REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Terbukanya aliansi Prancis-Utsmaniyah menandakan babak baru dalam sejarah konfrontasi antara Barat dan Timur, khususnya sejak akhir Abad Pertengahan.
Pada mulanya, Prancis menjalin hubungan diplomatik dengan Kesultanan Mamluk yang berpusat di Mesir. Mamluk memberikan konsesi kepada Prancis untuk berdagang di pelabuhan-pelabuhan Mesir.
Sesudah Mesir dikuasai Turki Utsmaniyah, perjanjian itu sempat ter jeda. Prancis pun larut dalam per saingan dengan Wangsa Habsburg, terutama dalam merebut wilayah Eropa Selatan. Pada Januari 1515, Francis I naik takhta memimpin negeri itu.
Dua tahun kemudian, Paus Leo X mendekati raja muda yang berusia 21 tahun itu dan menawarkan kepadanya untuk memimpin aliansi militer melawan Sultan Selim I.
Francis I menyambut dengan antusias tawaran itu. Namun, konsentrasinya terpecah untuk misi militer negerinya di kancah Perang Italia yang sudah berlangsung sejak 1494. Perang itu mempertemukan antara Pran cis dan Wangsa Habsburg.
Pada mulanya, Prancis menjalin hubungan diplomatik dengan Kesultanan Mamluk yang berpusat di Mesir. Mamluk memberikan konsesi kepada Prancis untuk berdagang di pelabuhan-pelabuhan Mesir.
Sesudah Mesir dikuasai Turki Utsmaniyah, perjanjian itu sempat ter jeda. Prancis pun larut dalam per saingan dengan Wangsa Habsburg, terutama dalam merebut wilayah Eropa Selatan. Pada Januari 1515, Francis I naik takhta memimpin negeri itu.
Dua tahun kemudian, Paus Leo X mendekati raja muda yang berusia 21 tahun itu dan menawarkan kepadanya untuk memimpin aliansi militer melawan Sultan Selim I.
Francis I menyambut dengan antusias tawaran itu. Namun, konsentrasinya terpecah untuk misi militer negerinya di kancah Perang Italia yang sudah berlangsung sejak 1494. Perang itu mempertemukan antara Pran cis dan Wangsa Habsburg.
Kaisar Maximilian I meninggal pada 12 Januari 1519. Sejak itu, takhta Kekaisaran Romawi Suci kembali diperebutkan. Sebagai salah seorang kandidat, Francis I menjanjikan dirinya akan memperkuat barisan Kristen dalam melawan Turki Utsmaniyah.
Namun, dalam pemilihan itu raja Prancis tersebut kalah suara dibandingkan Charles V yang berasal dari trah Habsburg.
Beberapa tahun ke
mudian, Fran cis I kembali melawan Charles V. Kali ini bukan di ajang pemu ngutan suara, melainkan perang terbuka.
Pertempuran Pavia terjadi pada 24 Feb ruari 1525. Pertempuran itu merupakan salah satu babak penting da lam rangkaian Perang Italia yang mempertemukan antara aliansi Prancis di satu pihak dan Habsburg- Inggris di pihak lain.
Perang ini berlangsung empat jam lamanya. Di Kota Pavia, kedua be lah pihak saling adu kekuatan. Aliansi Prancis sesungguhnya tidak ku rang tangguhnya daripada Habsburg, yang disertai 20 ribu prajurit.
Namun, strategi yang dijalankan Raja Charles V terbukti lebih unggul dan efektif dalam memukul mundur lawan. Alhasil, Francis I kian terdesak dan akhirnya kalah total.
Raja Prancis itu lantas ditangkap dan menjadi tawanan. Awalnya, ia dipenjara di Benteng Pizzighettone, Lombardy (Italia). Namun, Charles V lantas membawanya ke Madrid, Spanyol.
Dalam tahanan, putra pa ngeran Angouleme tersebut menulis surat yang ditujukan kepada ibunya, Louise (Louise of Savoy). Dalam su ratnya, ia menyampaikan, Tak ada yang tersisa dariku selain kehormatan dan nyawa, yang dalam keadaan selamat.
Perkataan itu akhirnya memunculkan peribahasa di kalangan bangsawan Eropa all is lost, save honour (meskipun semuanya lenyap, tetap pertahankan kehormatan).
Langkah pertama Begitu mendengar kabar bahwa putranya ditawan, Louise segera mengumpulkan seluruh kalangan istana. Diputuskanlah bahwa Prancis akan membangun aliansi baru demi mendesak Wangsa Habsburg. Dan, satu-satunya kekuatan yang dapat mengata si dinasti terse but ialah kerajaan Islam, Kekhalifahan Turki Utsmaniyah.
Inilah langkah awal kerja sama lintas agama yang sebe lumnya sangat tabu bagi dunia Kristen abad pertengahan, aliansi yang mempertemukan antara bendera Salib dan Bulan Sabit.
Pertama-tama, Prancis mengirimkan rombongan delegasi untuk menghadap Sultan Suleiman I. Namun, belum sampai ke Konstantinopel (Istanbul) rombongan itu di bunuh perampok. Seluruh surat berharga yang mereka bawa ikut raib.
Louise tidak menyerah. Kelompok berikutnya pun dikirim dari Paris. Mereka dipimpin Jean Frangipani, seorang agen berdarah Kroasia yang mengabdi untuk Prancis. Pada Desember 1525, Frangipani sampai di tujuan dan diterima dengan baik oleh Pemerintah Turki.
Negeri-negeri Eropa-Kristen waktu itu menjuluki Turki Utsmaniyah sebagai negeri Pintu Mulia (bahasa Prancis: La Sublime Porte). Asal-usul julukan itu ialah sebuah gerbang besar di Istana Wazir, tempat balai sidang pemerintahan di Konstantinopel. Secara metaforis, ungkapan Pintu Mulia dipakai untuk mengibaratkan Turki sebagai gerbang Asia.
Pada 6 Februari 1526, Frangipani kembali ke Paris dengan membawa surat balasan dari Sultan Suleiman I. Surat tersebut berisi pembukaan, yakni segala puja dan puji kehadirat Allah SWT.
Kemudian, shalawat dan salam dihaturkan kepada Nabi Muhammad SAW, para Khulafaur Rasyidin, juga keluarga Nabi Muhammad SAW. Isi surat tersebut yang kerap dikutip kalangan sejarawan adalah sebagai berikut:
"Saya adalah sultannya para sultan, penguasa yang berdaulat, pemberi mahkota kepada para raja di muka bumi, bayangan Allah di muka bumi, sultan dan penguasa berdaulat atas Laut Mediterania dan Laut Hitam, (wilayah kekuasaan) dari Rumelia dan Anatolia, Karamania, tanah Romawi, Dhulkadria, Diyarbakir, Kurdistan, Azerbaijan, Persia, Damaskus, Aleppo, Kairo, Makkah, Madinah, Yerusalem, dari semuanya tanah Arab, Yaman, dan banyak negeri lainyang semuanya itu telah dibebaskan oleh para pendahulu saya yang mulia (semoga Allah menerangi kuburan mereka!). (Wilayah-wilayah itu) telah ditaklukkan oleh kekuatan senjata mereka (para sultan Turki), dan Baginda Agustus (kaisar Romawi Timur) telah tunduk pada pedang flamboyan saya.
Saya, Sultan Suleiman Khan, putra dari Sultan Selim Khan, putra dari Sultan Bayezid Khan (mengirim surat) kepada Anda, Fransesko, penguasa provinsi Prancis. Saya membenarkan bahwa Anda telah mengirimkan (utusan) ke Pintu Mulia. Surat Anda dibawa hamba setia Anda, Frangipani, dan kepadanya pula Anda telah memercayakan komunikasi verbal.
Anda telah memberi tahu saya bahwa musuh telah menguasai negara Anda dan bahwa Anda saat ini sedang berada di dalam penjara sebagai tawanan. Anda meminta bantuan dari saya untuk pembebasan Anda. Semua perkataan Anda ini telah dikemukakan di hadapan singgasana saya (melalui Frangipani). Situasi Anda telah mendapatkan perhatian dari kerajaan saya dan saya telah mempertimbangkan semuanya.
Ketahuilah bahwa penangkapan seorang raja adalah hal biasa. Maka, tenanglah, dan tak perlu gusar! Sebab, sungguh kamilah penakluk negeri-negeri kuat dan benteng-benteng yang kokoh. Dan sungguh, kuda-kuda perang kami selalu terjaga siang dan malam. Pedang-pedang kami selalu terhunus. Maka, Allah yang akan memudahkan segala kebaikan dengan kehendak-Nya jua. Adapun hal-hal lainnya akan disampaikan kepadamu melalui utusanmu."
Dari surat tersebut, jelaslah bahwa Sultan Suleiman I tidak me mandang setara antara kerajaannya dan Prancis. Bahkan, Prancis di sebutnya hanya sebagai sebuah provinsi, seolah-olah Francis I adalah seorang gubernur, bukan raja.
Namun, dalam pemilihan itu raja Prancis tersebut kalah suara dibandingkan Charles V yang berasal dari trah Habsburg.
Beberapa tahun ke
mudian, Fran cis I kembali melawan Charles V. Kali ini bukan di ajang pemu ngutan suara, melainkan perang terbuka.
Pertempuran Pavia terjadi pada 24 Feb ruari 1525. Pertempuran itu merupakan salah satu babak penting da lam rangkaian Perang Italia yang mempertemukan antara aliansi Prancis di satu pihak dan Habsburg- Inggris di pihak lain.
Perang ini berlangsung empat jam lamanya. Di Kota Pavia, kedua be lah pihak saling adu kekuatan. Aliansi Prancis sesungguhnya tidak ku rang tangguhnya daripada Habsburg, yang disertai 20 ribu prajurit.
Namun, strategi yang dijalankan Raja Charles V terbukti lebih unggul dan efektif dalam memukul mundur lawan. Alhasil, Francis I kian terdesak dan akhirnya kalah total.
Raja Prancis itu lantas ditangkap dan menjadi tawanan. Awalnya, ia dipenjara di Benteng Pizzighettone, Lombardy (Italia). Namun, Charles V lantas membawanya ke Madrid, Spanyol.
Dalam tahanan, putra pa ngeran Angouleme tersebut menulis surat yang ditujukan kepada ibunya, Louise (Louise of Savoy). Dalam su ratnya, ia menyampaikan, Tak ada yang tersisa dariku selain kehormatan dan nyawa, yang dalam keadaan selamat.
Perkataan itu akhirnya memunculkan peribahasa di kalangan bangsawan Eropa all is lost, save honour (meskipun semuanya lenyap, tetap pertahankan kehormatan).
Langkah pertama Begitu mendengar kabar bahwa putranya ditawan, Louise segera mengumpulkan seluruh kalangan istana. Diputuskanlah bahwa Prancis akan membangun aliansi baru demi mendesak Wangsa Habsburg. Dan, satu-satunya kekuatan yang dapat mengata si dinasti terse but ialah kerajaan Islam, Kekhalifahan Turki Utsmaniyah.
Inilah langkah awal kerja sama lintas agama yang sebe lumnya sangat tabu bagi dunia Kristen abad pertengahan, aliansi yang mempertemukan antara bendera Salib dan Bulan Sabit.
Pertama-tama, Prancis mengirimkan rombongan delegasi untuk menghadap Sultan Suleiman I. Namun, belum sampai ke Konstantinopel (Istanbul) rombongan itu di bunuh perampok. Seluruh surat berharga yang mereka bawa ikut raib.
Louise tidak menyerah. Kelompok berikutnya pun dikirim dari Paris. Mereka dipimpin Jean Frangipani, seorang agen berdarah Kroasia yang mengabdi untuk Prancis. Pada Desember 1525, Frangipani sampai di tujuan dan diterima dengan baik oleh Pemerintah Turki.
Negeri-negeri Eropa-Kristen waktu itu menjuluki Turki Utsmaniyah sebagai negeri Pintu Mulia (bahasa Prancis: La Sublime Porte). Asal-usul julukan itu ialah sebuah gerbang besar di Istana Wazir, tempat balai sidang pemerintahan di Konstantinopel. Secara metaforis, ungkapan Pintu Mulia dipakai untuk mengibaratkan Turki sebagai gerbang Asia.
Pada 6 Februari 1526, Frangipani kembali ke Paris dengan membawa surat balasan dari Sultan Suleiman I. Surat tersebut berisi pembukaan, yakni segala puja dan puji kehadirat Allah SWT.
Kemudian, shalawat dan salam dihaturkan kepada Nabi Muhammad SAW, para Khulafaur Rasyidin, juga keluarga Nabi Muhammad SAW. Isi surat tersebut yang kerap dikutip kalangan sejarawan adalah sebagai berikut:
"Saya adalah sultannya para sultan, penguasa yang berdaulat, pemberi mahkota kepada para raja di muka bumi, bayangan Allah di muka bumi, sultan dan penguasa berdaulat atas Laut Mediterania dan Laut Hitam, (wilayah kekuasaan) dari Rumelia dan Anatolia, Karamania, tanah Romawi, Dhulkadria, Diyarbakir, Kurdistan, Azerbaijan, Persia, Damaskus, Aleppo, Kairo, Makkah, Madinah, Yerusalem, dari semuanya tanah Arab, Yaman, dan banyak negeri lainyang semuanya itu telah dibebaskan oleh para pendahulu saya yang mulia (semoga Allah menerangi kuburan mereka!). (Wilayah-wilayah itu) telah ditaklukkan oleh kekuatan senjata mereka (para sultan Turki), dan Baginda Agustus (kaisar Romawi Timur) telah tunduk pada pedang flamboyan saya.
Saya, Sultan Suleiman Khan, putra dari Sultan Selim Khan, putra dari Sultan Bayezid Khan (mengirim surat) kepada Anda, Fransesko, penguasa provinsi Prancis. Saya membenarkan bahwa Anda telah mengirimkan (utusan) ke Pintu Mulia. Surat Anda dibawa hamba setia Anda, Frangipani, dan kepadanya pula Anda telah memercayakan komunikasi verbal.
Anda telah memberi tahu saya bahwa musuh telah menguasai negara Anda dan bahwa Anda saat ini sedang berada di dalam penjara sebagai tawanan. Anda meminta bantuan dari saya untuk pembebasan Anda. Semua perkataan Anda ini telah dikemukakan di hadapan singgasana saya (melalui Frangipani). Situasi Anda telah mendapatkan perhatian dari kerajaan saya dan saya telah mempertimbangkan semuanya.
Ketahuilah bahwa penangkapan seorang raja adalah hal biasa. Maka, tenanglah, dan tak perlu gusar! Sebab, sungguh kamilah penakluk negeri-negeri kuat dan benteng-benteng yang kokoh. Dan sungguh, kuda-kuda perang kami selalu terjaga siang dan malam. Pedang-pedang kami selalu terhunus. Maka, Allah yang akan memudahkan segala kebaikan dengan kehendak-Nya jua. Adapun hal-hal lainnya akan disampaikan kepadamu melalui utusanmu."
Dari surat tersebut, jelaslah bahwa Sultan Suleiman I tidak me mandang setara antara kerajaannya dan Prancis. Bahkan, Prancis di sebutnya hanya sebagai sebuah provinsi, seolah-olah Francis I adalah seorang gubernur, bukan raja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar