Warga kelaparan di Somalia, Afrika (godsdirectcontact.org)
VIVAnews -- Sepuluh juta warga Afrika, kebanyakan berada di Somalia, dalam kondisi gawat. Mereka membutuhkan bantuan segera, sebelum maut menjemput lantaran kelaparan.
Sebagian warga Somalia -- yang masih bisa bergerak -- menempuh perjalanan jauh ke kamp pengungsi di Kenya. Namun, itu tak berarti mereka bakal selamat. Nasib yang menimpa Aden Ibrahim, misalnya. Di pelataran kamp Dadaab, Kenya, ia menggendong jasad putrinya, Sarah. Bocah itu baru berusia empat tahun. Ia menghembuskan nafas terakhirnya kala fajar.
Beberapa pria mengikuti Ibrahim, menghadap Mekah, menyalatkan jenazah, sebelum memakamkannya dengan balutan kain putih.
Paman Sarah,
Ibrahim Hassan Mohammer mengatakan, keluarganya melarikan diri dari Somalia ke Kenya, berharap ada kehidupan yang lebih baik. "Kami tak membawa uang atau apapun," kata dia. "Kami pengungsi, dalam kondisi sekarat karena tak mendapatkan cukup bantuan."
Dia menceritakan, keluarganya tiba di kamp Juni lalu -- lelah dan kelaparan. Namun, alih-alih mendapat bantuan, mereka terpaksa mengemis makanan selama dua minggu. Sarah yang sakit dan kurang gizi dibawa ke klinik terdekat, namun itu tak membantu. Mereka lalu dirujuk ke rumah sakit terdekat yang dioperasikan Doctors Without Borders. Namun, sayang, mereka ketinggalan kendaraan yang secara periodik mengambili para pasien. Sementara, tak ada uang sama sekali untuk menyewa kendaraan umum. "Kami diberi tepung dan jagung, tapi anak yang sakit membutuhkan lebih dari itu."
Mohammed berandai, kalau saja keponakannya segera diobati di rumah sakit, ia pasti selamat. Kini perasaan Mohammed bercampur aduk, khawatir, sedih dan marah. Ia kecewa agen bantuan internasional tak bisa membantu lebih. "Kami mohon pada dunia, bantulah kami," kata dia. "Anak-anak kami sekarat karena kelaparan. Kami butuh makanan, rumah sakit, jangan abaikan kami."
Kamp pengungsian pun jauh dari layak. Ini gambarannya: infeksi saluran pernafasan merebak, tidak ada sumber air dan sanitasi. Para pengungsi terutama anak-anak sekarat karena kelaparan. Tak ada sekolah dan petugas yang mendistribusikan makanan. Beberapa pengungsi bahkan tak tinggal di tenda terpal yang beratap. Mereka hanya bernaung di bawah ranting-ranting yang ditata tak rapat.
Ibrahim yang baru kehilangan putrinya, Sarah kini mengkhawatirkan keselamatan putrinya yang lain, Deka. "Takdir memang Tuhan yang menentukan. Tapi jika terus seperti ini, makin banyak orang yang akan meninggal."
Hanya beberapa langkah dari kamp pengungsi, gurun berdebu tempat Sarah dimakamkan dijuluki 'Bola Bagti' -- di mana orang meninggalkan hewan mereka, dibiarkan mati dan menjadi bangkai. Untuk menguburkan Sarah, Ibrahim dibantu para pengungsi lain yang kelaparan.
Meski tak mendapat upah apapun, sesama pengungsi memperlakukan jenazah Sarah dengan baik. Di atas kuburnya yang dangkal diselimuti gundukan pasir, semak-semak berduri, dan cabang pohon. "Hyena tak bisa meraihnya," kata Ibrahim. "Dia (Sarah) sudah berada di Surga."
• VIVAnews
Dia menceritakan, keluarganya tiba di kamp Juni lalu -- lelah dan kelaparan. Namun, alih-alih mendapat bantuan, mereka terpaksa mengemis makanan selama dua minggu. Sarah yang sakit dan kurang gizi dibawa ke klinik terdekat, namun itu tak membantu. Mereka lalu dirujuk ke rumah sakit terdekat yang dioperasikan Doctors Without Borders. Namun, sayang, mereka ketinggalan kendaraan yang secara periodik mengambili para pasien. Sementara, tak ada uang sama sekali untuk menyewa kendaraan umum. "Kami diberi tepung dan jagung, tapi anak yang sakit membutuhkan lebih dari itu."
Mohammed berandai, kalau saja keponakannya segera diobati di rumah sakit, ia pasti selamat. Kini perasaan Mohammed bercampur aduk, khawatir, sedih dan marah. Ia kecewa agen bantuan internasional tak bisa membantu lebih. "Kami mohon pada dunia, bantulah kami," kata dia. "Anak-anak kami sekarat karena kelaparan. Kami butuh makanan, rumah sakit, jangan abaikan kami."
Kamp pengungsian pun jauh dari layak. Ini gambarannya: infeksi saluran pernafasan merebak, tidak ada sumber air dan sanitasi. Para pengungsi terutama anak-anak sekarat karena kelaparan. Tak ada sekolah dan petugas yang mendistribusikan makanan. Beberapa pengungsi bahkan tak tinggal di tenda terpal yang beratap. Mereka hanya bernaung di bawah ranting-ranting yang ditata tak rapat.
Ibrahim yang baru kehilangan putrinya, Sarah kini mengkhawatirkan keselamatan putrinya yang lain, Deka. "Takdir memang Tuhan yang menentukan. Tapi jika terus seperti ini, makin banyak orang yang akan meninggal."
Hanya beberapa langkah dari kamp pengungsi, gurun berdebu tempat Sarah dimakamkan dijuluki 'Bola Bagti' -- di mana orang meninggalkan hewan mereka, dibiarkan mati dan menjadi bangkai. Untuk menguburkan Sarah, Ibrahim dibantu para pengungsi lain yang kelaparan.
Meski tak mendapat upah apapun, sesama pengungsi memperlakukan jenazah Sarah dengan baik. Di atas kuburnya yang dangkal diselimuti gundukan pasir, semak-semak berduri, dan cabang pohon. "Hyena tak bisa meraihnya," kata Ibrahim. "Dia (Sarah) sudah berada di Surga."
• VIVAnews
Tidak ada komentar:
Posting Komentar