Mush’ab bin Umair adalah pemegang bendera Islam di peperangan. Pada Perang Uhud, ia mendapat tugas serupa. Muhammad bin Syarahbil mengisahkan akhir hayat sahabat yang mulia ini. Ia berkata:
Mush’ab bin Umair radhiyallahu ‘anhu membawa bendera perang di medan Uhud. Lalu datang penunggang kudak dari pasukan musyrik yang bernama Ibnu Qumai-ah al-Laitsi (yang mengira bahwa Mush’ab adalah Rasulullah), lalu ia menebas tangan kanan Mush’ab dan terputuslah tangan kanannya. Lalu Mush’ab membaca ayat:
وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ ۚ
“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul.” (QS. Ali Imran: 144).
Bendera pun ia pegang dengan tangan kirinya. Lalu Ibnu Qumai-ah datang kembali dan menebas tangan kirinya hingga terputus. Mush’ab mendekap bendera tersebut di dadanya sambal membaca ayat yang sama:
وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ ۚ
“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul.” (QS. Ali Imran: 144).
Kemudian anak panah merobohkannya dan terjatuhlah bendera tersebut. Setelah Mush’ab gugur, Rasulullah menyerahkan bendera pasukan kepada Ali bin Abi Thalib (Ibnu Ishaq, Hal: 329).
Lalu Ibnu Qumai-ah kembali ke pasukan kafir Quraisy, ia berkata, “Aku telah membunuh Muhammad”.
Setelah perang usai, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memeriksa sahabat-sahabatnya yang gugur. Abu Hurairah mengisahkan, “Setelah Perang Uhud usai, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mencari sahabat-sahabatnya yang gugur. Saat melihat jasad Mush’ab bin Umair yang syahid dengan keadaan yang menyedihkan, beliau berhenti, lalu mendoakan kebaikan untuknya. Kemudian beliau membaca ayat:
مِنَ الْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا اللَّهَ عَلَيْهِ ۖ فَمِنْهُمْ مَنْ قَضَىٰ نَحْبَهُ وَمِنْهُمْ مَنْ يَنْتَظِرُ ۖ وَمَا بَدَّلُوا تَبْدِيلًا
“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka tidak merubah (janjinya).” (QS. Al-Ahzab: 23).
Kemudian beliau mempersaksikan bahwa sahabat-sahabatnya yang gugur adalah syuhada di sisi Allah.
Tak sehelai pun kain untuk kafan yang menutupi jasadnya kecuali sehelai burdah. Andainya ditaruh di atas kepalanya, terbukalah kedua kakinya. Sebaliknya, bila ditutupkan ke kakinya, terbukalah kepalanya. Sehingga Rasulullah bersabda, “Tutupkanlah kebagian kepalanya, dan kakinya tutupilah dengan rumput idkhir.”
Mush’ab wafat setelah 32 bulan hijrahnya Nabi ke Madinah. Saat itu usianya 40 tahun.
Para Sahabat Mengenang Mush’ab bin Umair
Di masa kemudian, setelah umat Islam jaya, Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu yang sedang dihidangkan makanan mengenang Mush’ab bin Umair. Ia berkata, “Mush’ab bin Umair telah wafat terbunuh, dan dia lebih baik dariku. Tidak ada kain yang menutupi jasadnya kecuali sehelai burdah”. (HR. Bukhari no. 1273). Abdurrahman bin Auf pun menangis dan tidak sanggup menyantap makanan yang dihidangkan.
Khabab berkata mengenang Mush’ab, “Ia terbunuh di Perang Uhud. Ia hanya meninggalkan pakaian wool bergaris-garis (untuk kafannya). Kalau kami tutupkan kain itu di kepalanya, maka kakinya terbuka. Jika kami tarik ke kakinya, maka kepalanya terbuka. Rasulullah pun memerintahkan kami agar menarik kain ke arah kepalanya dan menutupi kakinya dengan rumput idkhir…” (HR. Bukhari no.3897).
Penutup
Semoga Allah SWT menyatakan bahwa bait-Nya (rumah-Nya) penuh berkah. Berkah ialah suatu karunia yang diberikan lebih besar dari yang diperkirakan sebelumnya.
Misalnya, ada seorang yang menanam gandum. Biasanya sepetak sawah menghasilkan 500 kilogram gandum.
Tapi ternyata sepetak sawahnya itu memberikan hasil 1.500 kilogram gandum. Itulah yang dikatakan berkah. Artinya, sesuatu yang memberikan karunia, dan memberikan apa yang di atas karunia juga.
Dalam Al-Hajjul Mabrur karya Prof Dr M Mutawalli asy-Sya’rawi disebutkan, Baitul Haram memang telah memberikan keberkahan yang melimpah ruah, entah itu keberkahan ridha, keberkahan perlindungan dari manusia, keberkahan iman yang menyusup ke seluruh jiwa, keberkahan rasa takut kepada Allah SWT, dan keberkahan menumpas rasa sombong dan takabur dalam jiwa.
Walhasil, semua orang yang berada dalam Baitul Haram merasa sama dengan saudara-saudaranya yang lain yang ada di sana. "Tidak ada yang lebih tinggi kedudukannya hanya dikarenakan oleh tingginya jabatan, harta yang banyak, atau karena perbedaan warna kulit dan asal keturunan," kata asy-Sya'rawi.
Di samping itu juga terdapat keberkahan lainnya. Di Baitullah, shalat seseorang dinilai dan diganjar dengan seratus ribu kali. Nah, kalau sekali shalat diganjar dengan seratus ribu kali, dan melakukan kebaikan lainnya juga diganjar dengan seratus ribu kali, sementara pekerjaan yang sama yang dilakukan di luar Baitullah biasanya hanya dilipatgandakan sepuluh kali, maka hal itu dinamakan keberkahan.
Di antara keberkahan lainnya adalah kelapangan dada semua orang yang datang ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji ketimbang dari berbagai sarana dan prasarana yang ada. Meskipun sarana sudah ditingkatkan demikian rupa, tapi tidak akan dapat memberikan pelayanan yang memadai terhadap para tamu yang datang dari lima benua.
Namun tokh, mereka yang datang itu tetap berlapang dada. Kita melihat puluhan orang tidur dengan damai dan nyenyak dalam satu kamar. Padahal kalau di luar Makkah, tidur berdua saja rasanya sudah gerah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar