semangat jihad yang tinggi bertekat bulat untuk memasuki Makkah walaupun perbuatan ini dapat menyebabkan pertempuran besar dengan pihak kafir Quraisy. Tetapi Rosulullah saw tidak menyetujui keinginan mereka. Setelah berpikir panjang Rosulullah saw memutuskan untuk membuat sebuah perjanjian dengan pihak Quraisy. Tetapi Rosulullah saw tidak menyetujui keinginan mereka. Setelah berpikir panjang Rosulullah saw memutuskan untuk membuat sebuah perjanjian dengan pihak Quraisy serta menerima syarat-syarat yang diajukan oleh mereka.



Tetapi isi perjanjian tersebut lebih menguntungkan pihak kafir Quraisy. Perjanjian yang berat sebelah ini sangat menekan perasaan para sahabat ra. Walaupun karena mereka telah menyerahkan jiwa dan raga mereka untuk menaati Rosulullah saw. Bahkan seorang muslim yang berani seperti Umar ra sekalipun terpaksa tunduk kepada keputusan yang sudah disepakati itu. Salah satu isi perjanjian ini adalah: orang-orang kafir yang telah masuk islam dan berhijrah, maka harus dikembalikan ke Makkah. Sedangkan orang-orang Islam yang telah murtad tidak boleh dikembalikan kepada kaum muslimin.
Abu Jandal ra adalah seorang pemeluk Islam yang saat itu sedang ditawan oleh kaum Quraisy. Dia banyak mengalami penyiksaan dan pederitaan karena ke-Islamannya. Ketika dia mendengar Nabi saw sedang kemah di Hudaibiyah, ia segera melarikan diri menuju tenda Nabi saw dengan harapan apabila bergabung dengan kaum muslimin ia dapat terhindar dari musibah yang dialaminya. Ayah Abu Jandal ra yaitu Suhail yang pada waktu itu belum memeluk Islam (ia baru memeluk Islam pada waktu futuh Makkah) adalah wakil pihak Quraisy untuk berunding dengan Nabi saw ketika perjanjian Hudaibiyah akan ditandatangani, ia telah menampar Abu Jandal ra. Dan memaksanya kembali ke Makkah. Oleh karena perjanjian Hudaibiyah itu belum ditandatangani, maka Nabi saw menyatakan bahwa larinya Abu Jandal ra ke pihak muslimin belumlah terikat dibawah perjanjian itu.
Nabi saw berkata kepada Suahil, “Engkau tidak bisa memaksanya kembali ke Makkah dan saya berharap agari ia dikembalikan kepadaku”
Tetapi ayah Abu Jandal menolak alasan-alasan Rosulullah saw. Tersebut. Penderitaan Abu Jandal ra ini sangat menyakiti perasaan para sahhabat. Tetapi apa daya karena menginginkan perdamaian, Nabi saw terpaksa menyerahkan kembali kepada pihak Quraisy sambil menghiburnya dengan kata sebagai berikut. “Janganlah bersedih, wahai Abu Jandal, insya Allah, Allah akan membuka jalan bagimu”
Setelah perjanjian perdamaian Hudaibiyah ditandatangani dan Rosulullah saw kembali ke Madinah, seorang muslim lainnya yang juga sedang disiksa diMakkah melarikan diri ke Madinah untuk mendapat perlindungan dari Rosulullah saw, dia adalah Abu Bashir ra. Permintaan Abu Bahsir untuk tinggal di Madinah terpaksa ditolak oleh Nabi karena menghormati perjanjian Hudaibiyah. Kaum Quraisy mengutus dia orang untuk membawanya kepada mereka, tetapi Rosulullah saw. Menasihatinya supaya bersabar dan mengharapkan pertolongan Allah.
Dalam perjalanan ke Makkah,,, Abu Bahsir ra berhasil melepaskan diri. Abu Bahsri ra berkata kepada salah seorang kafir yang mengawalnya, “Hai sobat, alangkah bagusnya pedangmu itu.”
Mendengar pedangnya dipuji sedemikian rupa, orang itu merasa bangga lalu mengeluarkan pedang tersebut sambil berkata. “ Engkau benar, pedang ini memang bagus dan saya telah mencobanya untuk membunuh beberapa orang.” Sambil berkata demikian dia menyerahkan pedangnya kepada Abu Bashir ra.
Ketika pedang itu berada di tangan Abu Bashir ra, maka Abu Bashri ra segera membunuh pemilik pedang itu. Melihat peristiwa itu, pengawal yang lain merasa bahwa ia pun akan dibunuhnya juga, maka segera ia lari ke Madinah untuk mengadukan kejadian tersebut kepada Nabi saw. Ia berkata kepada Nabi saw, “Teman saya telah dibunuh, dan kini giiliran saya”. Sementara itu Abu Bahsir ra pun telah tiba dihadapan Rosulullah saw. Ia berkata kepada Nabi saw. “ Wahai Rosulullah engkau telah menyerahkan saya untuk menunaikan perjanjan engkau dengan puhak Quraisy. Tetapi saya tidak terikat sedikut pun dengan perjanjian tersebut, karena saya khawatir mereka akan merusak iman saya, maka saya telah melepaskan diri dari mereka”.
Nabi saw berkata, “Sekalipun saya mereasa senang dapat menolongmu, tetap secara tidak sadar bahwa engkau sedang menyalakan api peperangan”
Mendengar perkataan Nabi saw Abu Bashir ra berpikir dia akna diserahkan kembali kepada kaum musyrikin seandainya mereka berhasil membujuk Nabi saw. Oleh karena itu di segera pergi menunggalkan Madinnah menuju ke sebuah tempat di padang pasir dekat pantai. Tidak lama kemudian Abu Jandal ra. Pun menyertainya setelah melepaskan diri dari kaum Quraisy. Demikian pula orang-orang isalm lainnya yang ditawan oleh kafir Quraisy. Mereka pun melarikan diri dan bergabung dengan Abu Bashir ra sehingga jumlah mereka semakin banyak.
Dalam beberapa hari perjalanan rombongan Abu Bahsir pun tiba di sebuah hutan yang tidak dijumpai makanan sedikit pun. Mereka tidak menemukan kebun dan penduduk. Sehingga mereka mengalami penderitaan hidup yang amat berat di tempat persembunyian itu. Hanya Allah Swt yang mengetahui keadaan mereka yang sebenarnya.
Karena tidak takluk dengan perjanjian Hudaibiyah, mereka selalu mengganggu dan menyerang kafilah-kafilah Quraisy yang lewat ke tempat persembunyian mereka. Demikian hebatnya gangguan mereka, sehingga pihak Quraisy terpaksa menemui Rosulullah saw untuk membujuk beliau agar menghentikan gangguan-gangguan mereka itu dan menarik kembali rombongan mereka. Dengan demikian perjalanan kafilah-kafilah Quraisy akan lancar kembali. Diceritakan bahwa ketika menerima surat dari Nabi saw Aby Bashir sedang mengalami sakaratul maut. Abu Bashir ra kemudian wafat sambil memegang surat dari Rosulullah saw (HR Bukhari – Fathul Bari)
Dikutip dari Kitab Fadhail A`mal

1 komentar:

  1. Salah satu bunyi perjanjian antara pagan anti Islam di Makkah dengan Nabi Muhammad saw (Madinah) pada zaman Nabi Muhammad saw:

    Siapa pun yang ingin bergabung dengan kaum Quraisy dan mengadakan suatu persetujuan dengan mereka, bebas untuk berbuat demikian. Seorang belia, atau seseorang yang ayahnya masih hidup, jika ia pergi kepada Muhammad tanpa izin ayahnya atau walinya, akan dikembalikan kepada ayahnya atau walinya. Tetapi, seseorang yang pergi kepada kaum Quraisy, ia tidak akan dikembalikan.

    Kemudian sahabat-sahabat [Nabi Muhammad saw] mengemukakan keberatan mereka. Di antaranya ada yang bertanya, mengapa mereka menyetujui pengembalian seorang pemuda yang masuk Islam kepada ayahnya atau walinya tanpa mendapat syarat yang setimpal untuk seorang Muslim yang kemudian ingkar (murtad, keluar Islam) atau pergi kepada kaum Mekkah.

    [Nabi Muhammad saw] Rasulullah s.a.w. menerangkan bahwa tidak ada kerugian dalam hal ini. “Tiap orang yang masuk Islam,” sabda beliau “ia masuk karena menerima kepercayaan-kepercayaan dan amalan-amalan yang diajarkan oleh Islam, ia tidak menjadi orang Islam untuk menggabungkan diri kepada suatu jemaat dan menerima adat-adat kebiasaannya. Orang demikian itu akan tabligh Islam kemanapun juga ia pergi dan menjadi wahana penyebar Islam. Tetapi orang yang meninggalkan Islam tidak
    berguna bagi kita. Jika dalam hatinya tidak lagi beriman kepada apa yang
    kita percaya, ia bukan lagi seorang di antara kita. Maka lebih baik ia pergi ke tempat lain.”

    Jawaban Rasulullah s.a.w. itu memuaskan hati mereka yang mula-mula meragukan kebijaksanaan Rasulullah s.a.w.. Hal itu hendaknya memuaskan semua orang masa kini yang berpendapat bahwa dalam Islam hukuman bagi orang murtad ialah hukum mati. Jika hal itu memang demikian, Rasulullah s.a.w. tentu akan menuntut dikembalikan
    dan menghukum mereka yang meninggalkan Islam.

    Ketika persetujuan telah ditulis dan ditandatangani oleh kedua pihak, timbullah suatu peristiwa yang menguji kejujuran kedua pihak. Anak Suhail, wakil kaum Mekkah, datang ke hadapan Rasulullah s.a.w. dalam keadaan terikat, luka-luka, dan sangat 1etih. Ia menjatuhkan diri di hadapan Rasulullah s.a.w. dan berkata, “Ya Rasulullah, dalam batinku aku seorang Muslim dan karena kepercayaanku itu aku menerima kesulitan-kesulitan ini dari tangan bapakku sendiri. Ayahku ada di sini bersama anda. Maka aku melarikan diri dan berhasil datang kepada anda.”

    Rasulullah belum bersabda apa-apa, ketika Suhail bertindak dan mengatakan bahwa persetujuan telah ditandantangani dan anaknya harus ikut dengan dia. Abu Jandal - begitu nama pemuda itu - berdiri di hadapan orang-orang Muslim, saudara di antara saudara-saudaranya, cemas atas perlakuan buruk ayahnya. Mengembalikannya adalah suatu kewajiban yang tidak sanggup mereka laksanakan. Mereka menghunus pedang dan nampak bertekad untuk mati dalam menyelamatkan saudara mereka. Abu Jandal sendiri memohon dengan sangat kepada Rasulullah s.a.w. supaya ia diperkenankan tinggal. Apakah ia akan dikembalikan kepada orang-orang kejam yang dari genggaman orang-orang itu ia telah melarikan diri? Tetapi Rasulullah s.a.w. telah mengambil keputusan. Beliau bersabda kepada Jandal, “Nabi-nabi tidak menelan kata-katanya.
    Kami sekarang telah menandatangani persetujuan. Sekarang, baiklah kamu menanggungnya dengan sabar dan bertawakal kepada Tuhan. Dia pasti akan mencukupi kamu dan memberikan kepadamu kemerdekaan dan pula untuk kemerdekaan pemuda-pemuda lainnya yang senasib dengan kamu.” Setelah perdamaian itu ditandatangani, Rasulullah s.a.w. pulang ke Medinah.

    BalasHapus