Minggu, 14 Agustus 2011

Kau begitu Special, Nak!

Bismillahirrahmanirrahim..
Sudah lama kita tidak berjumpa, karena beberapa kesibukan jadi saya belum sempat mengisi BMB. Selamat menikmati kisah dibawah ini. Cekidot.
===================================
“Salah apa aku ini? Mendapatkan anak yang bisanya nyusahin, malu aku Pak!”
“Istighfar Bu!”suamiku mencoba menenangkanku.
Aku menatap anakku lekat-lekat, kenapa Allah memberikanku cobaan lewat anak ini? Anak yang aku tunggu-tunggu setelah belasan tahun aku menanti kehadirannya.
“Nggak tahu ah pak!”
***
“Bu, Nayla belum minum susu, tolong dibuatin.”
“Suruh buat sendiri atau bapak yang buat, ibu lagi sibuk. Bapak nggak lihat ibu lagi masak gini!”kataku dengan nada kesal.
“Ibu ini gimana, anak baru umur setahun disuruh buat susu sendiri.



Ya sudah biar bapak yang buatin”suamiku ikut bernada kesal.
“Punya anak kok nyusahin!”
“Istighfar bu, Nayla anak kita.”
“Seorang anak harusnya lucu dan menyenangkan pak, bukan malah nyusahin kayak dia. Aku ini salah apa tho pak, kok diberi anak macam dia.”
“Masyaallah ibu. Kenapa ibu masih nggak terima pemberian dari Allah?”
“Allah nggak sayang sama kita pak. Allah membenci kita, menghukum kita dengan memberikan Nayla kepada kita.”
“Ya Allah bu. Ibu sadar dengan apa yang ibu ucapkan? Allah sangat sayang dengan kita, justru dengan ujian yang diberikan-Nya. “
“Aahh..bapak nggak merasakan rasa malu yang ibu rasakan sama tetangga juga teman-teman ibu. Anak yang seharusnya lucu, justru malah memalukan seperti ini,”aku masih tidak bisa terima dengan keadaan yang Allah berikan pada anakku yang seharusnya membuatku bangga bukan memalukan.
“Sudahlah bu. Bapak mau memberikan susu dulu sama Nayla!”
Rasa kesal masih memburuku dengan mengomel ria, aku tetap melanjutkan acara memasakku.
***
“Cepetan bu, kasihan Nayla. Udah nungguin lama,”suamiku memanggilku dari luar.
“Bentar pak!”
Hari ini Nayla ada jadwal untuk terapi, dengan rasa malas aku tetap mengikuti mereka. Meski aku tahu meski dengan terapi apapun, aku tak pernah mengharapkan dirinya bisa sembuh.
Aku melihat lorong putih yang di kanan kirinya terdapat tempat duduk yang berjejer rapi, beberapa orang dengan santai mengapit anak-anak mereka. Melihat anak-anak mereka tertawa dengan riang, meski aku pun tak tahu, anak seceria mereka kenapa ada di Rumah Sakit ini.
Seorang anak dengan liur yang terus menetes dari mulutnya, tangan kanannya mendekap dadanya tak mampu dia luruskan. Seorang ibu tengah menggendongnya dengan raut bahagia, bahkan dengan mata yang berbinar.
Nayla..penyakitnya sama dengan anak itu. Kelainan mental sejak lahir tak memungkinkannya untuk berlarian seperti anak yang normal lainnya. Mengapa ibu tadi bisa setegar itu? Apakah dia tidak merasakan malu dengan keadaannya?
“Assalamualaikum ibu,”aku terkejut. Ibu tadi mengucapkan salam padaku.
“Wa….aaa..laikumsalam,”dengan rasa gugup aku menjawabnya.
“Anak ibu ya? Namanya siapa?”
“Nayla. Yang ibu gendong anak ibu juga ya?”
“Oh iya bu, namanya Sarah. Ini anak pertama saya,”katanya sambil melap air liur yang keluar dari bibir mungil anaknya yang bernama Sarah.
Aku tersenyum getir, melihat tanpa malu-malu dia mengungkapkannya padaku. Belum tentu aku akan menjawab bila aku yang ditanya seperti itu, karena rasa maluku terhadap orang lain.
“Nayla, kamu cantik sekali, nak!”katanya lagi.
“Maaf bu, apakah ibu nggak malu dengan keadaan Sarah?”dengan ragu-ragu aku bertanya.
“Masyaallah. Kenapa saya harus malu dengan keadaan Sarah, bukankah Sarah adalah titipanNya?”
“Tapi keadaan Sarah kan…”aku tak melanjutkan perkataanku. Lalu aku menatap Nayla dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku mengusap sayang kepalanya.
“Keadaan Sarah dan Nayla sama bu, tapi pernahkah ibu menyadari bahwa mereka pun enggan lahir dengan keadaan demikian. Tapi Allah berkehendak lain, mereka dijadikan Allah sebagai ladang amal kita. Ladang dimana mereka adalah anak-anak khusus yang didatangkan Allah untuk orang-orang pilihan-Nya”
“Tapi kenapa saya? Kenapa juga ibu yang menjadi pilihan-Nya?”
“Justru ibu dan saya adalah orang-orang yang beruntung. Allah nggak pernah menguji hamba-hamba-Nya dengan ujian yang mereka nggak mampu. Allah sudah tahu bahwa kita bisa dan sangat bisa untuk mengurus anak-anak special ini. Kita berbeda dengan ibu-ibu yang lain karena kita special, karena kita hamba-hamba yang dipilihNya.”
Aku tertunduk dengan uraian air mata yang tak dapat lagi kutahan.
“Ibu harus kuat, karena anak-anak special ini adalah ladang amal kita. Bila ibu sudah nggak mau menerima anak ini lagi, lantas siapa yang mau menerimanya lagi? Padahal sungguh nyata Allah sangat sayang pada ibu. Rasa malu yang ibu terima dari tatapan-tatapan orang lain, tak sebanding dengan kasih sayang yang Allah berikan pada ibu,” katanya lagi.
Aku makin tertunduk, merenungkan setiap kata yang ibunya Sarah katakan padaku.
Aku memeluk Nayla, menggendongnya kembali setelah sekian lama aku tak pernah memeluknya atau menggendongnya. Maafkan ibu, Nak! Kau begitu special, tak ada yang mampu mengantikanmu. Maafkan ibu!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar