Minggu, 31 Oktober 2010

IDUL QUR'BAN


Agama mengajarkan bahwa semua ibadah hendaknya dilakukan semata-mata ikhlas karena Allah (QS Al-An’am, 6: 162-163). Tak terkecuali ibadah haji dan ibadah Qurban. Karena hanya dengan niat yang ikhlas itu, akan terjamin kemurnian ibadah yang akan membawa kedekatan (taqarrub) kepada Allah. Tanpa adanya keikhalsan hati, mustahil ibadah akan diterima-Nya. (QS Al-Bayyinah, 98: 5). Tanggal 9 Dzulhijjah 1430 H bertepatan dengan 22 November 2009 nanti, jutaan muslim berkumpul di wilayah Kota Suci Makkah. Mereka datang memenuhi panggilan Allah Swt untuk melaksanakan ibadah haji. Mereka berpakaian seragam putih-putih, datang dari segenap pelosok dunia, berbeda-beda warna kulitnya, bahasanya, kebangsaannya, dan status sosialnya (QS. Al-Haj,22:27).

Segala atribut keduniaan seperti pakaian kedinasan, bintang kehormatan, dan gelar kesarjanaan, harus dengan ikhlas mereka tinggalkan. Di sana tak ada lagi diskripsi golongan, jenis, pangkat, suku, ataupun ststus sosial. Yang ada hanyalah alegori secara komunal kebersamaan dengan peranan masing-masing jamaah haji. Setiap orang dipandang sama. Suasana klimaks dan puncak pelaksanaan ritual dan seremonial ibadah haji, tanggal 9 Dzul-Hijjah, ketika mereka melakukan wukuf di padang Arafah. Klimaks selanjutnya ialah pada tanggal 10 hingga 13 Dzul-Hijjah, yakni ketika mereka mabit di Muzdalifah, melontar jumrah di Mina, melaksanakan thawaf ifadhah dan sa’i di Masjidil Haram. Mereka hanyalah mengenakan busana ihram. Kain putih yang tak berjahit yang satu helai diselendangkan di bahu sebelah kiri, dan yang satu lagi dililitkan di pinggang sebagai sarung.

Kenapa demikian? Karena pada lazimnya, pakaian mewarnai watak manusia. Pakaian dapat melambangkan pola, pangkat, status dan perbedaan tertentu. Pakaian telah menciptakan batas-batas palsu yang menyebabkan timbulnya perbedaan dan perpecahan. Dari perpecahan ini biasanya timbul diskriminasi, dan selanjutnya munculnya konsep aku bukan lagi kita. Aku dipergunakan dalam konteks-konteks seperti suku-ku, golongan-ku, kedudukan-ku, keluarga-ku, kelompok-ku. Aku berbeda dengan kamu, aku lebih super dari kamu, aku lebih hebat dari kamu. Semuanya adalah aku sebagai individu yang sombong, congkak, takabur, hambeg adigang-adigung-adiguna, bukan lagi aku sebagai manusia. Dalam konteks inilah, maka setiap jamaah haji sewaktu melaksanakan prosesi haji harus melepaskan pakaian kotor mereka, pakaian kesombongan, kekejaman, penindasan, penipuan, kelicikan, dan pakaian perbudakan, yang semua itu melambangkan watak dan karakter mereka. Dan kini yang harus mereka pakai hanyalah kain ihram putih yang melambangkan kesucian, mencari makna hidup untuk menjadi manusia seutuhnya.

Pada hari itu, muslim yang tidak menunaikan ibadsah haji disunnahkan untuk membaca takbir, melaksanakan shalat Idul Adha dua raka’at, dan diakhiri menyembelih binatang qurban. Dalam kaitannya dengan menyembelih qurban, Allah menegaskan bahwa daging hewan yang diqurbankan itu tidak akan sampai kepada-Nya kecuali hanyalah ketaqwaan pelaksana qurban itu (QS Al-Haj, 22: 37). Jadi Allah tidak mengharapkan daging dan darah hewan qurban itu, tetapi mental ketaqwaan. Ini semua hanya tumbuh di hati yang bersih dan ikhlas. Di antara hikmah ibadah Qurban, ialah untuk mendekatkan diri atau taqarrub kepada Allah atas segala kenikmatan yang telah dilimpahkan-Nya yang tak seorangpun dapat menghitungnya (QS Ibrahim, 14: 34). .

Hikmah lainnya adalah dalam rangka menghidupkan sunnah para nabi terdahulu, khususnya sunnah Nabi Ibrahim, Bapak agama monoteisme (tauhid). Ibadah qurban berasal dari pengurbanan agung yang dilakukan Nabi Ibrahim terhadap putranya yang memenuhi perintah Allah. Allah sangat menghargai dan memuji pengurbanan Nabi Ibrahim yang dilandasi oleh iman dan takwanya yang tinggi dan murni, kemudian megganti putranya Ismail yang akan diqurbankan itu dengan seekor hewan domba yang besar (QS Ash-Shaffat, 37: 107).

Hikmah berikutnya adalah menghidupkan makna takbir di Hari Raya Idul Adha, 10 - 13 Dzulhijjah, yakni Hari Nasar (penyembelihan) dan hari-hari tasyriq. Pada Hari Raya, (Idul Fitri ataupun Idul Adha), setiap muslim diperintahkan untuk mengumandangkan takbir. Hal ini memberikan isyarat kepada kita, bahwa kebahagiaan yang hakiki, hanya akan terwujud, jika manusia itu dengan setulusnya bersedia memberikan pengakuan dan fungsi kehambaannya di hadapan Allah Swt dan dengan setulusnya bersaksi dahwa hanya Allah sajalah yang Maha Besar, Maha Esa, Maha Perkasa, dan sifat kesempurnaan lainya. Kebahagiaan yang sebenarnya akan tercapai, apabila manusia menyadari bahwa fungsi keberadaannya didunia ini hanyalah untuk menjadi hamba dan abdi Allah, bukan abdi dunia, ataupun abdi setan (QS Al-Dzarriyat, 51:56) (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar