“Bude, kenapa sih Bude nda mau momong aku lagi? Bude sakit ya?“ tanya bocah itu polos.
Yang ditanya hanya diam saja. Ditatapnya wajah lugu sang bocah, tapi itu tidak lama. Ia segera berpaling, menyembunyikan buliran air mata yang turun deras di pipinya.
“Mama sama papa bilang apa?“ tanya perempuan yang dipanggil Bude itu pada sang bocah.
“Mama bilang aku mau disekolahin di kampung. Tapi aku mau dimomong sama Bude aja. Kenapa sih Bude sakit?“ jawab sang bocah memelas. Dia tak berkata apa-apa lagi. Dia ambil bantal di sampingnya, ditutupkan ke mukanya dan terlihat pundaknya berguncang. Bocah itu menangis tanpa suara.
Dan, pembicaraan dari hati ke hati itu kembali menemui jalan buntu. Ada perasaan berat pada keduanya, namun kenyataan itulah yang harus diterima.
***
Danang, sebut saja begitu. Sejak usianya belum genap dua bulan, anak kedua dari dua bersaudara ini dititipkan kepada tetangga karena kedua orangtuanya bekerja. Perempuan yang dipanggil Bude, hanya panggilan saja, bukan saudara dalam arti yang sebenarnya. Dia hanyalah pengasuh, sama seperti pengasuh sebelumnya. Dia mengasuh bocah ini sejak usianya tiga tahun, dan kini telah duduk di kelas satu SD. Setiap hari, sambil berangkat ke tempat kerja, kedua orangtua Danang mengantarkannya ke tempat Bude, dan akan menjemputnya saat pulang kerja sore harinya, atau bahkan sampai larut malam jika kebetulan mereka lembur atau ada keperluan lainnya. Meski tak ada pertalian saudara, jangka waktu empat tahun dimana hampir selalu enam hari dalam seminggu, membuat Danang sangat dekat dengan ‘bude’-nya. Begitu pun, sang Bude dan Pakde sudah menyayangi Danang tak ubahnya seperti menyayangi putri tunggal mereka.
Faktor kesehatan yang memburuk, membuat Bude berfikir untuk tidak melanjutkan mengasuh Danang. Dia tak ingin setengah-setengah mengasuh bocah yang secara alami sedang mencapai tahap kenakalan yang cukup menyita perhatian dan kesabaran. Terlebih, kurangnya kebersamaan, perhatian, dan juga curahan kasih sayang kedua orangtua kandungnya membuat kenakalan Danang terkadang sulit untuk dikendalikan. Dan, puncak dari ‘ketabahan’ Bude, adalah ketika Danang kabur dari sekolah (pulang ke rumah orangtuanya yang berjarak lima kilometer dengan naik angkot dan becak) sebelum waktunya dijemput. Sebuah tindakan nekat yang tak pernah dibayangkan oleh siapa pun, dan membuat Bude shock. Kesehatan Bude yang belum pulih, kembali turun ke titik terendah.
Melalui pendekatan secara perlahan, didapatkan pengakuan bahwa Danang melakukan tindakan nekat ini sebagai bentuk protes kepada kedua orangtuanya yang meski mereka libur kerja, tapi jarang sekali mau mengantar-jemput ke sekolah, mengajaknya bermain bersama. Hari libur bagi orangtuanya adalah hari untuk beristirahat, sementara bagi Danang adalah hari yang menyedihkan karena keinginannya untuk mendapatkan kasih sayang, perhatian, dan kehangatan dari orangtua kandungnya seringkali tak ia dapatkan.
Ini pelajaran bagi kita semua, khususnya bagi yang suami istri yang ‘terpaksa’ bekerja dan mempercayakan tumbuh kembang anak pada pengasuhnya. Mungkin kita bisa mendatangkan pengasuh atau menitipkan anak kita ke orang atau tempat pengasuhan yang bertanggung jawab penuh pada keamanan, kenyamanan, dan keselamatan buah hati kita. Tapi perlu kita ingat, ada hal-hal yang tak bisa mereka dapatkan dari orang lain, kecuali dari kita sebagai orangtuanya. Kita ‘terpaksa’ kerja adalah demi masa depan anak. Mereka butuh biaya, butuh uang, tapi jangan pernah kita lupa bahwa mereka juga sangat butuh kasih sayang dan perhatian. Apalagi bagi buah hati kita yang masih balita. Masa depan mereka sangat dipengaruhi kondisi mental masa kecil mereka. Jangan ‘asingkan’ mereka dari keluarga dengan memasukan mereka ke dunia yang tak diharapkannya.
Bekerja dua-duanya, itu keputusan kita, bukan pilihan mereka. Jangan paksakan buah hati kita yang masih belia untuk menanggung semua resikonya. Semestinya kitalah yang menjalani konsekuensinya. Kita orangtua mereka, kita berkewajiban dan bertanggungjawab penuh terhadap masa depan anak-anak kita. Bukan hanya materi, tapi juga akhlak, moral, dan pendidikan, baik secara formal maupun informal. Adalah kesalahan besar jika kita beranggapan tanggung jawab kita hanya melulu seputar materi saja. Kasih sayang, perhatian, kebersamaan, kedekatan, dan kehangatan keluarga, lebih mereka butuhkan di masa belianya. Itu pula yang dituntut Danang dari kedua orangtuanya yang seringkali tertidur saat diminta menemaninya bermain. Anak sekecil itu mana paham dengan yang namanya capek kerja. Baginya, saat orangtua di rumah adalah saatnya dia mendapatkan perhatian sepenuhnya.
Barangkali tulisan ini terlalu dipengaruhi oleh perasaan saya pribadi. Tidak semuanya sama, tapi saya melihat dan mendengarnya sendiri. Saya tidak bermaksud menyalahkan para orangtua yang bekerja dua-duanya dengan mengatakan ‘saya tidak melakukannya!’. Bagaimana pun semua ada konsekuensi yang harus dijalani. Namun paling tidak, mari kita benahi kembali, jangan kita meninggalkan mereka, bekerja demi masa depan mereka, tapi yang ada masa depan belumlah pasti, tapi masa sekarang mereka yang lebih banyak merugi. Anak adalah anugerah sekaligus amanah. Kita sebagai orangtuanyalah yang kelak akan mempertanggungjawabkan mereka di hadapan Allah SWT.
***
“Bude, Bude udah sembuh belum? Aku pengen dimomong Bude lagi!“ sore itu sang bocah datang mengejutkan perempuan yang dipanggil Bude. Keharuan tak tertahankan. Dua minggu tak melihat, perempuan ini tak kuasa menahan bulir air matanya. Dipeluk dan dicium bocah lelaki yang kini terlihat lebih kurus itu.
"Maafin Bude, Bude belum bisa momong Danang lagi,“ terbata ia berbisik pada sang bocah. Hatinya pecah, tapi dia hanya bisa pasrah berharap bocah yang disayangi tak ubahnya anak kandungnya ini mendapatkan pengasuh yang lebih baik, sampai sang ibu rela meninggalkan pekerjaan demi masa depan mental dan akhlak sang anak.
Apa yang dituntut Danang, rupanya belum sepenuhnya terpenuhi. Meski dia tak jadi dikirim orangtuanya ke kampung mengikuti kakaknya, tapi ibunya masih enggan untuk berhenti dari pekerjaan. Kembali, untuk yang ketiga kali, Danang harus melewati hari-harinya lebih banyak bersama pengasuhnya. Semoga, orangtuanya mengambil pelajaran dari apa yang sudah Danang lakukan. Dan kita semua bisa mencegah hal itu terjadi pada anak-anak kita, keluarga kita. Bagaimana pun, masa depan bangsa ini, agama ini tergantung mereka, tunas-tunas bangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar