Halaman

Kamis, 06 Juli 2023

Bersyukur Itu Kaya



 Hakikat kekayaan adalah puasnya hati atas nikmat yang Allah SWT berikan.

Oleh NAWAWI EFENDI

Dalam hidup ini akan selalu ada orang yang lebih kaya dari kita. Namun, jika kita mensyukuri apa adanya, maka hati kita akan tenang.

Bahkan, hakikat kekayaan adalah puasnya hati atas nikmat yang Allah SWT berikan. Sedikit apa pun, jika itu adalah pemberian-Nya, maka itulah yang terbaik. Adakalanya seseorang diberi banyak nikmat, tetapi malah terjerumus pada kebinasaan karena keengganannya untuk bersyukur.

Allah SWT sudah mengingatkan kita dalam firman-Nya, “(Ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, 'Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), sesungguhnya azab-Ku benar-benar sangat keras'.” (QS Ibrahim [14]: 7).

Disebutkan dalam tafsir At-Tabari bahwa yang dimaksud ‘bersyukur’ pada ayat tersebut adalah melakukan ketaatan pada Allah SWT. Sedangkan yang dimaksud ‘mengingkari’ adalah melakukan kemaksiatan pada-Nya.


Firman Allah SWT ini ada kaitannya dengan firman-Nya yang lain. “Terhadap nikmat Tuhanmu, nyatakanlah (dengan bersyukur).” (QS ad-Duha [93]: 11).

Dari kedua ayat Alquran tersebut dapat dipahami bahwa bersyukur itu bukan pilihan, tetapi perintah Allah SWT. Untuk bisa bersyukur, kita harus mengingat-ingat kembali apa pun yang telah Allah SWT berikan pada kita sampai detik ini. Dengan begitu, kita akan sadar ternyata lautan karunia-Nya sungguh tak terhingga.

 
Untuk bisa bersyukur, kita harus mengingat-ingat kembali apa pun yang telah Allah SWT berikan pada kita sampai detik ini. Dengan begitu, kita akan sadar ternyata lautan karunia-Nya sungguh tak terhingga.


 




Yang lebih besar dan agung dari semuanya itu adalah iman di dalam hati. Rasulullah SAW pun memberikan pemahaman bahwa ternyata bersyukur itu bukan hanya kepada Allah SWT, tetapi juga pada manusia. Sebagaimana sabda beliau, “Barangsiapa yang tidak berterima kasih pada orang lain, berarti ia tidak bersyukur pada Allah.” (HR At-Tirmidzi).

Lebih lanjut, Nabi SAW memberikan tuntunan terkait cara membalas kebaikan orang lain. “Barangsiapa yang memperoleh kebaikan dari orang lain, hendaklah ia membalasnya. Jika ia tidak menemukan sesuatu untuk membalasnya, hendaklah ia memuji orang tersebut, karena jika ia memujinya, maka ia telah mensyukurinya. Jika ia menyembunyikannya, berarti ia telah mengingkari kebaikannya.” (HR At-Tirmidzi).

Mari kita renungkan sejenak hadis Rasulullah SAW tersebut. Jika hubungan antar manusia saja, Rasulullah SAW memerintahkan kita untuk berusaha membalas kebaikan orang lain, walaupun hanya dengan memujinya, apalagi hubungan kita dengan Allah SWT. Bukankah Allah SWT telah memberikan segalanya yang terbaik pada kita, sesuai dengan ukuran dan takaran?

Bukankah sudah sepantasnya jika Allah SWT memerintahkan kita untuk beribadah pada-Nya sebagai bentuk syukur atas semua nikmat dan karunia-Nya?

Bahkan, saat Rasulullah SAW ditanya oleh Siti Aisyah RA mengapa beliau melakukan shalat malam sampai kedua telapak kaki beliau pecah-pecah, beliau menjawab, “Adakah aku tidak senang untuk menjadi hamba yang banyak bersyukur?” (HR Bukhari dan Muslim).

Kita harus menyadari semua nikmat Allah SWT, sehingga kita akan mudah bersyukur. Jika kita bersyukur, maka nikmat itu pasti akan ditambah.

Bertambahnya nikmat bukan hanya tentang kuantitas atau banyaknya, tetapi juga tentang keberkahan dan kebermanfaatan di dunia maupun di akhirat. Itulah hakikat kekayaan.

Begitu juga jika kita berusaha membalas kebaikan orang lain dengan yang lebih baik atau sekadar menyebut kebaikannya, maka akan terjalin hubungan harmonis dalam kehidupan bermasyarakat. Dari situ akan tercipta budaya saling memberi, sebagaimana hadis Rasulullah SAW, “Hendaklah kalian saling memberi hadiah, niscaya kalian akan saling mencintai.” (HR Bukhari).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar