REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Amri Amrullah, Fuji Pratiwi
WZF berharap zakat menjadi bagian dari kebijakan ekonomi dunia.
JAKARTA – Zakat dunia dalam sepuluh tahun terakhir mengalami pertumbuhan. Ini terlihat dari peningkatan pengumpulan dan distribusi zakat. Meski demikian, kata Wakil Sekjen World Zakat Forum (WZF) Ahmad Juwaini, jumlahnya belum sesuai potensi.
Menurut dia, potensi zakat di negara-negara Muslim angkanya mencapai Rp 6.000 triliun. ‘’Dari seluruh potensi dan pengumpulan zakat yang telah dilakukan, Arab Saudi merupakan salah satu negara yang terbesar yaitu Rp 1.000 triliun,’’ katanya, Rabu (2/4).
Sisanya tersebar di negara-negara berpenduduk Muslim lainnya, termasuk Indonesia, yang pengumpulannya per tahun menembus Rp 217 triliun. Segala usaha mendorong laju zakat dan cara efektfif pengelolaan zakat ditempuh.
Termasuk dengan menggelar konferensi tingkat dunia di New York, AS pada 28 hingga 29 Mei 2014 mendatang. Tema yang diangkat Zakat for Global Welfare. Lembaga zakat, ulama, dan pemerhati zakat dari seluruh dunia akan hadir.
Juwaini yang juga menjabat presiden direktur Dompet Dhuafa menyatakan akan ada pertukaran ide dan pengalaman pengelolaan zakat. Termasuk standardisasi pengelolaan karena setiap negara Muslim memiliki standar berbeda.
Kelak harus ada rumusan yang bisa diterapkan secara internasional. Tak hanya di negara Muslim tetapi juga di negara yang umat Islamnya minoritas. Termasuk, merespons kemungkinan gagalnya Millenium Development Goals (MDGs) mengurangi kemiskinan pada 2015.
Juwaini menegaskan, sudah saatnya zakat berperan secara global. ’’Kami juga menghendaki zakat menjadi bagian kebijakan ekonomi dunia. ’’ Perhelatan konferensi di New York merupakan strategi untuk menyentuh para pengambil kebijakan ekonomi dunia.
Selama ini, kata dia, kapitalisme mengabaikan kaum miskin. Saat ada masalah, para dhuafa itu dituntut untuk mampu mencari jalan keluar sendiri. Berbeda dengan konsep zakat. Orang-orang kaya mengeluarkan zakat untuk membantu mengentaskan kemiskinan.
Dalam konteks ini, Juwaini menganjurkan agar bantuan dari dana zakat dalam bentuk tetap dan jangka panjang. Misalnya rumah sakit atau pemberdayaan ekonomi. Ini akan lebih baik daripada bantuan yang sifatnya sporadis dan sektoral.
Dompet Dhuafa di AS, kata Juwaini, membantu para mualaf yang kesulitan ekonomi setelah mereka memeluk Islam. ‘’Kami juga membuat program pengarahan ekonomi bagi imigran Muslim yang mengungsi akibat perang atau bencana alam.’’
Sedangkan di Australia, Dompet Dhuafa berupaya membantu Muslim yang dipenjara agar mereka tidak menderita dan kesulitan saat di dalam maupun setelah dipenjara. Setelah itu, ada bantuan yang sifat manfaatnya berkelanjutan.
Ketua Umum Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) Didin Hafiduddin meyakini zakat alternatif mewujudkan kesejahteraan. Zakat memungkinkan digunakan untuk mengatasi kesenjangan antara negara kaya dan miskin.
Pada saat ini, negara miskin semakin banyak berutang kepada negara kaya dan membuat mereka semakin kaya. Ini harusnya diatasi. Negara-negara dunia tidak bisa lagi mengandalkan kapitalisme untuk membangun mensejahterakan.
Zakat adalah konsep yang sebernarnya berlaku global dan secara empiris sudah terbukti manfaatnya. ’’Tapi masih ada yang takut hanya karena bersumber dari Islam,’’ kata Didin. Padahal Islam adalah rahmat bagi semua dan kaya konsep kesejahteraan, salah satunya lewat zakat.
Ia menjelaskan, konferensi internasional zakat di New York pada Mei mendatang, dihadiri perwakilan Mesir, Australia, Eropa, dan AS. AS sebagai tuan rumah diwakili oleh Nusantara Foundation yang dikelola oleh Ustaz Syamsi Ali.
Selama ini, Syamsi merupakan imam di salah satu masjid di New York. Indonesia berencana mengirimkan 30 anggota delegasi. Mereka berasal dari Baznas, lembaga amil zakat, dan akademisi.
Semoga, kata Didin, lahir alternatif-alternatif untuk mendayagunakan zakat sebagai sarana menyejahterakan masyarakat. Bukan hanya di negara-negara Muslim tetapi juga dunia.
WZF berharap zakat menjadi bagian dari kebijakan ekonomi dunia.
JAKARTA – Zakat dunia dalam sepuluh tahun terakhir mengalami pertumbuhan. Ini terlihat dari peningkatan pengumpulan dan distribusi zakat. Meski demikian, kata Wakil Sekjen World Zakat Forum (WZF) Ahmad Juwaini, jumlahnya belum sesuai potensi.
Menurut dia, potensi zakat di negara-negara Muslim angkanya mencapai Rp 6.000 triliun. ‘’Dari seluruh potensi dan pengumpulan zakat yang telah dilakukan, Arab Saudi merupakan salah satu negara yang terbesar yaitu Rp 1.000 triliun,’’ katanya, Rabu (2/4).
Sisanya tersebar di negara-negara berpenduduk Muslim lainnya, termasuk Indonesia, yang pengumpulannya per tahun menembus Rp 217 triliun. Segala usaha mendorong laju zakat dan cara efektfif pengelolaan zakat ditempuh.
Termasuk dengan menggelar konferensi tingkat dunia di New York, AS pada 28 hingga 29 Mei 2014 mendatang. Tema yang diangkat Zakat for Global Welfare. Lembaga zakat, ulama, dan pemerhati zakat dari seluruh dunia akan hadir.
Juwaini yang juga menjabat presiden direktur Dompet Dhuafa menyatakan akan ada pertukaran ide dan pengalaman pengelolaan zakat. Termasuk standardisasi pengelolaan karena setiap negara Muslim memiliki standar berbeda.
Kelak harus ada rumusan yang bisa diterapkan secara internasional. Tak hanya di negara Muslim tetapi juga di negara yang umat Islamnya minoritas. Termasuk, merespons kemungkinan gagalnya Millenium Development Goals (MDGs) mengurangi kemiskinan pada 2015.
Juwaini menegaskan, sudah saatnya zakat berperan secara global. ’’Kami juga menghendaki zakat menjadi bagian kebijakan ekonomi dunia. ’’ Perhelatan konferensi di New York merupakan strategi untuk menyentuh para pengambil kebijakan ekonomi dunia.
Selama ini, kata dia, kapitalisme mengabaikan kaum miskin. Saat ada masalah, para dhuafa itu dituntut untuk mampu mencari jalan keluar sendiri. Berbeda dengan konsep zakat. Orang-orang kaya mengeluarkan zakat untuk membantu mengentaskan kemiskinan.
Dalam konteks ini, Juwaini menganjurkan agar bantuan dari dana zakat dalam bentuk tetap dan jangka panjang. Misalnya rumah sakit atau pemberdayaan ekonomi. Ini akan lebih baik daripada bantuan yang sifatnya sporadis dan sektoral.
Dompet Dhuafa di AS, kata Juwaini, membantu para mualaf yang kesulitan ekonomi setelah mereka memeluk Islam. ‘’Kami juga membuat program pengarahan ekonomi bagi imigran Muslim yang mengungsi akibat perang atau bencana alam.’’
Sedangkan di Australia, Dompet Dhuafa berupaya membantu Muslim yang dipenjara agar mereka tidak menderita dan kesulitan saat di dalam maupun setelah dipenjara. Setelah itu, ada bantuan yang sifat manfaatnya berkelanjutan.
Ketua Umum Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) Didin Hafiduddin meyakini zakat alternatif mewujudkan kesejahteraan. Zakat memungkinkan digunakan untuk mengatasi kesenjangan antara negara kaya dan miskin.
Pada saat ini, negara miskin semakin banyak berutang kepada negara kaya dan membuat mereka semakin kaya. Ini harusnya diatasi. Negara-negara dunia tidak bisa lagi mengandalkan kapitalisme untuk membangun mensejahterakan.
Zakat adalah konsep yang sebernarnya berlaku global dan secara empiris sudah terbukti manfaatnya. ’’Tapi masih ada yang takut hanya karena bersumber dari Islam,’’ kata Didin. Padahal Islam adalah rahmat bagi semua dan kaya konsep kesejahteraan, salah satunya lewat zakat.
Ia menjelaskan, konferensi internasional zakat di New York pada Mei mendatang, dihadiri perwakilan Mesir, Australia, Eropa, dan AS. AS sebagai tuan rumah diwakili oleh Nusantara Foundation yang dikelola oleh Ustaz Syamsi Ali.
Selama ini, Syamsi merupakan imam di salah satu masjid di New York. Indonesia berencana mengirimkan 30 anggota delegasi. Mereka berasal dari Baznas, lembaga amil zakat, dan akademisi.
Semoga, kata Didin, lahir alternatif-alternatif untuk mendayagunakan zakat sebagai sarana menyejahterakan masyarakat. Bukan hanya di negara-negara Muslim tetapi juga dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar