Rabu, 01 Oktober 2025

Nasihat Nabi agar Umatnya Tenang Jalani Hidup di Dunia



REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pesona dunia kerap membuat seseorang lupa akan hakikat hidup di dunia. Sehingga, menjadikannya lalai dalam melakukan tugas dan kewajiban sebagai seorang hamba, yaitu beribadah kepada Allah SWT. Padahal, kehidupan dunia tak lebih hanya permainan dan senda gurau belaka (QS Muhammad [47]: 36).

Tak heran bila kemudian Rasulullah SAW selalu mengingatkan umatnya untuk menyikapi hidup di dunia ini sebagai ladang berbekal, dan sebaik-baiknya bekal adalah takwa kepada Allah SWT. (QS Al-Baqarah [2]: 197).

Oleh karena itu, Ibnu Umar RA mengambil wasiat dari Rasulullah untuk menggunakan setiap kesempatan guna berbekal. ''Jika kamu berada di masa sore, jangan menunggu waktu pagi. Dan jika kamu berada di waktu pagi, jangan menunggu masa sore. Manfaatkanlah masa sehatmu sebelum datang masa sakitmu, dan masa hidupmu sebelum datang kematianmu" (HR Bukhari).

Menjadikan hidup di dunia hanya sebagai ladang berbekal akan menimbulkan perasaan bahwa hakikat diri adalah asing di dunia dan tidak mungkin menetap selamanya. Diri tidak lagi terpikat pada segala sesuatu yang menggoda di tempat persinggahan sementaranya itu. Hatinya hanya terpaut pada tujuan yang akan menjadi tempat kembalinya kelak. Bahkan, dia akan menganggap dirinya seperti 'musafir' yang ingin terus melanjutkan perjalanan hingga batas akhir tujuan, yaitu kehidupan abadi di akhirat.

Memahami kehidupan di dunia ini layaknya musafir, telah diajarkan oleh Rasulullah melalui sabdanya, ''Aku tidak memiliki kecenderungan (kecintaan) terhadap dunia. Keberadaanku di dalam dunia seperti seorang musafir yang berteduh di bawah pohon, kemudian pergi dan meninggalkan pohon tersebut" (HR Tirmidzi).

Oleh karena itu, wajib bagi seorang Mukmin untuk bersegera melakukan kebaikan sebelum dia tidak mampu lagi untuk melakukannya, baik karena menderita sakit atau karena kematian yang menjemput.

Dan di saat manusia terhalang untuk melakukan amal kebaikan, maka yang tersisa hanyalah penyesalan dan kesedihan. Dia hanya bisa berandai untuk kembali sehat atau hidup lagi, padahal harapan itu sia-sia belaka.

Firman-Nya: "Hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka (orang-orang kafir), dia berkata, 'Ya Tuhanku kembalikanlah aku (ke dunia). Agar aku berbuat amal saleh terhadap apa yang telah aku tinggalkan'. Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada dinding hingga hari mereka dibangkitkan" (QS Al-Mukminun [23]: 99-100).

Kamis, 18 September 2025

Menyayangi Orang Miskin


REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- "Barang siapa melapangkan kesempitan seorang mukmin di dunia, maka Allah akan melapangkan baginya kesusahan di hari kiamat, dan barang siapa memudahkan kesukaran seseorang, maka Allah akan memudahkan baginya di dunia dan akhirat.'' (HR Muslim)
Syariat Islam bertabur dengan anjuran untuk memperbanyak sedekah dan pebuatan baik terhadap sesama. Islam mengajak para pemeluknya untuk selalu menolong orang-orang yang kesusahan dan menyayangi fakir miskin.
Hadis Nabi menyatakan, ''Bentengilah hartamu dengan zakat, obati orang-orang sakit (dari kalangan kerabatmu) dengan bersedekah, dan persiapkan doa untuk menghadapi datangnya bencana.'' (HR Aththabrani).
Dalam hadis lain dinyatakan, "Naungan bagi seorang mukmin pada hari kiamat adalah sedekahnya." (HR Ahmad)
Bersedekah, berkurban serta ibadah sosial lainnya merupakan wujud syukur kepada Allah SWT atas segala nikmat yang telah diberikan-Nya.
Allah SWT menyatakan dalam surah al-Kautsar: 1-3, "Sesungguhnya Kami telah memberimu nikmat yang serba banyak. Maka shalatlah karena Tuhanmu, dan berkurbanlah. Sesungguhnya mereka yang membencimu termasuk orang-orang yang terputus amalannya."
Setiap hari hendaknya jadi kesempatan bagi setiap Muslim untuk memperbarui dan meningkatkan rasa belas kasih terhadap orang-orang tak berpunya. Setiap sedekah yang dilandasi hati ikhlas kepada mereka akan sangat berarti. Mereka menerimanya dengan suka cita dan penuh harap.
Menarik sekali uraian Dr H Muslim Nasution dalam bukunya, Menuju Ketenangan Batin (Gema Insani Press, 2002). Ternyata, menyayangi dan membantu orang miskin, orang yang ditimpa kesusahan, dan anak yatim merupakan salah satu sarana untuk menenangkan batin. Dari segi materi, terkadang orang yang memberikan bantuan kepada orang lain terlihat rugi, berkurang milik atau uangnya. Namun, dengan pemberian yang ikhlas itu, akan tenanglah batinnya.
Dengan itu, tubuh dan jiwanya menjadi semakin sehat. Cobalah palingkan wajah sejenak ke sekeliling rumah tinggal, perusahaan, maupun kantor kita. Orang-orang miskin ada di mana-mana. Mereka mendambakan kepedulian, kasih sayang, dan uluran tangan kita. Mudah-mudahan Allah menggerakkan hati kita untuk menyayangi dan menolong mereka yang hidupnya tidak beruntung.

Selasa, 12 Agustus 2025

Jauhi Kebiasaan Menunda-nunda



REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bersegera dan tidak menunda adalah cerminan pribadi seorang Muslim. Tepatnya, cerminan dari orang yang sadar akan hakikat waktu. Waktu cepat sekali berlalu. Sekali lewat, ia tidak akan pernah kembali dan tidak akan pernah tergantikan. Karena itu, waktu menjadi harta termahal yang dimiliki manusia. Menggunakannya dengan cara yang tepat adalah sebuah kewajiban. Ada tiga alasan mengapa Allah dan Rasul-Nya mewajibkan manusia untuk tidak menunda sebuah pekerjaan. Pertama, tidak ada jaminan kita bisa hidup hingga esok hari. "Dan tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan dikerjakannya besok. Dan tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati" (QS Luqman: 34).
Siapakah yang dapat menjamin kita bisa hidup hingga besok, lusa, bulan depan, atau tahun depan; padahal kematian begitu dekat dengan tiap manusia. Seorang penyair berkata, "Selesaikan pekerjaanmu hari ini, jangan menunggu besok. Siapa yang akan menanggung perkaramu di esok hari?"

Kedua, dalam setiap waktu ada hak dan kewajiban yang harus ditunaikan. Tidak ada waktu yang kosong dari aktivitas. Pengabaian terhadap hak dan kewajiban tersebut akan membawa kemudharatan berlipat-lipat bagi yang melakukannya.

Seorang ahli hikmah berkata bahwa kewajiban pada tiap-tiap waktu memungkinkan untuk diganti, namun hak-hak dari tiap waktu tersebut tidak mungkin diganti. Ibnu 'Atha mengungkapkan, "Sesungguhnya pada setiap waktu yang datang, maka bagi Allah atas dirimu kewajiban yang baru. Bagaimana kamu akan mengerjakan kewajiban yang lain, padahal ada hak Allah di dalamnya yang belum kamu laksanakan!"

Ketiga, baik bersegera ataupun menunda yang terus dilakukan akan menjadikan jiwa terbiasa melakukannya. Tidak akan pernah menjadi penunda "kelas berat", kecuali diawali dengan menunda kecil-kecilan dalam intensitas yang tinggi. Kebiasaan menunda akan menjadi tabiat kedua yang akan sulit ditinggalkan.

Karena itu, Allah SWT melarang hamba-Nya melalaikan waktu sedikitpun, termasuk menunda pekerjaan. Rasulullah SAW menjelaskan, "Jika seorang hamba melakukan satu dosa, niscaya akan ditorehkan di hatinya satu noda hitam. Seandainya dia meninggalkan dosa itu, beristighfar dan bertaubat; niscaya noda itu akan dihapus. Tapi jika dia kembali berbuat dosa, niscaya noda-noda itu akan semakin bertambah hingga menghitamkan semua hatinya.

Itulah penutup yang difirmankan Allah, 'Sekali-kali tidak demikian, sebenarnya apa yang selalu mereka lakukan itu telah menutup hati mereka' (QS al-Muthaffifin: 14).'"