Halaman

Jumat, 28 Agustus 2015

Sisa-Sisa Kejayaan Byzantium di Istanbul

Kebesaran Byzantium tak hanya mewariskan Hagia Sofia (Ayasofia) kepada Istanbul. Namun juga berbagai bangunan yang menembus milenium.
Berpuluh abad berada dalam genggaman dua peradaban dunia menyebabkan Istanbul jadi kota bersejarah menarik. Kontur kota berbukit-bukit. Penuh oleh pemukiman penduduk, perkantoran dan daerah belanja. Menara-menara masjid menyembul di antaranya. Menghiasi panorama kota.
Kota Konstatinopel, ibukota Byzantium, terletak antara teluk kecil Golden Horn dan Laut Marmara. Di wilayah Eropa Istanbul masa kini. Bagian di mana sebagian besar peninggalan Dinasti Utsmaniyyah juga bisa ditemukan hingga kini.
Byzanz adalah cikal bakal Kota Konstantinopel sekaligus Kekaisaran Byzantium. Awalnya adalah sebuah desa nelayan kecil di ujung daratan Serail. Byzanz berkembang pesat setelah dikuasai oleh Romawi Kuno. Menamainya Augusta Antonina, Kaisar Septimius Severus mulai membangun tembok sekeliling kota, gerbang kota dan Hippodrom. Kaisar Roma Konstantin kemudian menjadikan Augusta Antonina sebagai ibukota Kekaisaran Romawi tahun 330 masehi. Sejarah penting yang menjadikan Konstantinopel menjadi negara utama di Eurasia kala itu.
Ayasofia
Kaisar Justinian (memerintah tahun 527-65) adalah kaisar paling terkenal dalam pemerintahan Byzantium. Bersama istrinya Theodora, beliau menghiasi Konstatinopel dengan konstruksi-konstruksi megah yang bertahan hingga berabad lamanya. Ayasofia Kecil, Aya Irini, Yerebatan Sarnici, dan yang paling spektakuler adalah Ayasofia. Selesai tahun 537.
Taman Ayasofia
Cantiknya lampu taman depan Ayasofia
Ayasofia, salah satu lambang kota Istanbul, terletak berhadapan dengan Masjid Sultanahmet di pusat koat berpenduduk sekitar 13 juta jiwa ini. Sebuah taman memisahkan keduanya. Daerah ini selalu ramai. Baik oleh para turis maupun penduduk lokal. Pedagang makanan kaki lima menggelar dagangan dari pagi hingga malam tiba. Antrian panjang selalu terjadi di depan gerbang masuk Ayasofia. Satu antrian panjang menjelang penjualan tiket. Satu antrian panjang di depan gerbang masuk.
Dari luar, bentuk Ayasofia terlihat tak umum. Sebuah konstruksi gigantis berkubah dengan tembok warna merah. Sekelilingnya berdiri empat menara. Satu dari batu bata merah, lainnya dari batu kapur putih. Gereja ini berubah fungsi menjadi sebuah masjid setelah Turki Utsmani menguasai tahun 1453. Pemimpin Turki modern, Ataturk,  menjadikannya museum tahun 1934.
Di dekat gerbang masuk, berdiri sebuah masjid dan kompleks makam keluarga sultan. Tepat di depan pintu gereja, ada galian bekas Hagia Sofia yang dibangun kaisar Theodosius. Masuk ke dalam, jangan kaget kalau suasananya hampir selalu ramai. Di dalam, temaram akan menyambut setiap pengunjung. Penerangannya dari lampu-lampu gantung bersinar kuning. Koridor lebar dengan kubah-kubah mini berhias lukisan warna keemasan berada di depan ruangan utama gereja.
Jika bagian luar terlihat ‚aneh‘, interior Aya Sofia dengan kubah luar biasa megahnya adalah keindahan tiada tara. Arsitek Anthemius of Tralles dan Isidore of Miletus dari Yunani membuat satu maha karya tak tertandingi. Satu ruangan luas berhias sekira 30 juta mozaik keemasan. Kubah berdiamater 30 meter dibangun bagai tanpa penopang. Kubah tersebut terdiri 40 rusuk terbuat dari bata berongga. Bertumpu pada empat pilar besar yang tersembunyi di bagian dalam dinding. Satu milenium kemudian, arsitek Sinan mencontoh system ini dalam membangun Masjid Suleymaniye.
Lantai dan sebagian tembok dalam terbuat dari batuan keramik. Dinding bagian atas dan kubah-kubah berhias aneka lukisan dan kaligrafi. Pengunjung hanya diperbolehkan masuk hingga bagian tertentu. Di ujung gereja, di bawah lukisan Madonna dan seorang anak, daerah dimana mihrab dan mimbar ditambahkan ketika zaman Turki Utsmani, tertutup untuk umum. Ia dibatasi tali dan dijaga oleh seorang petugas.
Kembali koridor, gunakan pintu gerbang sebelah kanan untuk naik menuju galeri atas. Bukan tangga kita temukan, melainkan jalanan batu alam mengular tanpa ventilasi. Di bagian dalamnya, ada pintu khusus menuju ruang mozaik. Menggambarkan Perawan Maria, Jesus, para santa atau para kaisar. Pengunjung tak diperbolehkan memotret dengan blitz. Sebagian mozaik sudah tak utuh.
Museum Mozaik
Masuk ke Bazar Arasta di belakang Masjid Sultanahmet, akan kita temukan museum bersejarah kecil. Kumpulan mozaik di bawah tanah ini ditemukan pertengahan tahun 1950-an oleh para arkeolog. Ia diperkirakan dipasang di lantai bekas istana kekaisaran. Aslinya kira-kira 3500 – 4000 meter persegi. Sisa seluas 250 meter persegi adalah yang terbesar yang pernah ditemukan. Tangga-tangga khusus dibangun agar pengunjung dapat menikmati sisa-sisa mozaik di lantai maupun dinding.
Sisa mozaik itu menggambarkan para penggembala, bermacam binatang, kisah perburuan dan mitologi. Memotret dengan blitz juga tak diperbolehkan. Dikhawatirkan bisa merusak mozaik.
Hippodrom
Peninggalan Byzantium Istanbul
Obelisk berlatar belakang Sultanahmet
Sekira seribu tahun lamanya Hippodrom menjadi nadi kehidupan Byzantium. Plus 400 tahun kekhalifahan Turki Utsmani. Sampai kini masih jadi pusat keramaian penduduk lokal. Berkumpulnya massa dalam jumlah besar di Hippodrom di masa lampau, artinya sesuatu dramatis sedang dan akan terjadi. Bahkan bisa menyebabkan jatuhnya seorang kaisar atau sultan.
Sisa-sisa Hippodrom tinggal sedikit saja. Sekarang ia menjadi tempat terbuka luas di sebelah Masjid Sultanahmet. Tiga monumen berasal dari zaman Byzantium. Semunya berpagar besi. Paling selatan sebuah obelisk bertutup bata yang direnovasi pada masa pemerintahan Konstantin VII. Porphyrogennetos (memerintah tahun 913-959). Di tengah berdiri satu kolom aneh berbentuk ulir hijau, muncul dari satu lubang di tanah. Paling utara dekat pintu masuk tengah masjid, adalah obelisk paling cantik di antara ketiganya, Obelisk Theodosius. Dipahat dari batu granit sekitar tahun 1450 sebelum masehi di Mesir. Kaisar Theodosius memindahkannya ke Konstantinopel tahun 390 masehi. Pahatan gambar-gambar dari Mesir kuno masih terlihat sangat bagus.
Ayasofia Kecil
Kaisar Justinian dan Theodora membangun gereja kecil ini sebelum Ayasofia, antara tahun 527-536. Lokasinya di ujung Jalan Kucuk Aya Sofia. Dekat deretan tembok Byzantium di tepi Laut Marmara. Sekarang berfungsi sebagai masjid. Masuknya pun tak dipungut bayaran. Hanya memberikan sedikit uang kepada Bapak tua penjaganya. Tak banyak turis datang kemari. Dari luar pun terlihat sederhana. Beberapa kuburan berada di salah satu sisi luar. Sebuah kedai teh dan beberapa toko cinderamata bisa kita temukan di dalam kompleks.
Denah konstruksi ini unik, berbentuk segi delapan dengan kubah istimewa. Konon, seperti Aya Sofia dahulu bagian dalamnya terbuat dari mozaik warna keemasan. Sekarang didominasi kaligrafi dan warna terang. Pilar-pilarnya terbuat dari marmer hijau dan putih masih berdiri gagah.
Museum Chora
Lokasinya tak jauh dari Tembok Theodosius. Dekat dengan masjid megah, Mihrimah Sultan. Daerah ini didominasi oleh pemukiman penduduk. Namun di sekitar museum tampak ramai oleh rumah makan dan penjual cinderamata.
Pembangunan gereja sakral ini tak diketahui jelas. Diperkirakan mulai abad 4 hingga masa Justinian. Setelah berkali rusak akibat gempa, filsuf dan pajabat teras Byzantium Theodoros Metochites mendirikannya kembali. Menghiasinya dengan aneka fresco dan mozaik cantik. Ketika sempat menjadi masjid, mereka tak merusak mozaik. Hanya mengecat permukaannya. Sekarang tempat ini dipenuhi peziarah Kristiani, terutama dari Italia dan Perancis. Sebagian besar adegan dalam fresco dinding maupun kubah menggambarkan Jesus dan Maria.
Yerebatan Sarnici
Dengan puluhan ribu penduduk, Konstantinopel adalah sebuah kota metropolitan di zamannya. Kebutuhan air penduduk besar. Mereka membangun banyak reservoir. Salah satunya adalah Yerebatan Sarnici, tak jauh dari Ayasofia. Menuruni tangga kecil ke bawah tanah, kita akan disambut ruangan sangat luas berukuran 140×65 m. Lampunya temaram. Reservoir ini bisa menampung 80 ribu meter kubik air. Ia tak lagi difungsikan ketika para sultan memerintah.
Melalui tangga kayu, kita akan disuguhi 336 pilar setelah melewati dua kepala Medusa. Pilar-pilar yang sukses menahan konstruksi gigantis ini agar tak runtuh selama lebih dari satu milenium.
Tembok Theodosius
Melintang sepanjang hampir 6 km antara Golden Horn dan Laut Marmara, Tembok Theodosius melindungi Konstantinopel nyaris seribu tahun. Sebagian sudah tinggal puing atau dihancurkan untuk jalan raya. Sebagian lagi dikontruksi ulang.
Dibuat sebagai pertahanan, tembok pelindung ini mengecilkan semangat musuh. Sebelum menembusnya, para penyerang kota harus melalui 15-20 m galian yang bisa diisi air. Dasarnya dilengkapi dengan tameng. Dibelakangnya berdiri tembok pertama, memiliki menara tiap 100 m. Sebelum mencapai tembok utama setebal 5 m setinggi 11-13 m. Bagian luar tembok sekarang ditimbun dan dijadikan taman-taman kota.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar