Halaman

Kamis, 13 Maret 2014

Bolehkah Wanita Jadi Wakil Rakyat?

Anggota parlemen Nurcan Dalbudak (berdiri) dan Sevde Beyazit Kacar (duduk) menghadiri sidang umum Parlemen Turki mengenakan jilbab mereka di Ankara, Kamis (31/10). (Reuters / Umit Bektas)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Hafidz Muftisany

Wanita adalah makhluk mukalaf seperti laki-laki.

Satu bulan lagi Indonesia akan menggelar hajat besar Pemilihan Umum 2014. Hiruk pikuk pemilu semakin terdengar nyaring. Warga negara yang merasa memiliki kemampuan, berjuang untuk masuk ke parlemen.

Ramai-ramai gambar calon legislatif bertebaran di jalan, tembok-tembok, hingga pepohonan. Tak sedikit wajah yang terpampang merebut simpati rakyat adalah perempuan. Lalu, bolehkan seorang perempuan masuk ke parlemen menjadi wakil rakyat?
Banyak perdebatan para ulama tentang bab ini. Lembaga Fatwa Mesir Dal al-Ifta menyebut, kaum wanita diperbolehkan menjalankan seluruh hak sipil selama tidak bertentangan dengan sifat alamiah seorang perempuan. Di antara hak tersebut adalah mengambil dan memberikan pendapat di parlemen.

Dar al-Ifta Mesir mengambil dasar keumuman dari Alquran surah at-Taubah ayat 71. "Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka adalah penolong bagi yang lain. Mereka menyuruh yang makruf dan mencegah yang munkar."

Memberikan pendapat di parlemen, ujar Dar al-Ifta, adalah salah satu bentuk nasihat yang masuk dalam ruang lingkup amar makruf nahi munkar.

Konsep kesetaraan dalam hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan dalam ruang publik dihimpun dalam satu kaidah tersendiri, An-Nisa u Syaqa'iq ar-Rijal, kaum perempuan adalah saudara kandung kaum laki-laki.

Dar al-Ifta menambahkan, pelarangan wanita memberikan suara berarti memerintahkan mereka untuk menyembunyikan ilmu. Jika ada yang beranggapan untuk menyampaikan pendapat, seorang perempuan mestilah memiliki banyak ilmu.

Kita bisa berkaca pada Ummul Mukminin Aisyah RA dan madrasah fikihnya. Begitu juga dengan anak perempuan Said bin Musayyib, Karimah, yang banyak meriwayatkan hadis Bukhari.

Ketua Persatuan Ulama Dunia Syekh Yusuf Qaradhawi membahas masalah ini panjang lebar dalam Hadyul Islam Fatawi Mu'ashirah.
Syekh Qaradhawi menilai, tak mengapa seorang wanita terjun ke parlemen. Wanita adalah makhluk mukalaf, seperti halnya laki-laki.

Menurut Syekh Qaradhawi, “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu ...” di surah al-Ahzab ayat 33 hanya berlaku untuk istri-istri nabi. Karena mereka memiliki aturan dan beban yang lebih berat dibanding wanita pada umumnya.

Ummul Mukminin Aisyah RA, ujar Syekh Qaradhawi, meskipun ada ayat tersebut tetap keluar dan turut serta dalam Perang Jamal.
Kemudiaan, saat ini tak dapat dimungkiri wanita sudah biasa keluar dari rumahnya. Ada yang menjadi dokter, guru dan dosen. Sehingga, seolah ada ijma bolehnya wanita bekerja di luar rumah dengan syarat tertentu.
Lalu, keadaan menuntut para wanita Islam untuk terjun ke gelanggang parlemen. Tujuannya, untuk menghadapi wanita yang berpaham sekuler dan memegang kendali.
 
Namun, meskipun membolehkan, Syekh Qaradhawi memberikan beberapa tuntunan. Dalam parlemen, tidak berarti seorang wanita bebas bergaul dengan laki-laki lain tanpa batas. Mereka juga tidak boleh mengabaikan suami dan anak-anak.

Selain itu, wanita yang akan terjun ke parlemen juga mesti menjaga adab Islam dalam berpakaian, berbicara, dan berjalan. Sehingga, terjauh dari fitnah-fitnah.

Nahdlatul Ulama (NU) dalam forum Bahtsul Masail yang disepakati pada Konferensi Besar Syuriah NU di Surabaya pada 19 Maret 1957 membolehkan wanita terjun ke parlemen. Alasannya, parlemen adalah badan yang menentukan hukum (tsubutu amrin li amrin) bukan untuk menentukan qadha (lizamil hukmi). Tapi, ada beberapa syarat jika wanita masuk ke parlemen.
Di antaranya, afifah (bisa menjaga kehormatan), ahli dalam hal tersebut, menutup aurat, mendapat izin dari yang berhak memberi izin, aman dari fitnah, tidak menjadikan sebab timbulnya munkar.

Pada Muktamar XVII Muhammadiyah di Pancongan, Pekalongan, Jawa Tengah, 1972 juga diputuskan wanita boleh menjadi anggota parlemen.
Alasannya, hampir seluruh ajaran Islam tentang muamalat mengandung unsur-unsur politis dan ideologis. Muhammadiyah membolehkan kaum perempuan untuk menjadi anggota parlemen.
Muhammadiyah juga mensyaratkan seorang wanita harus ada pembimbing politis dari setiap situasi yang dihadapi, terutama yang menyangkut masalah kewanitaan agar setiap wanita Islam memiliki kesadaran politik. Kemudian, wajib dipersiapkan kader-kader politik wanita Islam.

Lembaga Fatwa Kerajaan Arab Saudi menilai, jika masuknya wanita di parlemen dimaksudkan untuk berdakwah maka tidak boleh.
Seorang perempuan bisa berdakwah di dalam rumahnya kepada keluarga, suami, dan mahramnya, baik laki-laki maupun perempuan.

Dia juga memiliki ruang dakwah di luar rumahnya kepada kaum perempuan selama dakwah tersebut tidak mengharuskannya bepergian tanpa suami atau mahramnya, tidak khawatir terjadi fitnah, seizin sang suami bila dia telah bersuami, sangat dibutuhkan, dan dakwah yang dia lakukan tidak boleh menyebabkan terbengkalainya kewajibannya untuk memenuhi hak-hak keluarganya.

Lembaga tersebut juga menanyakan efektivitas dakwah wanita di parlemen. Apakah mereka membantu memperkuat Islam? Apakah mereka membantu mempersatukan umat?

Lembaga Fatwa Kerajaan Arab Saudi menilai, masuknya wanita ke parlemen justru adalah konspirasi musuh Islam terhadap umat. Lembaga tersebut juga mengingatkan tentang fitnah dunia yang paling berbahaya adalah wanita.

Ulama terkemuda asal Arab Saudi, Syekh Nashiruddin al-Albani, dalam Majmu'ah Fatawa al-Madina al-Munawarah secara umum menilai, perjuangan di parlemen tidak ada manfaatnya. Selama negara tersebut tidak berhukum dengan hukum Allah.

Adapun mereka yang ridha masuk parlemen, ujar Syekh al-Albani, yang tidak berdasarkan hukum Allah dan menganggap masuk parlemen tujuannya untuk mencegah kejelekan maka orang-orang seperti ini tidak boleh langsung dikafirkan.
Bahkan, ia mungkin mendapat pahala. Akan tetapi, masuknya mereka ke parlemen dinilai tidak akan meluruskan peyimpangan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar