Fenomena menarik di Indonesia,
menjelang bulan puasa maupun lebaran, yang hampir terjadi setiap tahunnya
adalah kontroversi penentuan awal bulan Ramdlan dan Syawal. Kontroversi ini
terjadi di beberapa organisasi keagamaan dan lembaga pemerintahan yang ada di
Indonesia. Untuk mengetahui masuknya awal bulan, ada beberapa organisasi di
antara sekian banyak organisasi keagamaan bersikeras mengaplikasikan secara
independen metodologi hisab maupun rukyat. Namun ada juga yang lebih memilih
untuk melakukan kalaborasi antara keduanya.
Ternyata,
dinamika keagamaan seperti ini sulit dikendalikan. Apalagi masing-masing dari
mereka sama-sama merasa telah mengantongi legalitas agama dan merasa sebagai
kelompok yang mampu mengimplementasikan firman Allah dan sabda rasul-Nya.
Sebuah realita yang patut disayangkan; bagaimana mungkin dalam sebuah negara
mempunyai begitu banyak otoritas dalam memberikan rekomendasi masuknya awal
bulan Ramadlan maupun Syawal, sebagai tanda umat Islam mempunyai kewajiban
berpuasa dan berhari raya.
Memang,
sejauh ini, realita sosial masing-masing organisasi keagamaan masih mampu
menunjukkan sikap toleransi, meskipun dalam tataran praktis di kalangan
tertentu masih tetap terkontaminasi, sehingga perbedaan itu berpotensi
menciptakan terjadinya sentimen keagamaan di luar paham kelompoknya. Inilah
sebuah problem yang tentunya membutuhkan gagasan solutif agar semua pihak tidak
terjebak pada pola berfikir particular dan parsial sehingga mampu menciptakan
pola berfikir multidimensional dan komprehensif.
Legalisasi
Metodologi Rukyah dan Hisab
Membicarakan
metodologi rukyah --dalam konteks Indonesia-- tentunya tidak lepas dari
organisasi besar Nahdlatul Ulama (NU). Setiap menjelang bulan puasa dan hari
raya, organisasi ini secara konsisten menggunakan metode rukyah sebagai skala
prioritasnya, daripada metode hisab. Legalitas metodologi rukyah yang digunakan
bertendensi adalah al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 185 dan banyak Hadits yang
secara eksplisit menggunakan redaksi “rukyah” dalam menentukan awal
bulan awal puasa dan hari raya. Oleh karena itu –menurut mereka, dengan mengacu
pada pendapat mayoritas ulama—hadits mengenai rukyah tersebut mempunyai
kapasitas sebagai interpretasi al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 185 tersebut di
atas. Jika bentuk perintah pada redaksi Hadits sekaligus praktek yang dilakukan
pada pereode nabi telah jelas menggunakan rukyah, mengapa harus menggunakan
metode hisab?
Pada kesempatan lain, organisasi keagamaan semisal Muhammadiyah bersikeras menggunakan metodologi hisab dan meyakini bahwa metode ini sebagai metode paling relevan yang harus digunakan umat Islam dewasa ini. Argumen ini mengemuka salahsatunya mengacu pada aspek akurasi metodologis-nya. Menurut mereka, polusi, pemanasan global dan keterbatasan kemampuan penglihatan manusia juga menyebabkan metode rukyah semakin jauh relevansinya untuk dijadikan acuan penentuan awal bulan. Semangat al-Qur’an adalah menggunakan hisab, sebagaimana terdapat pada surat al-Rahman ayat 5. Di sana menegaskan bahwa matahari dan bulan beredar dengan hukum yang pasti dan peredarannya itu dapat dihitung dan diteliti. Kapasitas ayat ini bukan hanya bersifat informative, namun lebih dari itu, ia sebagai motifasi umat Islam untuk melakukan perhitungan gerak matahari dan bulan.
Mengenai redaksi “syahida” dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 185 itu bukanlah “melihat” sebagai interpretasinya, namun ia bermakna “bersaksi”, meskipun dalam tataran praktis pesaksi samasekali tidak melihat visibilitas hilal (penampakan bulan).
Pada kesempatan lain, organisasi keagamaan semisal Muhammadiyah bersikeras menggunakan metodologi hisab dan meyakini bahwa metode ini sebagai metode paling relevan yang harus digunakan umat Islam dewasa ini. Argumen ini mengemuka salahsatunya mengacu pada aspek akurasi metodologis-nya. Menurut mereka, polusi, pemanasan global dan keterbatasan kemampuan penglihatan manusia juga menyebabkan metode rukyah semakin jauh relevansinya untuk dijadikan acuan penentuan awal bulan. Semangat al-Qur’an adalah menggunakan hisab, sebagaimana terdapat pada surat al-Rahman ayat 5. Di sana menegaskan bahwa matahari dan bulan beredar dengan hukum yang pasti dan peredarannya itu dapat dihitung dan diteliti. Kapasitas ayat ini bukan hanya bersifat informative, namun lebih dari itu, ia sebagai motifasi umat Islam untuk melakukan perhitungan gerak matahari dan bulan.
Mengenai redaksi “syahida” dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 185 itu bukanlah “melihat” sebagai interpretasinya, namun ia bermakna “bersaksi”, meskipun dalam tataran praktis pesaksi samasekali tidak melihat visibilitas hilal (penampakan bulan).
Memang,
banyak hadits secara eksplisit memerintahkan untuk melakukan rukyah, ketika
hendak memasuki bulan Ramadlan maupun Syawal. Namun redaksi itu muncul
disebabkan kondisi disiplin ilmu astronomi pereode nabi berbeda dengan pereode
sekarang, dimana kajian astronomi sekarang jauh lebih sistematis sekaligus
akurasinya lebih dapat dipertanggungjawabkan. Nabi sendiri dalam sebuah
hadisnya menyatakan bahwa: ”innâ ummatun ummiyyatun, lâ naktubu wa lâ
nahsubu. Al-Syahru hâkadzâ wa hâkadzâ wa asyâra biyadihi”, Artinya: “Kita
adalah umat yang ummi, tidak dapat menulis dan berhitung. Bulan itu seperti ini
dan seperti ini, (nabi berisyarat dengan menggunakan tangannya)”. Jadi,
mempriotiaskan metode hisab merupakan sesuatu yang tidak mungkin dilakukan pada
pereode nabi.
Analisa, Solusi dan Penutup
Analisa, Solusi dan Penutup
Menurut
hemat Penulis, metodologi hisab dan rukyah merupakan dua komponen yang
mempunyai korelasi sangat erat dan hampir tidak dapat dipisahkan. Rasanya tidak
tepat jika dalam penentuan awal bulan hanya murni menggunakan metode rukyah.
Sebab, meskipun telah dilengkapi dengan teknologi teleskop, ada banyak
problematika yang harus dihadapi, semisal adanya polusi, pemanasan global dan
kemampuan mata yang terbatas, sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Begitu
juga sebaliknya, tidak tepat jika dalam penentuan awal bulan hanya menggunakan
metode hisab. Alasan paling mendasar adalah fakta empiris metodologi ini
bermula dari sebuah riset para astronom, sedangkan obyeknya adalah
"melihat" peredaran matahari dan bulan. Memang, dipandang dari
akurasi metodologisnya, hisab lebih unggul dibanding rukyah. Tingkat kesalahan
metodologi hisab jauh lebih kecil dibanding metodologi rukyah. Namun,
bagaimanapun juga hasil ilmiah apapun tidak akan pernah dapat dipertanggungjawabkan
jika pada akhirnya tidak sesuai dengan fakta.
Telah
jelas kontroversi metodologi hisab maupun rukyah --secara aplikatif-- merupakan
persoalan furu’iyyat (hukum cabang). Tentunya perbedaan-perbedaan yang
ada tidak perlu dibesar-besarkan. Namun, fenomena kontroversial itu tidak dapat
dibiarkan bagitu saja, mengingat dampak arus bawah yang timbul begitu
signifikan. Pada dasarnya itsbat (keputusan) penetapan bulan
Ramadlan maupun Syawal adalah hak preogratif pemerintah (Departemen Agama) secara
otoritatif. Apalagi telah jelas, pemerintah selama ini mampu mengakomodir semua
aspirasi organisasi keagamaan di Indonesia, dengan mengundang masing-masing
delegasi untuk melakukan rukyat sekaligus hisab. Jadi, sama sekali tidak salah,
jika mulai dari sekarang masing-masing organisasi mencoba untuk menghormati
otoritas pemerintahan ini. Wallahu a’lam.
Muhammad Nurul Ahsan (Al-Azhar University)
Sumber : http://www.pesantrenvirtual.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar