Halaman

Kamis, 03 November 2011

Asal-Usul Ka'bah dan Ibadah Haji

Warisan Ibrahim
Sejarah Ka’bah tidak bisa dipisahkan dari Ibrahim. Bahkan Ka’bah identik dengan Ibrahim dan putranya Ismail. Merekalah yang mendapatkan mandat langsung dari Allah untuk mendirikan Ka’bah.
Menurut Ali al-Hasani dalam Tarikh Makkata, banyak riwayat yang memberikan penjelasan perihal sejarah Ka’bah berasal dari umat-umat terdahulu sebelum Ibrahim. Setidaknya dalam kitab-kitab klasik disebutkan ada dua pendapat yang mengemuka: Pertama mereka yang mengatakan bahwa Malaikatlah yang bertindak bagi hadirnya Ka’bah sebelum Tuhan menciptakan bumi.
Di dalam beberapa riwayat disebutkan, bahwa Ka’bah dibangun dua tahun sebelum penciptaan Adam. Mereka yang berpendapat seperti ini merujuk kepada Qotada, al-Azraqi, dan Abu Rabah.
Kedua, mereka yang berpendapat, bahwa Ka’bah dibangun oleh Adam dan putranya Syits. Tidak banyak riwayat yang mengisahkan tentang pendapat ini, kecuali hanya Ibnu Luhay’ah, Qutaybah, dan al-Umary. Dikisahkan, bahwa Jibril yang memerintah kepada Adam dan Hawa agar mendirikan Ka’bah.

Dari berbagai pendapat tersebut yang paling mendekati pada kesesuaian antara fakta historis dan fakta teologis adalah Ibrahim. Pendapat ini didukung sepenuhnya oleh sebagian besar para ulama. Sebab Ka’bah yang dibangun oleh Ibrahim identik dengan Ka’bah yang ada sekarang.
Sejarah bermula dari migrasi Ibrahim dari Irak, yang merupakan tanah kelahirannya. Pernikahannya dengan Sarah tidak dikaruniai seorang anak, hingga akhirnya ia dihadiahi seorang budak, bernama Hajar.
Dari hajar, ia melahirkan seorang anak yang bernama Ismail. Lalu, Sarah memerintahkan mereka untuk hijrah, hingga kemudian sampai di sebuah tempat yang gersang dan kering kerontang. Setelah beberapa lama tinggal bersama keduanya, lalu Ibrahim meninggalkan mereka untuk kembali ke Palistina menemui Sarah.
Tiba saatnya Hajar dan Ismail yang masih belia berada dalam kekhawatiran, karena makin menipis persediaan makanan mereka. Lalu, ia meninggalkan tempat itu untuk melakukan jalan-jalan kecil, dari Shafa ke Marwa, yang belakangan di jadikan sebagai ritual sa’i.

Setelah menyelesaikan tujuh keliling, ia mendapatkan kaki Ismail menerjang-nerjang tanah hingga akhirnya dari tanah tersebut menyemburkan air. Sumber air tersebut disebut dengan air zamzam. Keduanya pun selamat dari ancaman kelaparan.
Menurut al-Thabari, Tuhan telah mengutus malaikat untuk melakukan itu. Bahkan malaikat berkata kepada Hajar agar tidak khawatir, sebab suatu saat Ibrahim akan datang ke tempat tersebut, dan akan membuat sebuah rumah bersama anaknya. Rumah inilah yang kemudian disebut dengan Ka’bah, sebagaimana kita ketahui sekarang.
Saat Ismail usianya mencapai 30 tahun, dan ibunya Hajar mencapai 90 tahun, Ibrahim datang ke Mekkah. Misi kedatangannya yaitu melaksanakan perintah Tuhan untuk mendirikan Ka’bah. Ia pun menceritakan misinya kepada Ismail, hingga keduanya memulai langkah-langkah yang diperlukan untuk membangun Ka’bah.
Ketika bangunan Ka’bah telah tinggi Ismail membawa batu besar dari Jabal Qubais untuk ayahnya Ibrahim, lalu Ibrahim membangun Ka’bah sambil berdiri di atasnya akhirnya tempat itu di kenal sebagai Maqom Ibrahim a.s.
Dari sejumlah riwayat tidak disebutkan berapa lama, Ibrahim dan Ismail merampungkan pembangunan Ka’bah. Salah satu hal yang diriwayatkan adalah hal paling akhir diletakkannya Hajar Aswat, yaitu batu kecil yang berwarna hitam. Batu ini dijadikan sebagai simbol selesainya pembangunan Ka’bah. Salah satu keistimewaan batu ini, karena Muhammad SAW pernah menciumnya saat berada di lokasi batu tersebut. Meskipun demikian, sebelum mencium beliau berkata, “kamu adalah batu yang tidak mebahanyakan dan tidak pula mambawa manfaat.
Al-Mas’udi dalam Muruj ad-Dzahab mengisahkan tentang bangunan Ka’bah yang didirikan oleh Ibrahim dan Ismail. Panjangnya tiga puluh hasta, lebarnya dua puluh dua hasta, ketebalannya tujuh hasta. Ada pintunya, tetapi tidak beratap.
Pasca rampungnya pembangunan Ka’bah, Ibrahim kembali ke Syam. Sedangkan Ismail menetap di Mekkah melanjutkan misi dakwahnya tentang ajaran monoteisme.
Sejarah Haji dan Umrah
Haji Merupakan ritual yang mula-mula dilakukan oleh Ibrahim. Tentu ritual tersebut telah menjadi sebuah ritual yang di kenang dari masa ke masa. Haji menjadi jalan mulus bagi solidaritas sosial dan pendakian menuju keagungan-Nya. Sebab, ibadah haji ini merupakan salah satu warisan Ibrahim yang sangat berharga dalam rangka memantapkan keyakinan kita tentang pentingnya monoteisme. Haji merupakan ibadah yang sangat istimewa, karena mempunyai sejarah yang amat luhur, sebagai ibadah yang dilakukan pertama kali oleh Ibrahim.
Menurt Ali Hasani, haji pertama kali dilakukan oleh Ibrahim. Pelaksanaan ibadah tersebut persis yang dilakukan umat Islam sekarang. Ia memimpin rombongannya untuk membacakan talbiyah. Kemudian, ia mencium Ka’bah, menjadikan pintu Ka’bah di depannya, sedangkan air zamzam di kirinya, lalu tanganya melambai-lambai kearah Hajar Aswat. Ia kemudian melantunkan niat thawaf dan melakukannya, hingga pada putaran ketujuh berhenti di area Hajar Aswat. Selanjutnya ia berjalan menuju bukit kecil, Shafa dan Marwa berniat melaksanakan Sa’I, membaca tahlil dan takbir.
Setelah merampungkan Sa’I, ia mendatangi istri tercinta yang telah memberikannya seorang putra, lalu bekata, “Sa’I yang kamu lakukan pada saat putra kita, Ismail, dahaga telah Allah SWT jadikan sebagai salah satu ritual ibadah haji”.
Pada tanggal 8 Dzulhijjah, Ibrahim bersama rombongannya bergerak menuju Mina, lalu melaksanakan shalat dzuhur, ashar, magrib, isya’, dan subuh. Pada keesokan harinya ia menuju ke Arafah hingga matahari terbenam dan melanjutkan perjalanan ke Musdzalifah dan bermalam di sana.
Pada hari kesepuluh ia melanjutkan perjalanan ke Mina untuk menyempurnakan pelaksanaan haji selanjutnya. Saat terbangun dari tidur, Ibrahim membisikkan sesuatu kepada Ismail disebuah gunung yang dikenal dengan Tsubair di wilayah Mina. Ia pun mengisahkan tentang mimpinya, sebagai mana direkam dalam Al Quran, Wahai anakku, sesunggunya aku bermimpi, bahwasanya aku menyembelihmu, maka perhatikanlah: Apa pendapatmu?
Jawaban Ismail tidak terduga oleh Ibrahim. Sebuah jawaban yang mengejutkan, Wahai ayahku, laksanakanlah apa yang diperintah Tuhan, niscaya engkau akan mendapatkan atas izin Allah sebagai orang-orang yang sabar.
Tetapi, setan tidak berdiam diri. Ia mengganggu langkan Ibrahim dan Ismail. Ia pun berdoa kepada Tuhan agar diberi petunjuk dan jalan keluar. Akhirnya Ibrahim mengambil tujuh batu kerikil dan melemparkannya kea rah setan tersebut. Kemudian, setan mengganggu Ismail agar mengurungkan niat, lalu ia pun melempar dengan tujuh batu kerikil. Tidak mempan mempengaruhi Ibrahim dan Ismail, setan melanjutkan misi jahatnya kepada Hajar, dan ia pun melakukan hal yang sama dengan melempar tujuhbatu kerikil.
Peristiwa ini disimbolisasikan dengan cara melempar batu (jumrah) di batu Aqobah. Umat Islam melaksakannya dengan semangat sebagai langkah meneladani Ibrahim dan keluarganya. Setelah itu Ibrahim bersiap-siap untuk melaksanakan perintah Tuhan. Hajar pun melantunkan ayat, berikanlah kabar gembira bagi orang-orang yang sabar, yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata: Sesungguhnya kami milik Allah SWT dan kepada-Nya kami kembali.
Setelah itu, Allah mengabarkan kepada Ibrahim dan keluarganya, bahwa mereka telah lulus ujian yang yang cukup besar, dan Allah menggantikan Ismail dengan domba sebagai simbol kurban. Umat Islam merayakannya sebagai Hari Raya kurban, yang disimbolisasikan dengan menyembelih hewan kurban dan diberikan kepada orang-orang yang tidak mampu.
Setelah peristiwa agung tersebut, Ibrahim menyerahkan estafeta pelaksanaan haji kepada Ismail agar disampaikan kepada penduduk Mekkah. Ia dikenal sebagai sosok yang mahir dalam bidang hisab dan falak. Sejak itu pula ia membuat batasan-batasan wilayah Mekkah.
Menurut sebagian sejarawan, pasca meninggalnya Ibrahim, ibunya, fan Ismail, banyak terjadi pemangkasan terhadap praktek ritual haji, sebagaimana dilaksanakan oleh Ibrahim. Ritual haji kembali disempurnakan oleh Nabi Muhammad SAW dan mensyariatkannya sebagaimana dilaksanakan Ibrahim dan keluarganya. Menurut Sayyed Muhammad Thanthawi, syariat haji dicanangkan kembali oleh beliau sekitar tahun kesembilan dan kesepuluh hijrah.

Perintah Menunaikan Haji

Menurut sebagian besar ulama, ibadah haji dasyariatkan pada tahun ke enam Hijrah. Mulai tahun itulah kaum muslimin dengan pimpinan Rasulullah pergi melakukan Umrah, tetapi terhalang oleh kaum Quraisy. Tahun ke tujuh Nabi pergi menunaikan Umrah, kemudian di tahun ke sembian Rasulullah mengangkat Abu Bakar untuk mengetuai jama’ah haji, tahun ke sepuluh barulah Rasulullah sendiri naik Haji dengan seluruh kaum muslimin yang di kenal dengan Haji Wada’.

Firman Allah:
" Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia. Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim. Barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, Yaitu (bagi) orang yang sanggup Mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.(Q.S. Ali Imron: 96-97)."

Daftar Pustaka

Zuhairi Miswari, Mekkah: Kota Suci, Kekuasaan, dan Teladan Ibrahim, (Jakarta: Kompas, 2009)
Muhammad Tufiq Ali Yahya, Mekkah: Manasik Lengkap Umroh & Haji serta Doa-doanya, (Jakarta: Lentera, 2007)
Rustana Ardiwinata dkk, Rukun Islam, (Jakarta, DEPAG RI, 1988)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar