Halaman

Selasa, 06 Januari 2015

Menengok Sejarah Perayaan Maulid Nabi


*) Oleh Anwar Hadja
Sumber : http://www.sangpencerah.com

Bulan Maulid atau bulan Rabiulawal, bagi umat Islam merupakan bulan yang istimewa, sebab pada bulan inilah Nabi Muhammad saw dilahirkan. Tepatnya Nabi saw lahir pada hari Senin,12 Rabiulaal, di kota Makkah.

Untuk mengenang kelahiran Nabi akhir jaman itu, umat Islam sering menyelenggarakan acara-acar peringatan dan perayaan Maulid Nabi. Bahkan Pemerintah NKRI menetapkan tanggal 12 Rabiulawal sebagai hari libur nasional.

Namun demikian dalam sejarah perjalanannya yang panjang sesudah melewati bentangan jaman dan lingkungan budaya tempat Islam tumbuh dan berkembang, telah terjadi akulturasi budaya bahkan sinkretisme  yang bersifat dilematis. Disatu pihak akulturasi dan sinkretisme memperkaya corak dan model Perayaan Maulud yang diselenggarakan umat Islam.

Tetapi dilain pihak, sinkretisme yang berupa pengambilan unsur-unsur kepercayaan diluar Islam ke dalam Perayaan Maulid Nabi, telah menimbulkan persoalan yang serius.Yakni Perayaan Maulid Nabi telah diselenggarakan dengan menyalahi ketentuan syariat yang dihukumi para Ulama sebagai bid’ah. Dengan demikian Perayaan Maulid Nabi oleh umat Islam telah berkembang menjadi dua model, dua corak dan dua jalur. Pertama adalah corak perayaan maulid yang bebas dari unsur sinkretisme. Kedua adalah corak prayaan maulid yang kaya dengan ritual sinkretik yang dihukumi bid’ah oleh sejumlah ulama.

Memang sudah seharusnya umat Islam bisa membedakan dengan tajam pengertian peringatan, perayaan dan ritual  Maulid Nabi. Peringatan Maulid Nabi, mengandung arti mengingat atau mengenang kelahiran Nabi saw. Biasanya dilaksanakan secara sederhana, berupa renungan yang akan memperkaya iman, takwa, kecintaan kepada Nabi saw, dan merupakan manifestasi ungkapan syukur kepada kelahiran Nabi saw.

Nabi saw sendiri, melaksanakan peringatan hari kelahirannya dengan shaum pada hari Senin, sebagai ungkapan rasa syukur atas nikmat yang telah dianugerahkan oleh Allah SWT kepada hambaNya. Sedang perayaan, adalah peringatan dalam skala yang lebih luas melibatkan banyak komunitas, biasanya disertai aneka macam atraksi dan makan-makan .

Pada hakekatnya peringatan dengan perayaan tidak banyak bedanya. Hanya skalanya saja yang membedakan. Kata perayaan memang berasal dari kata dasar raya, yang berarti besar. Jadi perayaan bisa bermakna peringatan dalam skala besar. Biasanya perayaan itu diselenggarakan oleh suatu insitusi atau lembaga keagamaan maupun pemerintah.

Peringatan dan perayaan, lebih merupakan urusan duniawi sebenarnya, karena itu sifatnya boleh, sepanjang tidak ada larangan, dan memang memiliki nilai sosial yang bisa juga mendatangkan pahala apabila diniatkan oleh umat Islam untuk kebaikan dan kemaslahatan ummat seperti syiar keagamaan. Oleh karena perayaan dan peringatan dari seorang tokoh diluar dirinya merupakan urusan duniawi, sebenarnya tak ada unsur bidengah keagamaan dari penyelenggarakaan peringatan atau perayaan.

Berbeda dengan peringatan dan perayaan adalah ritual yang berkaitan dengan ritual  kelahiran. Ritual kelahiran bisa bernuansa bidengah dan tidak. Bernuansa bidengah,bila tidak sesuai dengan syariat yang telah ditetapkan oleh Allah SWT dan Rasulnya dan tidak pula dicontohkan oleh Nabi saw. Di dalam Islam penciptaan ritual keagamaan merupakan hak prerogatif yang mutlak dari Allah SWT. Umat manusia sebagai mahluk ciptaan Allah SWT, tidak boleh menciptakan sebuah ritual keagaman. Kegiatan menciptakan ritual keagamaan yang tidak diperintahkan oleh Allah SWT dan tidak ada contohnya dari Nabi saw, termasuk kategori bidengah yang jelas-jelas terlarang dalam syariat Islam atau Islamic Law.

Ritual maulud yang dicontohkan oleh Nabi saw atas kelahiran dirinya hanyalah shaum. Maka ritual maulud selain shaum, seperti ritual tumpengan, ritual sekatenan dan ritual sokrolan, jelas merupakan aktivitas sinkretik. Ritual sokrolan diambil dari tradisi kaum Nasrani dalam Natalan.

Sedangkan ritual tumpengan dan sekatenan, merupakan ritual yang diadopsi dari  ritual keagamaan pada masa pra Islam khususnya di pulau Jawa.

Ritual Sokrolan dan Sekatenan menjadi sangat terkenal karena dilaksanakan oleh sebuah institusi yang besar yakni Negara. Ritual Sokrolan masuk kedalam Perayaan Maulid Nabi yang pertama kali dilaksanakan oleh Dinasti Fatimiyah yang bermashab Syiah yang pernah menjadi penguasa Mesir. Sedangkan ritual Sekatenan menjadi terkenal karena diselenggarakan oleh Kerajaan Islam Demak, yang kemudian dilanjutkan oleh pecahan Kerajaan Islam Demak, yakni Kerajaan Islam Banten, Cirebon, dan Mataram yang kemudian pecah menjadi Kasunanan Surakarta, Mangkunegaran, Kasultanan Yogyakarta dan Pakualaman.

Nabi saw sendiri telah melarang dalam salah satu hadisnya suatu perayaan maupun  peringatan yang memuji Nabi saw secara berlebihan dalam hadistnya yang terkenal:

: “Diriwayatkan dari Umar ra., ia berkata: Aku mendengar Nabi saw bersabda: Janganlah kamu memberi penghormatan (memuji/memuliakan) kepada saya secara berlebihan sebagaimana orang Nasrani yang telah memberi penghormatan (memuji/memuliakan) kepada Isa putra Maryam. Saya hanya seorang hamba Allah, maka katakan saja hamba Allah dan Rasul-Nya.”[HR.alBukharidanMuslim]

Jika memuji Nabi saw secara berlebihan saja dilarang. Tentu lebih dilarang lagi peringatan dan perayaan yang mengandung ritual yang bersifat sinkretik.

Ada baiknya jika  kita lacak sejarah dari Perayaan Maulid Nabi saw yang sudah sangat membudaya itu. Banyak yang berpendapat bahwa, perintis Perayaan Maulid Nabi adalah Sultan Dinasti Ayubi dari Mesir, Salahuddin Al Ayubi. Tetapi penelusuran terbaru dari sejarah maulid Nabi saw, ternyata menunjukkan bahwa tradisi Perayaan Maulid Nabi berasal dari suatu jaman yang yang mendahului Dinasti Ayyubi. Tepatnya, perintis tradisi Perayaan Maulid Nabi  berasal dari perayaan-perayaan keagamaan Dinasti Fatimiyyah di Mesir.

1.Dinasti Fatimiyyah

Perayaan Maulid Nabi sebenarnya memiliki sejarah yang kelam, kabur atau obscure dalam pengertian siapa sebenarnya pencetus perayaan Maulid Nabi itu. Dapat dipastikan sampai jaman Dinasti Umayyah (680-750 M), belum dikenal adanya perayaan Maulud Nabi. Demikian juga pada jaman dinasti Abbasiyah( 750- 1258 M). Dengan demikian pada dua Dinasti yang berpaham Suni itu, yakni Umayyah dan Abbasiyah,  perayaan maulud sama sekali belum dikenalnya.

Berdasarkan sejumlah penyelidikan sejarah, perayaan mauludan dengan unsur ritual sokrolan baru muncul pada Dinasti Fatimiyah yang beraliran Syiah yang pernah berkuasa di Mesir. Orang yang pertama kali mengadakan bid'ah ini adalah  Ubaid al Qadah anggota kelompok Fathimiyah yang  menistbatkan diri kepada putra 'Ali bin Abu Thalib. Padahal sebenarnya dia adalah pendiri suatu aliran kebatinan. Nenek moyangnya adalah al- Qadah. Dulunya dia adalah budak Ja'far bin Muhammad As- Shadiq, berasal dari Ahwas dan salah seorang pendiri aliran Batiniah di Irak, kemudian pindah ke Maghrib dan menisbatkan diri dalam hal ini kepada Aqil bin Abu Thalib, serta mengaku berasal dari keturunannya.

Ketika orang-orang dari kelompok Rafidhah yang sesat menerima seruannya, dia mengaku bahwa dirinya adalah anak Muhammad bin Ismail bin Ja'far Ash- Shadiq sehingga mereka menerimanya. Padahal Muhammad bin Ismail bin Ja'far Ash- Shadiq wafat tanpa meninggalkan keturunan. Diantara yang mengikuti jejaknya adalah Hamdan Qaramith sehingga kepadanyalah aliran Qaramithah dinisbatkan. Setelah berjalan beberapa saat, muncullah Sa'id bin Husain  bin Ahmad bin Abdillah bin Maimun bin Dishan Al-Qadah, lalu dia mengubah nama dan nasabnya dan berkata kepada pengikut- pengikutnya.

 "Saya adalah Abdullah bin Hasan bin Muhammad bin Ismail bin Ja'far Ash- Shadiq

Al-Baghdadi.” .

Sebuah riwayat lain menjelaskan bahwa pemimpin Mesir, yaitu Manshur bin Nazzar yang diberi gelar dengan Al-Hakim bin Ma'ad bin Ismail bin Abdullah bin Sa'id, ketika sampai di negri Maghrib, dia menganti nama dengan Ubaidillah dan membuat gelar Al-Mahdi.  Nenek Moyangnya adalah penganut aliran Khawarij dan tidak ada nasab dengan putra Ali bin Abu Thalib.

Pada awalnya paham mereka  hanya menyebar di Maghrib, tetapi akhirnya menyebar dengan pesat,  akhirnya menjadi Penguasa Mesir. Dia adalah keturunan orang Majusi atau Yahudi. Ini yang masyhur menurut kesaksian para ulama Thaif dan madzhab Hanafiyah, Malikiyah, Syafi'iyah, Hanabilah, ahli Kalam, ahli nasab, dan sebagainya. Bahkan orang yang tidak begitu kenal dengan dia pun, seperti Ibnu Al- Atsir Al-Mushili juga menulis dalam sejarahnya, seperti yang ditulis para ulama dan penulis Islam lainnya, yaitu mencatat nasabnya

Begitu juga Ibnu Al-Jauzi, Abu Syamah, dan ahlul ilmi lainnya. Bahkan, para ulama menulis dalam buku- buku khusus untuk menyingkap rahasianya. Misalnya, Al-Qadhi Abu Bakar Al- Baqillani dalam bukunya yang terkenal. Begitu juga Al- Qadhi Abu Ya'la dalam bukunya Al- Mu'tamad yang menjelaskan secara panjang lebar tentang kezindikan dan kekafirannya. Demikian juga Abu Hamid Al-Ghazali dalam bukunya Fadhail Al-Mustadzhiriyah wa Fadhaih Al-Bathiniyah. Beliau berkata, " Secara lahir alirannya Rafidhah, tetapi batinya kafir mutlak."

Kelompok Abidiyah masuk Mesir pada hari kamis bulan Ramadhan tahun 362H, dan di situlah awal kekuasaan mereka terhadap Mesir. Ada yang mengatakan hari selasa tanggal 7 Ramadhan 362H]. Bid'ah hari ulang tahun alias maulid terjadi pada masa kepemimpinan Al- Abidiyun. Sebelumnya tidak pernah ada tokoh mana pun  yang pernah melakukannya ritual perayaan maulid Nabi saw yang  mengandung bidengah semacam itu, baik pada masa Dinasti Umayyah maupun Abbasiyyah. Apa lagi pada masa-masa sebelumnya, yakni pada masa sahabat dan ulama salaf.

Dengan adanya peringatan- peringatan yang dijadikan oleh kelompok Fathimiyah sebagai hari raya dan pesta seperti itu, kepemimpinan mereka bertambah meluas dan mereka mendapat keuntungan yang banyak.Para pemimpin Fathimiyah memiliki banyak hari raya dan peringatan setiap tahunnya. Diantaranya adalah peringatan akhir tahun, awal tahun, Asyura, Maulid Nabi, Maulid Ali bin Abu Thalib, Maulid Hasan dan Husain, Maulid Fathima Az-Zahra, Maulid Khalifah, awal malam bulan Rajab, pertengahan bulan Rajab, malam bulan Sya'ban, malam Nishfu Sya'ban, awal malam Ramadhan, pertengahan Ramadhan, hari Idul Fitri, Idul Adha, Upacara kematian, menyambut musim hujan, musim kemarau, peringatan hari Rukubat dan sebagainya. Demikianlah orang  yang pertama kali punya inisiatip mengadakan ritual peringatan Maulid Nabi adalah bani Ubaid Al- Qadah dari Kelompok Fathimiyah.
Darimana Dinasti Fatimiyyah mengadopsi ritual sacral alias ritual  sokrolan dalam Perayaan Maulud mereka?

Ritual Sokrolan adalah salah satu ritual yang dilakukan ummat Islam dalam perayaan Maulid Nabi saw ketika dilakukan pembacaan kitab riwayat Nabi saw. Sokrolan yang terkenal adalah sokrolan dengan acuan kitab karya Ja’far Al Barzanji yang baru muncul pada masa  Dinasti Turki Ustmani pada abad ke- 18 M. Ritual sokrolan dilakukan ketika  pembacaan riwayat memasuki episode kelahiran Nabi saw. Para hadirin diminta untuk berdiri guna menghormati bayi Nabi saw.  Kebetulan Al Barzanji menulis riwayat Nabi saw dalam bentuk syair puja sastra yang secara literer sangat indah, sehingga bila dibaca dengan gaya deklamasi, lagu atau poetry reading lainnya akan membangkitkan efek psykhologi yang hebat, yakni menimbulkan rasa cinta yang berlebihan yang menghiba-hiba yang dengan mudah bisa menggelincirkan para pendengarnya kearah kultus dan pemujaan Nabi saw.

Untuk menambah efek ritualitas yang dinilai sakral itulah, saat pembacaan kitab Barzanji sampai episode kelahiran Nabi saw, hadirin diminta untuk berdiri. Dari kata sacral yang berarti suci itulah lidah Jawa mengubahnya menjadi kata sokrol. Dari kata sacral yang berarti suci itulah dalam tradisi gereja muncul kata sacrament yang berarti mensucikan atau menganggap suci bayi Yesus yang baru dilahirkan oleh Perawan Maria. Atau Virgin of Mary. Selanjutnya istilah sacramen dipakai untuk seluruh akticitas ritual yang ada dalam agama Nasrani khususnya Katolik, mulai dari sacramen ritual Baptist, ritual Ekaristri , ritual Natal dan lainnya lagi.

Jadi ritual sacral dalam Perayaan Maulid Nabi saw itu sudah ada pada masa Dinasti Fatimiyah. Tetapi ritual sacral menjadi sangat menarik dan populer, setelah Syekh Ja’far Al Barzanji(1690 – 1766 M)  menulis karyanya yang berjudul,"Qissat al-Maulid an-Nabawi",

Bisa jadi Dinasti Fatimiyah mengadopsi acara ritual sokrolan  dari ritual Natalan yang diselenggarakan secara rutin oleh Kaum Kristen Koptik yang memang pernah menjadi penguasa Mesir yang kuat di Iskandariyah sebelum Mesir berhasil ditaklukan Islam. Atau bisa jadi dari ritual-ritual Natal yang dilaksanakan di negara kota disemenajung Italia, seperti Vinicia, Lombardia, dan kota-kota dagang lainnya yang menjalin hubungan dagang dengan Dinasti Fatimiyah di Mesir. Saat itu memang lalu lintas dagang antar Kerajaan Mesir Dinasti Fatimiyah dengan Negara Kota Italia sangat ramai, sampai-sampai Laut Mediterania mendapat julukan Laut Putih, karena pedagang muslim mendominasi pelayaran dagang yang melintasi laut itu. Pendapat yang paling kuat, memang Dinasti Fatimiyah sendiri yang menyelenggarakan perayaan kelahiran Nabi Isa, sebagai salah satu dari sekian banyak perayaan keagamaan yang diselenggarakan oleh Dinasti Fatimiyah. Dari sinilah ritual sacral menyambut kelahiran Yesus, diadopsi menjadi ritual sacral menyambut kelahiran Nabi Muhammad saw, sebagai suatug perayaan maulud yang diselenggarakan Dinasti Fatimiyah.

Ketika meletus Perang Salib yang hampir berlangsung 4 abad, Pasukan Tentara Salib yang merupakan gabungan dari tentara Kerajaan Inggris, Spanyol, Portugal, Perancis dan Jerman, pada mulanya berhasil merebut Yerusalem. Padahal Yerussalem pada saat itu berada dibawah kekuasaan Dinasti Syiah Fatimiyah. Dalam waktu singkat tentara Dinasi Fattimiyah hancur berantakan di bawah serangan Tentara Salib.

2. Dinasti Al Ayyubi

Dinasti Fatimiyah semakin lemah,hingga dapat ditaklukkan oleh Dinasti Al Ayubi yang Islam Suni. Salah seorang penguasa Dinasti Al Ayubi yang Islam  Suni adalah  Sultan Salahuddin Al Ayubi, Pahlawan Perang Salib. Dia lah yang berhasil merebut kembali Yerusalem dari tangan Tentara Salib.

Konon untuk membangkitkan semangat penduduk dalam Perang Salib, Salahuddin Al Ayubi mendorong para Ulama untuk menulis  Shirah Nabawiyah dan diperlombakan. Selain itu Sultan Salahuddin Al Ayubbi juga melanjutkan tradisi Perayaan Maulid Nabi yang secara rutin dilakukan oleh Dinasti Fatimiyah yang telah ditumbangkannya. Akan tetapi Salahuddin Al Ayubbi membuang sejumlah ritual yang berbau bidengah, seperti ritual sokrolan  warisan Dinasti Syiah Fatimiyyah.

Sebenarnya disamping Perayaan Maulid tanpa unsur sinkretik yang dilaksanakan oleh Sultan Salahuddin Al Ayubi itu, kunci kemenangan Tentara Muslim Salahuddin Al Ayubi, karena Sultan Salahuddin Al Ayubi mampu membentuk prajurit pilihan yang dikenal dengan Brigade Subuh. Mereka terdiri dari prajurit muslim pilihan yang setiap malam tidak meninggalkan salat tahajud dan juga tidak pernah meninggalkan shalat Subuh berjamaah. Militansi Brigade Salat Subuh ini yang akhirnya berhasil merebut kembali Kota Yerusalem dari tangan Tentara Salib. Militansi Brigade Shalat Subuh itu yang membuat kagum Panglima Tentara Salib dari Inggris, Si Richard yang berhati Singa. Richard akhirnya mundur dari Perang Salib.

3.Dinasti Mamalik

Tradisi Perayaan Maulid Nabi tanpa ritual sokrolan, tetap dilaksanakan Dinasti Ayubi, sampai Dinasti itu digantikan oleh Dinasti Mamalik(1250- 1517 M). Dinasti Mamalik adalah Dinasti Islam Suni, yang terdiri dari tentara budak Sultan Salahuddin Al Ayubi yang berasal dari wilayah Turkestan yang dekat dengan komunitas Nasrani.  Wajar jika Dinasti Mamalik dengan dukungan Ulama Sayfii-Asyariyah yang Pro-Kerajaan ikut mendukung Perayaan Maulid dengan tradisi sokrolan yang pernah dilaksanakan oleh Dinast Syiah Fatimiyah dan komunitas Syiah di Mesir.  Tokoh yang melakukan krtik tajam perayaan Maulid Nabi dengan sokrolan adalah Mujtahid Besar Syekh Ibnu Taimiyah, yang kelak menginspirasi gerakan pembaharuan Islam yang dimotori Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab, pendiri Gerakan Islam Wahhabi( 1705 – 1793 M).

4.Dinasti Turki Ustmani

Setelah Dinasti Mamalik jatuh ketangan Dinasti Turki Usmani yang banyak memiliki wilayah yang berpenduduk non Muslim, Perayaan Maulid Nabi dengan tradisi sokrolan terus berlanjut. Lebih-lebih setelah munculnya seorang penyair Islam terkenal Ja’far Al Barjannji yang diangkat Dinasti Turki Usmani( 1300 – 1922 M), menjadi Imam Masjid Nabawi.  Sejak itu acara Perayaan Ritual Maulud dengan ritual Sokrolan langsung go internasional ke negara-negara muslim termasuk ke tanah Hindia Belanda. Masa hidup Jafar Al Barzanji(1690-1766 M), hampir satu jaman dengan dengan masa hidup Syekh Muhammad Ibnu Abdul Wahhab.

Tradisi sokrolan dan Perayaan Maulid Nabi di Saudi Arabia, sebagai upacara kenegaraan lenyap setelah Kerajaan Wahhabi berhasil menjadi Penguasa Tanah Nejed dan Tanah Hijaz pada tahun 1925 M.

5.Tradisi Ritual Sokrolan di Jawa.

Sejak kapan Perayaan Maulid Nabi dengan sokrolan dilaksanakan di wilayah Kerajaan Islam di Jawa?  Dapat dipastikan Perayaan Maulid Nabi dengan ritual sokrolan, tidak sempat muncul menjadi Perayaan Kerajaan Islam Demak. Sebab Sunan Kalijogo(1495 – 1603 M), sudah mengenalkan model Perayaan Maulid Nabi dengan Sekatenan. Karena itu,  belum pernah ditemukan riwayat bahwa Kerajaan Islam Demak pernah menyelenggarakan Perayaan Maulid dengan ritual sokrolan. Bisa jadi Sunan Kalijogo yang cerdas itu, mengetahui bahwa ritual sokrolan itu diadopsi dari tradisi ritual sacramen Natal.

Menurut catatan De Graff, Perayaan Maulid Nabi dengan Sekaten itu, baru muncul pada tahun 1543 M. Unsur sinkretik dalam Perayaan Maulud Dengan Ritual Sekaten baru muncul pada masa Kadipaten Pajang yang menjadi Kerajaan Pajang setelah memenangkan perang dengan Arya Penangsang, Adipati Jipang Panolan. Sayang setelah Kerajaan Pajang, berkuasa, karena pengaruh yang kuat dari Syekh Siti Jenar( 1485 – 1545 M), corak Islam yang berkembang adalah corak Islam Kejawen. Islam Syariat Kerajaan Islam Demak yang bermashab Syafii Asyariyah terpinggirkan, dan hanya menjadi tradisi Pesantren-Pesantren Warisan Walisongo yang banyak dihancurkan oleh Kerajaan Mataram, seperti Pesantren Giri yang sangat kuat sebenarnya. Anehnya Perayaan Maulud dengan Ritual Sekatenan, yang semula menjadi ikon Kerajaan Pajang dan Mataram, diadopsi juga oleh Kerajaan Islam pecahan Demak, yakni Kerajaan Islam Banten dan Cirebon.

Pada masa Kejayaan Kerajaan Mataram, sebenarnya aliran Kebudayaan  Islam terpecah jadi dua varian. Varian pertama adalah aliran Kebudayaan Islam Kejawen yang berpusat di Kraton. Mereka mengembangkan Kebudayaan Islam Kejawen yang merupakan akulturasi dari Kabudayaan Islam dengan Kebudayaan Pra-Islam, utamanya Kebudayaan Hindu Budha yang memang sangat kual, yang dimulai dengan munculnya Kerajaan Mataram Hindu, Kerajaan Kahuripan, Kerajaan Kediri Hindu, Kerajaan Singasari, Kerajaan Pajajaran dan Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Kediri Hindu-Budha, pasca jatuhnya Majapahit tahun 1478 M.

Kerajaan Hindu-Budha itu cukup lama membentuk Kebudayaan Hindu-Budha Kejawen. Sekitar  800 tahun. Wajar jika Kebudayaan Islam yang dibawa oleh Kerajaan Islam Demak, kedodoran menghadapi ekspansi Kebudayaan Islam Kejawen yang berbasis pada Kraton Pajang, Banten, Cirebon, Mataram dan Pecahan Kerajaan Mataram yakni, Kerajaan Surakarta, Yogyakarta, Pakualaman dan Mangkunegaran.


Varian kedua adalah Islam Pesantren. Mereka mengembangkan kebudayaan pesantren, salah satunya adalah peringatan Maulid Nabi dengan sokrolan sebagai tandingan Kebudayaan Islam Kejawen yang memiliki ritual Sekaten dalam Perayaan Maulud yang dikenal dengan Garebeg Maulud. Ritulan Sokrolan menjadi tradisi yang sangat kuat dilingkungan pesantren di pedasaan, disebabkan tradisi mistik dalam ritual sokrolan memang sangat bersesuaian dengan corak dan pola tradisi   tradisi mistik yang sudah mendarah daging dalam pengkhayatan religiousitas di pedesaan yang bersumber kepada kepercayaan terhadap ruh leluluhur maupun kepercayaan pada magic, yakni kepercayaan pada benda-benda pusaka . Sejak itu Ritual Sokrolan dalam Perayaan Maulid Nabi menjadi sangat populer didesa-desa dengan komunitas kegotongroyongan  yang cukup kuat.

Jika dilihat asal kata sokrol, jelas kata itu adalah mutasi dari kata sakral yang diucapkan oleh lidah Jawa. Oleh karena itu dengan mudah kita bisa mengetahui bahwa ritual sokrolan dalam Perayaan Maulud Nabi itu, diadopsi oleh komunitas pesantren yang didirikan orang Jawa dari ritual sacramen Natalan umat Nasrani. Tempat yang paling mungkin terjadinya sincretisme  antara Perayaan Maulid Nabi dengan Perayaan sacramen Natal yang telah melahirkan ide, gagasan dan creativitas dengan mengambil unsur-unsur yang ada dalam Kebudayaan Kristen sehingga menghasilkan ritual sokrolan  dalam Perayaan Maulid Nabi, adalah Mojowarno di Jawa Timur dan Purworejo di Jawa Tengah.

Memang di ke dua kota itulah muncul komunitas pribumi yang beragama Nasrani yang paling awal. Pribumi Kristen generasi awal yang rajin mendatangi pesantren-pesantran antara lain Kiyai Sadrach dan Kiyai Tunggul Wulung yang berhasil menarik banyak santri pesantren menjadi murtad. Perhatikan gelar mereka yang diambil dari dunia pesantren, Kiyai. Padahal mereka nonmuslim.

Sementara itu hubungan pesantren-pesantren di Mojowarno dan Purworejo menjelang akhir abad ke-19 M dengan komunitas Pribumi Kristen memang sangat akrab.  Mereka sering saling mengundang dalam perayaan-perayaan keagamaan. Hubungan yang mesra antara komunitas pesantren dengan komunitas Pribumi Kristen itulah yang memudahkan terjadinya tukar menukar adat, budaya, bahkan ritual dalam perayaan2 pesantren. Salah satunya  ya ritual sokrol itulah yang tetap dilestarikan oleh sebagai ummat sebagai warisan budaya luhur tinggalan para kiyai pendiri pesantren yang tidak boleh diganggu gugat, sekalipun ritual sokrol itu jelas mengandung unsur sinkretik, yakni memuji Nabi saw secara berlebihan, dan diadopsi dari lingkungan komunitas Kristen. Padahal hadist Nabi saw jelas-jelas melarangnya peringatan hari kelahiran Nabi saw yang berlebihan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar